Meniti Jalan Kesufian :
Catatan Ceramah Umum Jalaluddin Rakhmat di Kampus STAIN Samarinda, Jum'at 9 April 2010
Epistemologi adalah cara untuk meraih kebenaran. Dalam tradisi Islam, kebenaran itu diistilah dengan “al-Haqq”, sama dengan istilah untuk menyebut nama Tuhan. Sebagai sebuah cara, maka kebenaran bisa didekati dengan banyak cara, bisa lewat pendekatan rasio dan bisa lewat pendekatan rasa. Pendekatan rasio memunculkan tradisi keilmuan kalam dan filsafat, sementara pendekatan rasa memunculkan tradisi sufistik atau tasawuf. Pendekatan terakhir ini menyatakan, bahwa kecintaan kepada Allah adalah basis utama untuk memulai sebuah perjalanan sufistik meraih kebenaran Hakiki. Cinta dalam sudut pandang sufistik tidak bersifat possessive, sehingga “cinta tidak berarti harus memiliki”. Cinta adalah tak bersyarat, cinta bukan didasarkan pada paradigma “karena”, sebagai sesuatu yang identik dengan nafsu, tetapi didasarkan pada paradigma “walaupun”, karena disitu terdapat ketulusan.
Pendekatan sufistik juga memiliki nilai aksiologis, karena sufistik mengajarkan etika dan perilaku akhlak manusia yang mulia. Pesan penting dari dasar eksiologi sufistik adalah menghilangkan ego, segala keinginan-keinginan pribadi. Abu Yazi al-Busthami, sebagai salah seorang sufistik pernah datang “bertemu” dengan Tuhan, lalu dikatakan kepadanya: “wahai Abu Yazid, apa sebenarnya yang kamu inginkan?” Abu Yazid lantas menjawab: “Aku menginginkan apa yang aku tidak inginkan”. Ini menunjukkan, bahwa menafikan kenginan diri adalah syarat multlak agar orang bisa meraih tingat sufistik yang paling tinggi. Dalam sufi, hanya ada dua pilihan Huwa (Dia Allah) dan La Huwa (Bukan Allah). Untuk mengukur seberapa besar kedudukan orang dihadapan Allah, maka tergantung pada sebesar besar kedudukan Allah dalam hatimu”. Shadaqallahu al-‘azhiem.
agree,kebanyakan anak-anak sekarang begitu gampang menyatakan cinta padahal tak semudah ucapan harus melewati rintangan2 dan pengorbanan seperti yang telah diceritakan Pak Jalaluddin,seorang guru yang menanyakan kepada muridnya,apakah muridnya cinta kepadanya?murid menjawab:"iya,kami cinta", begitu beliau melemparkan batu kepada muridnya,seketika muridnya berlarian menghindar.sang Guru berkata:ternyata kalian tidak mencintaiku. cinta bukan didasarkan pada paradigma “karena”, tetapi didasarkan pada paradigma "walaupun",walaupun dilempari batu,walaupun sering dimarahi,dll, tetapi tetap cinta.itulah kebenaran cinta bukan nafsu,cinta hakiki hanyalah Cinta Allah SWT.