WISUDA SARAJANA XXI: "Mencetak Intelektual Muslim Yang Profesional"
STAIN Samarinda kembali menyelenggarakan Wisuda Sarjana XII Tahun 2010 bertempat di GOR Segiri Samarinda. Wisuda yang diikuti oleh lebih dari 400 orang wisudawan/wisudawati ini merupakan moment terbesar dalam sejarah kelulusan STAIN Samarinda selama ini. Widusa kali ini mengambil tema: "Mencetak Intelektual Muslim Yang Profeional" dengan harapan para sarjanawan STAIN dapat berkiprah secara mandiri dan bertanggungjawab di tengah-tengah masyarakat. Tampak dalam gambar para pejabat STAIN saat membuka acara wisuda secara resmi.
WISUDA SARAJANA XXI: "Mencetak Intelektual Muslim Yang Profesional"
STAIN Samarinda kembali menyelenggarakan Wisuda Sarjana XII Tahun 2010 bertempat di GOR Segiri Samarinda. Wisuda yang diikuti oleh lebih dari 400 orang wisudawan/wisudawati ini merupakan moment terbesar dalam sejarah kelulusan STAIN Samarinda selama ini. Widusa kali ini mengambil tema: "Mencetak Intelektual Muslim Yang Profeional" dengan harapan para sarjanawan STAIN dapat berkiprah secara mandiri dan bertanggungjawab di tengah-tengah masyarakat. Tampak dalam gambar para pejabat STAIN saat membuka acara wisuda secara resmi.
WISUDA SARAJANA XXI: "Mencetak Intelektual Muslim Yang Profesional"
STAIN Samarinda kembali menyelenggarakan Wisuda Sarjana XII Tahun 2010 bertempat di GOR Segiri Samarinda. Wisuda yang diikuti oleh lebih dari 400 orang wisudawan/wisudawati ini merupakan moment terbesar dalam sejarah kelulusan STAIN Samarinda selama ini. Widusa kali ini mengambil tema: "Mencetak Intelektual Muslim Yang Profeional" dengan harapan para sarjanawan STAIN dapat berkiprah secara mandiri dan bertanggungjawab di tengah-tengah masyarakat. Tampak dalam gambar para pejabat STAIN saat membuka acara wisuda secara resmi.
KULIAH UMUM KANG JALAL: "Epistemologi Cinta"
Epistemologi adalah cara untuk meraih kebenaran. Dalam tradisi Islam, kebenaran itu diistilah dengan “al-Haqq”, sama dengan istilah untuk menyebut nama Tuhan. Sebagai sebuah cara, maka kebenaran bisa didekati dengan banyak cara, bisa lewat pendekatan rasio dan bisa lewat pendekatan rasa. Pendekatan rasio memunculkan tradisi keilmuan kalam dan filsafat, sementara pendekatan rasa memunculkan tradisi sufistik atau tasawuf. Pendekatan terakhir ini menyatakan, bahwa kecintaan kepada Allah adalah basis utama untuk memulai sebuah perjalanan sufistik meraih kebenaran Hakiki. Cinta dalam sudut pandang sufistik tidak bersifat possessive, sehingga “cinta tidak berarti harus memiliki”.
REKONSTRUKSI METODOLOGI TAFSIR ALQURAN: Orasi Ilmiah Oleh Dr. Iskandar, M.Ag.
Salah satu kelemahan tafsir klasik adalah karena ia mendasarkan diri pada otoritas teks. Meski tafsir merujuk kepada Alquran dan Sunnah, namun ketika masuk ke dalam ranah pemahaman, tafsir menjadi produk subjektifitas. Akibatnya, Alquran mengalami preduksian ketingkat yang lebih fatal. Alquran tidak lagi berpihak pada keadilan dan pembebasan, tetapi malah berpihak pada kepentingan subjektifitas sang penafsir. Oleh karena itu, pembacaan dan pemahaman ulang terhadap Alquran menjadi suatu keniscayaan.
Selamat Datang
Memaknai Idul Adha
Makna terpenting Idul Adha, salah satunya terletak pada upaya meneladani ajaran tauhid (monoteisme) Nabi Ibrahim AS yang bersifat transformatif. Dalam perspektif Islam, pengalaman rasional dan spiritual yang dilalui Ibrahim AS mengantarkan kepada keyakinan tentang tauhid sebagai suatu kebenaran hakiki. Ajaran ini meletakkan Allah sebagai sumber kehidupan, moralitas, bahkan eksistensi itu sendiri. Tanpa Allah, yang ada hanya kekacaubalauan, kehampaan, bahkan ketiadaan dalam arti sebenarnya. Keyakinan seperti itu berimplikasi langsung pada keharusan Ibrahim untuk menampakkan eksistensi itu dalam kehidupan nyata sehingga manusia dan dunia dapat menyaksikan dan "menikmati" kehadiran Sang Pencipta dalam bentuk kehidupan yang teratur, harmonis, dan seimbang.
Di dalam Al-Qur’an kita dianjurkan agar mengikuti agama Nabi Ibrahim yang hanif (Ali Imron: 95 dan An Nahl: 123), hendaklah kamu mengikut agama Ibrahim yang lurus, atau tidak menyimpang. Selain disebut hanif, agama Ibrahim juga disebut agama yang penuh samaahah, atau agama yang penuh toleransi terhadap manusia lain.
Baik dalam Al-Qur’an maupun Hadis, Nabi Ibrahim disebut-sebut sebagai bapak dari nabi-nabi yang membawa teologi tauhid atau keesaan Tuhan. Inti pesan inilah yang kemudian diwariskan Nabi Ibrahim kepada nabi-nabi sesudahnya, dan tetap menjadi corak agama-agama sesudahnya. Karena itu, agama-agama yang berafiliasi kepadanya sesungguhya memiliki akar yang sama, yaitu akar ketauhidan. Makanya, sebagian ritualnya yang tidak bertentangan dengan akar ketauhidan tetap dipelihara dan diikuti oleh umat-umat sesudah Nabi Ibrahim.
Pengorbanan atau persembahan yang dilakukan Ibrahim merupakan manifestasi dari hal itu. Peristiwa ini memiliki dua dimensi yang bersifat vertikal dan horizontal. Secara vertikal, kejadian simbolik itu merupakan upaya pendekatan diri (kurban) dan dialog dengan Tuhan dalam rangka menangkap nilai dan sifat-sifat ketuhanan. Proses ini mengondisikan umat manusia melepaskan segala hawa nafsu, ambisi, dan kepentingan sempit dan pragamatisnya sehingga dapat "menjumpai" Tuhan. Secara horizontal, hal itu melambangkan keharusan manusia untuk membumikan nilai-nilai itu dalam kehidupan nyata.
Wahyu Allah SWT kepada Ibrahim AS untuk mempersembahkan putranya yang kemudian diganti binatang kurban memperlihatkan, tidak satu manusia pun boleh merendahkan manusia lain, menjadikannya sebagai persembahan, atau melecehkannya dalam bentuk apapun. Sebab, manusia sejak awal dilahirkan setara dan sederajat. Nilai-nilai yang merepresentasikan kesetaraan dan sejenisnya perlu diaktualisasikan ke dalam realitas kehidupan sehingga dunia dipenuhi kedamaian dan kebahagiaan hakiki.
Tuhan pada hakikatnya tidak membutuhkan apa-apa, termasuk persembahan. Perintah itu hanya untuk menguji ketaatan manusia dalam merespon pesan dan perintah Ilahi dan kesediaannya untuk tidak dikungkung pendiriannya yang subyektif, atau impuls-impuls kejahatan yang menipu. Persembahan sekadar suatu simbol yang melambangkan makna yang lebih substansial, yaitu ungkapan ketaatan untuk mengembangkan nilai-nilai agama yang sejatinya selalu bersesuaian dengan nilai kemanusiaan perenial. Dalam hadisnya Rasulullah SAW mengecam keras orang yang tidak peduli dengan lingkungan dan masyarakatnya. “Laisa minna mal-laa yahtam bi umuril muslimin” (bukanlah termasuk golongan orang muslim, mereka yang tidak peduli dengan kesulitan saudaranya).
Pada suatu bangsa, ketika orang kaya hidup mewah diatas penderitaan orang-orang miskin, ketika anak-anak yatim dan mereka yang papa merintih dalam belenggu nasibnya, ketika para penguasa membunuhi orang-orang tak berdaya hanya untuk kesenangan, ketika para hakim memihak kekayaan dan memasukkan ke penjara orang-orang kecil yang tidak berdosa. Dalam kondisi inilah maka esensi perayaan Idul Qurban yang sesungguhnya perlu kita aktualisasikan. Pembelaan kepada mereka yang kurang mampu secara ekonomi, pembelaan terhadap mereka yang mendapat perlakuan tidak adil secara hukum, pembelaan terhadap mereka yang tidak mendapatkan haknya dari penguasa. Rasulullah menyampaikan pesan sosialnya :
Mengapa kamu tidak mau berjihad dijalan Allah, membela orang-orang tertindas baik, laki-laki maupun perempuan dan anak-anak yang semuanya berdo’a : Ya Tuhan kami, keluarkan kami dari negeri yang dzalim penduduknya dan berilah kami pelindung dari sisi-Mu dan berilah penolong dari sisi-Mu. [An Nisa’: 75]
Hari raya qurban yang sesungguhnya adalah menumbuhkan sikap tenggang rasa dan kepedulian terhadap sesama. Norma atau cita-cita sosial inilah yang sesungguhnya ingin dihidupkan dalam ajaran tauhid. Sebagaimana yang ditegaskan dalam sabda Nabi SAW :” Maa aamina bii man baata syab’anun wa jaaruhu jaai’uun ila janbinhi wahuwa ya’lamu” (Tidaklah sempurna iman seseorang terhadapku, bila dia hidup dalam keadaan kenyang sedangkan dia tahu tetangganya sedang dalam kelaparan).
Udlhiyah (pengorbanan) dalam Idul Adha perlu dimaknai dalam kerangka pembumian nilai agama yang memiliki spektrum moral yang luas. Pengorbanan merepresentasikan upaya pencapaian nilai-nilai kebaikan sejati yang pada prinsipnya bersifat moralitas perenial dan universal, seperti melepaskan egoisme, narsisme, dan sejenisnya, berlaku adil kepada siapa saja, dan mengembangkan kesederajatan dalam kehidupan.
Melalui pemaknaan semacam itu, Idul Adha bersifat signifikan dalam meneguhkan keberagamaan substansial; kebertauhidan yang berimplikasi nyata dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hari Raya Haji mengingatkan kita peristiwa keagamaan yang menyelamatkan umat manusia dari kehancuran, berawal dari penghambaan diri manusia kepada kepentingan sendiri.
http://perjalanan-hidayat.blogspot.com/2009/11/makna-idul-adha.html
Menjadi Lembaga Pendidikan Islam Profesional
Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Samarinda kembali menggelar Rapat Senat Terbuka dalam rangka Acara Wisuda XXII Tahun Akademik 2010/2011. Wisuda yang berlangsung di GOR Segiri Samarinda ini diikuti tidak kurang dari 350 mahasiswa dari tiga jurusan, yaitu Tarbiyah, Syari'ah dan Dakwah, termasuk mahasiswa program Kualifikasi Guru-guru Agama dan Program Duel Mode. Dalam sambutan yang dibacakan Asisten II, Gubernur Kalimantan Timur menyatakan, bahwa STAIN Sebagai lembaga Perguruan Tinggi harus menjadi lembaga yang profesional sebagai pilar utama pendidikan bagi masyarakat Kalimantan Timur. Tiga hal yang menjadi perhatian bersama, yaitu menetapkan tujuan pendidikan Islam kedepan, kedua; kommitmen para pemegang kepentingan (stakeholder) untuk mendukung realisasi pendidikan Islam, dan ketiga; menentukan desain yang mantap dan handal dalam penerapan proses kependidikan Islam.