Hermeneutika diturunkan dari nama dewa Hermes. Hermes dalam mitologi yunani adalah dewa yang bertugas meyampaikan dan menafsirkan pesan serta perin-tah dari dewa kepada manusia. Hermeneutik berasal dari bahasa Yunani, hermeneu-ein. Setidaknya ada tiga makna dari hermeneuein. Pertama, mengung-kapkan, menafsirkan atau menjelaskan; kedua, menerjemahkan; dan ketiga, men-transmisikan pemahaman dan membuat paham, baik melalui tuturan bebas, menaf-sirkan sesuatu yang telah dibicarakan, atau menafsirkan melalui terjemahan (al-Sid, 2004, 8; Miri, 2006).
Dalam penjelasan lain, hermeneutika berkaitan dengan ‘upaya menjelaskan atau menelusuri’ pesan dan pengertian dasar dari sebuah ucapan atau tulisan yang masih tidak jelas, kabur, remang-remang, dan penuh kontradiksi, sehingga menim-bulkan keraguan dan kebingungan bagi para pendengar atau pembacanya. Ada kalanya keraguan ini muncul ketika pembaca dihadapkan pada berbagai dokumen yang saling berbeda penjelasan mengenai hal yang sama, sehingga pembaca harus bekerja melakukan kajian ulang untuk menemukan sumber-sumber yang autentik serta pesan yang jelas (Hidayat, 2004, 138).
Dari paparan sebelumnya, hermeneutika terkait erat dengan masalah pesan, lebih tepatnya menangkap pesan. Karenanya, hermeneutika bermain pada ranah ini. Bagaimana kita mampu menangkap pesan? Bagaimana kita mengetahui bahwa makna pesan yang kita ketahui benar-benar seperti yang dimaksudkan sang pengarang (pembuat pesan)? Hermeneutika dalam pengertian seperti ini, ia dipahami sebagai teori penafsiran terhadap teks-teks. Setidaknya, inilah pengertian dasar hermeneutika. Nanti, dalam perkembangannya, hermeneutika bergeser tidak hanya sebagai disiplin pengantar penafsiran, tetapi sebagai metodologi penafsiran. Bahkan tidak hanya sampai situ, objeknya kajiannya pun tidak hanya terkait pada persoalan teks. Ia tidak hanya menafsirkan teks, ia juga menafsirkan tindakan bermakna (meaningfull action). Sesungguhnya, di sinilah letak rumitnya pembahasan hermeneutika. Hermeneutika yang dipahami sebagai metodologi penafsiran, ketika sampai kepada tangan penggunanya, ternyata dihermeneuetkan pula.
Namun demikian, setidaknya ada tiga komponen pokok hermeneutika. Pertama, adanya tanda, pesan berita yang sering kali berbentuk teks. Kedua, harus ada sekelompok penerima yang bertanya-tanya atau merasa ‘asing’ terhadap pesan itu. Ketiga, adanya pengantara antara kedua belah pihak (Adian, 2006, 199).
Hermeneutika bertujuan untuk menangkap makna hakiki teks. Ia juga meyakini bahwa ada surplus makna dari sebuah kata. Dengan demikian, segera kita ajukan pertanyaan, apakah hermeneutika sejalan dengan tafsir dan takwil dalam tradisi Islam?
Hermeneutika dalam kajian ilmu-ilmu keislaman, masih menjadi perdebatan panjang. Tidak sedikit yang menganggap bahwa hermeneutika sejalan dengan tafsir dan takwil. Sebaliknya, tidak sedikit pula yang menganggap bahwa hermeneutika, bahkan ada yang menolaknya mentah-mentah untuk digunakan dalam menafsirkan al-Quran al-Karim, tidak sesuai dengan tujuan tafsir dan takwil.
Kalau kita menyepakati bahwa hermeneutika adalah upaya menjelaskan atau menelusuri pesan dan pengertian dasar dari sebuah ucapan atau tulisan yang masih tidak jelas, kabur, dan samar untuk mendapatkan kejelasan makna pesan, maka sesungguhnya hermeneutika bisa dikatakan selaras dengan tafsir dan takwil.
Tafsir artinya mengurai untuk mencari pesan yang terkandung dalam teks. Sedangkan takwil, berarti menelusuri kepada orisinalitas atau ide awal dari gagasan yang terbungkus dalam teks. Takwil juga meyakini bahwa ayat al-Quran al-Karim mempunyai lebih dari satu lapisan makna. Namun demikian, terlalu simplistik bila kita langsung mengatakan bahwa hermeneutika sesuai untuk digunakan dalam penafsiran al-Quran. Pun sama simplistiknya bila kita langsung menolak mentah-mentah hermeneutika dalam menafsirkan kitab suci tersebut. Kita harus mencari tahu terlebih dahulu, hermenutika yang seperti apa yang layak atau tidak layak dalam tradisi al-Quran. Seperti yang sudah disinggung sebelumnya, hermeneutika mutakhir banyak mengalami pergeseran dari pemahaman hermeneutika di masa-masa awal. Dan, di dalam perkembangan mutakhirnya pun hermeneutika banyak variannya. Se-perti yang sudah disebutkan sebelumnya bahwa ketika hermeneutika sampai kepada tangan sang mufassir, ternyata dihermeneutkan kembali. Tidak heran bila varian hermeneutika berkembang sesuai dengan kecenderungan sang penggunanya.
Karena tulisan ini memfokuskan pada persoalan bagaiamana hermeneutika itu, maka bukan kepentingan tulisan ini untuk mencari model hermeneutika yang cocok untuk penafsiran al-Quran.
Friedrich Ernst Daniel Schleirmacher (1768-1834) merupakan tokoh her-meneutik modern; di tangannya hermenutika direfleksikan secara serius ke dalam fil-safat. Sebagai seorang teolog protestan, Schleiermacher mempunyai kecenderungan hermeneutika yang bersifat teologis. Pengaruhnya teologinya terlihat sangat jelas ke-tika ia bertujuan untuk menekankan kebebasan individu penafsir dari segala dogma-tisme tafsir (Adian, 2006, 202). Dalam dunia Kristen, penafsiran, bahkan akses kepada, bible, dimonopoli oleh kalangan magistarium gereja saja. Dan, hal inilah yang hendak Schleiermacher hadapi.
Hermeneutika Schleiermacher dipengaruhi kritisisme, protetanisme, dan romantisisme.
Kritisisme yang dibangun oleh Kant melihat realitas menjadi dua; fenomena dan noumena. Fenomena, menurut Kant, adalah dunia penampakan yang ditangkap oleh manusia melalui katagori-katagori, seperti ruang dan waktu, misalnya. Sedangkan noumena adalah dunia di balik penampakan, yang dimana pengetahuan akal-budi murni berhenti pada penampakan ‘benda’ saja. Sedangkan benda sebagaimana benda itu sendiri, das ding an sich, akal-budi murni abstain terhadapnya. Dalam keadaan seprti ini, akal-budi praktis yang berperan.
Kritisisme Kant dipakai oleh Schleiermacher untuk melihat teks sebagai berupa aturan-aturan sintaksis komunitas bahasa si pengarang yang supraindividual, dan noumena berupa muatan batin individual pengarang yang ingin diungkapkan (Adian, 2006, 202). Karena itu, Schleiermacher membedakan dua macam aspek penafsiran: gramatika dan psikologis. Pemahaman gramatika berusaha menemukan makna dalam kata-kata dan ungkapan-ungkapan dari teks itu. Pemahaman psikologis berusaha menemukan makna dalam pikiran sang penulis yang dinyatakan dalam teks tersebut (Grenz, 2001, 155).
Selain kritisisme Kant, Schleiermacher juga dipengaruhi oleh gerakan romantisisme—karena itu hermeneutika Schleiermacher disebut sebagai herme-neutika romantik. Romantisisme adalah gerakan kultural yang melanda Eropa dan Amerika (1775-1830). Ia merupakan reaksi terhadap supremasi rasio di Abad Pencerahan yang menjadi kaku dan cenderung rasionalistik. Dengan kata lain romantisisme berusaha memunculkan kembali emosi, kehendak, libido, nafsu, dan spontanitas pada segala sesuatu yang telah direduksi oleh supremasi rasio. Dari sini ia menganggap bahwa tidak ada pemahaman yang berjarak (understanding at distance). Pemahaman artinya memiliki keterlibatan internal dengan apa yang dipahami.
Asumsinya adalah, untuk memahami sebuah teks, kita harus menelusuri kembali dari mana teks itu berasal dan bagaimana bisa menjadi sebuah teks seperti ini. Ia juga mengasumsikan bahwa proses penulisan kreatif ini pada mulanya muncul dari pribadi dan hidup sang penulis yang berada dalam konteks sosial tertentu (Grenz, 2001, 155). Untuk mengetahui suatu objek, seseorang harus menjadi objek tersebut. Dengan kata lain, mengaprosiasi suatu kesadaran asing menjadi kesadaran kita sendiri. Schleiermacher meyakini bahwa kita harus mengetahui melebihi dari sang pengarang itu sendiri.
Berbeda dengan model hermeneutika Schleiermacher yang cenderung ke arah epsitemologis, Martin Heidegger (1884-1976) mengembangkan hermeneutika yang bercorak ontologis. Heidegger sangat berhutang pada fenomenologi Edmund Husserl (1859-1938), walaupun ia banyak mengkritik pandangan Husserl. Karena banyak dipengaruhi oleh fenomenologi, hermeneutika Heidegger disebut sebagai hermeneu-tika-fenomenologi, terkadang juga disebut hermeneutika-ontologi.
Fenomenologi Husserl mencari esensi penampakan dengan membiarkan fenomena-fenomena berbicara sendiri, mengandaikan relasi epistemologis penahu dengan yang diketahui. Penahu Husserlian adalah penahu yang tidak berkepentingan; ego-transenden. Heidegger menolak pemikiran seperti ini. Bagi heidegger, penahu dalam melihat fenomena adalah penahu berkepentingan. Ketika ada pisau (fenomena) di hadapan beberapa orang dan dalam berbagai kondisi, fenomena yang ditangkap pun berbeda, terkait dengan keberadaan sang penahu. Seorang koki akan melihat pisau sebagai alat untuk memotong bahan masakannya; seseorang yang sedang teraniaya akan melihat pisau sebagai alat untuk membela dirinya; seseorang tukang asah akan melihat pisau tersebut tumpul atau tidak tumpul; seorang ibu akan segera langsung menyingkirkan pisau tersebut ketika terlihat oleh balitanya. Kita bisa lihat, pisau sebagai fenomena ditangkap oleh penahu berbeda satu sama lain—sekali pun fenomena mampu berbicara sendiri. Dengan kata lain, penahu ketika melihat yang diketahuinya tidak terlepas dari keberadaan dirinya.
Fenomenologi membiarkan realitas berbicara sendiri, sedangkan herme-neutika berusaha menafsirkan realitas. Heidegger mengatasi hal yang bertolak belakang ini dengan konsep daseinnya (being-in-the-world).
Dasein adalah realitas yang berkaitan dengan hakikat sesuatu. Dasein bertanya, ‘Siapakah aku? Bagaimana aku bisa ada? Dan apa arti keberadaanku?’ Dasein adalah sebuah aktifitas—usaha menjalani kehidupan kita di dunia (Grenz, 2001, 164).
Ketika berhadapan dengan fenomena, walaupun fenomena tersebut berbicara sendiri, fenomena menampakkan dirinya tidak bisa sama sekali terlepas dari keberadaan penahu. Pisau yang tampak kepada diri penahu, berbicara sesuai dengan keberadaan sang penahu; koki, tukang asah pisau; orang teraniaya; ibu yang mempunyai balita, dsb.
Dalam perkembangannya, hermeneutika banyak dipengaruhi strukturalisme, posstrukturalisme, poskolonialisme, filsafat analitis, semiotika, serta dekonstruk-sionisme.
Strukturalisme menganggap bahasa seperti sebuah karya musik. Untuk memahami sebuah simfoni, kita harus memerhatikan keutuhan karya musik secara keseluruhan dan bukan kepada permainan individual dari setiap pemain musik (Grenz, 2001, 179). Strukturalisme menyatakan bahwa bahasa adalah sebuah struktur yang mengatur dirinya sendiri dengan hukum perbedaan.
Kata ‘suami’, misalnya, tidak mewakili suami sebagaimana suami, melainkan bermakna karena ia menyandarkan dirinya pada oposisi biner, ‘istri’. Dengan demikian, bukan lagi medium untuk menyampaikan dunia sesungguhnya, melainkan membentuk dunia.
Ketika kata ‘suami’ dipahami bersifat rasional, maskulin, dan publik, sedangkan oposisi binernya, ‘istri’, dipahami sebagai emosional, feminin, dan domestik, sesungguhnya merupakan bentukan. Strukturalisme hendak menghantam ini dengan mengatakan bahwa identitas-identitas tersebut merupakan ilusi. Ketika kaum humanistik menganggap bahwa manusia adalah otonom dan berkesadaran, strukturalisme menganggap itu semua adalah ilusi.
Serupa dengan strukturalisme, posstrukturalisme menganggap bahwa bahasa bukanlah citra dunia, melainkan membentuk dunia. Bedanya, strukturalisme menganggap makna bahasa akan menetap setelah struktur oposisi biner terbangun. Sedangkan posstrukturalisme menghantam pandangan tersebut; bagi posstrukturalis makna bahasa tidak stabil, dapat berubah-ubah.
Bahasa oleh posstrukturalis dipandang sebagai wacana/diskursus, yaitu bahasa sebagai sebuah institusi dimana kebenaran suatu pernyataan sangat tergantung pada status subjek, tempat, waktu, atribut-atribut. Oleh karena itu, para posstrukturalis memandang bahasa sebagai fenomena politis dimana pembakuan makna-makna selalu melibatkan kuasa (Adian, 2006, 77). Sekadar contoh, pemba-kuan makna Kaum Adat Terpencil sebagai suku primitif melibatkan banyak elemen seperti pengamat sosial, institusi pemerintah, dsb. Ketika kita mendengar kata ‘Suku Adat Terpencil sebagai kaum primitif’, kita sudah terperangkap dalam rezim diskursif yang menentukan siapa yang berhak memutuskan, dan siapa yang diputuskan, di mana, dan kapan.
Posstrukturalis melihat bahasa tidak netral, melainkan bersifat politis. Posstrukturalis hendak menghantam itu. salah satu tokoh ini adalah Jacques Derrida (1930-2004). Derrida memperkenalkan konsep dekonstruksi.untuk merobohkan suatu struktur hierarkis, seperti maskulin/feminin, modern/primitif, rasional/irasional, kulit putih/kulit hitam, pribumi/pendatang, dsb.
Poskolonialisme. Studi poskolonial adalah kebalikan dari sejarah modernisasi. Ia mencari bukanlah sesuatu yang modern, yang mencerahkan dan membebaskan, melainkan sesuatu yang—mungkin bisa dikatakan—‘kelam’ dalam sejarah modernitas, yakni momen-momen kolonialnya (Baso, 2005, 47).
Riwayat kolonialisme berawal dari penamaan (naming). Kemudian penamaan itu ditulis, dibentuk ke dalam teks, kemudian masa lalu adalah teks yang kita kaji, pelajari, analisis. Masa lalu dihadirkan untuk memenuhi kebutuhan ‘masa kini’ kolonial, kebutuhan dan menundukkan dan menjajah penduduk lokal. Dengan kata lain, masa lalu berarti ketika dihadirkan pada masa sekarang. Kemudian dinamakan sesuai dengan kepentingan sendiri. Dicatat bahwa bangsa ini dijajah akibat rendah-nya peradaban bangsa ini. Masalahnya, sejarah itu ditulis oleh kolonial, kemudian dihadirkan pada masa kemudian. Padahal kita tahu, sebelum bangsa ini dijajah, per-adaban bangsa ini maju. Sebagai contoh, Borobudur dibangun sekitar abad 7 M, yang boleh jadi penjajah bangsa ini belum mampu membangun peninggalan artefak sejarah dunia seperti Borobudur.
Sebagai sebuah metodologi, hermeneutika banyak mendapatkan sumbangan dari studi-studi yang sudah sedikit dijelaskan sebelumnya. Dari strukturalisme diketahui bahwa bahasa tidaklah citraan dunia, melainkan pembentukan dunia. Hermeneutik terbantu untuk memahami kata-kata oposisi biner. Tentu saja, hermeneutika melihat persoalan ini tidak selalu sama, atau dengan begitu saja mene-rima konsep strukturalisme. Sederhananya, seorang hermeneut mengetahui bahwa tidak semua bahasa merupakan citraan dunia. Begitu juga dengan posstrukturalisme. Hermeneutika juga terbantu bahwa di dalam setiap bahasa ternyata tidak sepenuhnya bebas nilai. Ada nilai-nilai yang memengaruhi bagaimana bahasa itu pada akhirnya dipahami. Sebagai contoh kata ‘orang Cina’.
Dalam penjelasan lain, hermeneutika berkaitan dengan ‘upaya menjelaskan atau menelusuri’ pesan dan pengertian dasar dari sebuah ucapan atau tulisan yang masih tidak jelas, kabur, remang-remang, dan penuh kontradiksi, sehingga menim-bulkan keraguan dan kebingungan bagi para pendengar atau pembacanya. Ada kalanya keraguan ini muncul ketika pembaca dihadapkan pada berbagai dokumen yang saling berbeda penjelasan mengenai hal yang sama, sehingga pembaca harus bekerja melakukan kajian ulang untuk menemukan sumber-sumber yang autentik serta pesan yang jelas (Hidayat, 2004, 138).
Dari paparan sebelumnya, hermeneutika terkait erat dengan masalah pesan, lebih tepatnya menangkap pesan. Karenanya, hermeneutika bermain pada ranah ini. Bagaimana kita mampu menangkap pesan? Bagaimana kita mengetahui bahwa makna pesan yang kita ketahui benar-benar seperti yang dimaksudkan sang pengarang (pembuat pesan)? Hermeneutika dalam pengertian seperti ini, ia dipahami sebagai teori penafsiran terhadap teks-teks. Setidaknya, inilah pengertian dasar hermeneutika. Nanti, dalam perkembangannya, hermeneutika bergeser tidak hanya sebagai disiplin pengantar penafsiran, tetapi sebagai metodologi penafsiran. Bahkan tidak hanya sampai situ, objeknya kajiannya pun tidak hanya terkait pada persoalan teks. Ia tidak hanya menafsirkan teks, ia juga menafsirkan tindakan bermakna (meaningfull action). Sesungguhnya, di sinilah letak rumitnya pembahasan hermeneutika. Hermeneutika yang dipahami sebagai metodologi penafsiran, ketika sampai kepada tangan penggunanya, ternyata dihermeneuetkan pula.
Namun demikian, setidaknya ada tiga komponen pokok hermeneutika. Pertama, adanya tanda, pesan berita yang sering kali berbentuk teks. Kedua, harus ada sekelompok penerima yang bertanya-tanya atau merasa ‘asing’ terhadap pesan itu. Ketiga, adanya pengantara antara kedua belah pihak (Adian, 2006, 199).
Hermeneutika bertujuan untuk menangkap makna hakiki teks. Ia juga meyakini bahwa ada surplus makna dari sebuah kata. Dengan demikian, segera kita ajukan pertanyaan, apakah hermeneutika sejalan dengan tafsir dan takwil dalam tradisi Islam?
Hermeneutika dalam kajian ilmu-ilmu keislaman, masih menjadi perdebatan panjang. Tidak sedikit yang menganggap bahwa hermeneutika sejalan dengan tafsir dan takwil. Sebaliknya, tidak sedikit pula yang menganggap bahwa hermeneutika, bahkan ada yang menolaknya mentah-mentah untuk digunakan dalam menafsirkan al-Quran al-Karim, tidak sesuai dengan tujuan tafsir dan takwil.
Kalau kita menyepakati bahwa hermeneutika adalah upaya menjelaskan atau menelusuri pesan dan pengertian dasar dari sebuah ucapan atau tulisan yang masih tidak jelas, kabur, dan samar untuk mendapatkan kejelasan makna pesan, maka sesungguhnya hermeneutika bisa dikatakan selaras dengan tafsir dan takwil.
Tafsir artinya mengurai untuk mencari pesan yang terkandung dalam teks. Sedangkan takwil, berarti menelusuri kepada orisinalitas atau ide awal dari gagasan yang terbungkus dalam teks. Takwil juga meyakini bahwa ayat al-Quran al-Karim mempunyai lebih dari satu lapisan makna. Namun demikian, terlalu simplistik bila kita langsung mengatakan bahwa hermeneutika sesuai untuk digunakan dalam penafsiran al-Quran. Pun sama simplistiknya bila kita langsung menolak mentah-mentah hermeneutika dalam menafsirkan kitab suci tersebut. Kita harus mencari tahu terlebih dahulu, hermenutika yang seperti apa yang layak atau tidak layak dalam tradisi al-Quran. Seperti yang sudah disinggung sebelumnya, hermeneutika mutakhir banyak mengalami pergeseran dari pemahaman hermeneutika di masa-masa awal. Dan, di dalam perkembangan mutakhirnya pun hermeneutika banyak variannya. Se-perti yang sudah disebutkan sebelumnya bahwa ketika hermeneutika sampai kepada tangan sang mufassir, ternyata dihermeneutkan kembali. Tidak heran bila varian hermeneutika berkembang sesuai dengan kecenderungan sang penggunanya.
Karena tulisan ini memfokuskan pada persoalan bagaiamana hermeneutika itu, maka bukan kepentingan tulisan ini untuk mencari model hermeneutika yang cocok untuk penafsiran al-Quran.
Friedrich Ernst Daniel Schleirmacher (1768-1834) merupakan tokoh her-meneutik modern; di tangannya hermenutika direfleksikan secara serius ke dalam fil-safat. Sebagai seorang teolog protestan, Schleiermacher mempunyai kecenderungan hermeneutika yang bersifat teologis. Pengaruhnya teologinya terlihat sangat jelas ke-tika ia bertujuan untuk menekankan kebebasan individu penafsir dari segala dogma-tisme tafsir (Adian, 2006, 202). Dalam dunia Kristen, penafsiran, bahkan akses kepada, bible, dimonopoli oleh kalangan magistarium gereja saja. Dan, hal inilah yang hendak Schleiermacher hadapi.
Hermeneutika Schleiermacher dipengaruhi kritisisme, protetanisme, dan romantisisme.
Kritisisme yang dibangun oleh Kant melihat realitas menjadi dua; fenomena dan noumena. Fenomena, menurut Kant, adalah dunia penampakan yang ditangkap oleh manusia melalui katagori-katagori, seperti ruang dan waktu, misalnya. Sedangkan noumena adalah dunia di balik penampakan, yang dimana pengetahuan akal-budi murni berhenti pada penampakan ‘benda’ saja. Sedangkan benda sebagaimana benda itu sendiri, das ding an sich, akal-budi murni abstain terhadapnya. Dalam keadaan seprti ini, akal-budi praktis yang berperan.
Kritisisme Kant dipakai oleh Schleiermacher untuk melihat teks sebagai berupa aturan-aturan sintaksis komunitas bahasa si pengarang yang supraindividual, dan noumena berupa muatan batin individual pengarang yang ingin diungkapkan (Adian, 2006, 202). Karena itu, Schleiermacher membedakan dua macam aspek penafsiran: gramatika dan psikologis. Pemahaman gramatika berusaha menemukan makna dalam kata-kata dan ungkapan-ungkapan dari teks itu. Pemahaman psikologis berusaha menemukan makna dalam pikiran sang penulis yang dinyatakan dalam teks tersebut (Grenz, 2001, 155).
Selain kritisisme Kant, Schleiermacher juga dipengaruhi oleh gerakan romantisisme—karena itu hermeneutika Schleiermacher disebut sebagai herme-neutika romantik. Romantisisme adalah gerakan kultural yang melanda Eropa dan Amerika (1775-1830). Ia merupakan reaksi terhadap supremasi rasio di Abad Pencerahan yang menjadi kaku dan cenderung rasionalistik. Dengan kata lain romantisisme berusaha memunculkan kembali emosi, kehendak, libido, nafsu, dan spontanitas pada segala sesuatu yang telah direduksi oleh supremasi rasio. Dari sini ia menganggap bahwa tidak ada pemahaman yang berjarak (understanding at distance). Pemahaman artinya memiliki keterlibatan internal dengan apa yang dipahami.
Asumsinya adalah, untuk memahami sebuah teks, kita harus menelusuri kembali dari mana teks itu berasal dan bagaimana bisa menjadi sebuah teks seperti ini. Ia juga mengasumsikan bahwa proses penulisan kreatif ini pada mulanya muncul dari pribadi dan hidup sang penulis yang berada dalam konteks sosial tertentu (Grenz, 2001, 155). Untuk mengetahui suatu objek, seseorang harus menjadi objek tersebut. Dengan kata lain, mengaprosiasi suatu kesadaran asing menjadi kesadaran kita sendiri. Schleiermacher meyakini bahwa kita harus mengetahui melebihi dari sang pengarang itu sendiri.
Berbeda dengan model hermeneutika Schleiermacher yang cenderung ke arah epsitemologis, Martin Heidegger (1884-1976) mengembangkan hermeneutika yang bercorak ontologis. Heidegger sangat berhutang pada fenomenologi Edmund Husserl (1859-1938), walaupun ia banyak mengkritik pandangan Husserl. Karena banyak dipengaruhi oleh fenomenologi, hermeneutika Heidegger disebut sebagai hermeneu-tika-fenomenologi, terkadang juga disebut hermeneutika-ontologi.
Fenomenologi Husserl mencari esensi penampakan dengan membiarkan fenomena-fenomena berbicara sendiri, mengandaikan relasi epistemologis penahu dengan yang diketahui. Penahu Husserlian adalah penahu yang tidak berkepentingan; ego-transenden. Heidegger menolak pemikiran seperti ini. Bagi heidegger, penahu dalam melihat fenomena adalah penahu berkepentingan. Ketika ada pisau (fenomena) di hadapan beberapa orang dan dalam berbagai kondisi, fenomena yang ditangkap pun berbeda, terkait dengan keberadaan sang penahu. Seorang koki akan melihat pisau sebagai alat untuk memotong bahan masakannya; seseorang yang sedang teraniaya akan melihat pisau sebagai alat untuk membela dirinya; seseorang tukang asah akan melihat pisau tersebut tumpul atau tidak tumpul; seorang ibu akan segera langsung menyingkirkan pisau tersebut ketika terlihat oleh balitanya. Kita bisa lihat, pisau sebagai fenomena ditangkap oleh penahu berbeda satu sama lain—sekali pun fenomena mampu berbicara sendiri. Dengan kata lain, penahu ketika melihat yang diketahuinya tidak terlepas dari keberadaan dirinya.
Fenomenologi membiarkan realitas berbicara sendiri, sedangkan herme-neutika berusaha menafsirkan realitas. Heidegger mengatasi hal yang bertolak belakang ini dengan konsep daseinnya (being-in-the-world).
Dasein adalah realitas yang berkaitan dengan hakikat sesuatu. Dasein bertanya, ‘Siapakah aku? Bagaimana aku bisa ada? Dan apa arti keberadaanku?’ Dasein adalah sebuah aktifitas—usaha menjalani kehidupan kita di dunia (Grenz, 2001, 164).
Ketika berhadapan dengan fenomena, walaupun fenomena tersebut berbicara sendiri, fenomena menampakkan dirinya tidak bisa sama sekali terlepas dari keberadaan penahu. Pisau yang tampak kepada diri penahu, berbicara sesuai dengan keberadaan sang penahu; koki, tukang asah pisau; orang teraniaya; ibu yang mempunyai balita, dsb.
Dalam perkembangannya, hermeneutika banyak dipengaruhi strukturalisme, posstrukturalisme, poskolonialisme, filsafat analitis, semiotika, serta dekonstruk-sionisme.
Strukturalisme menganggap bahasa seperti sebuah karya musik. Untuk memahami sebuah simfoni, kita harus memerhatikan keutuhan karya musik secara keseluruhan dan bukan kepada permainan individual dari setiap pemain musik (Grenz, 2001, 179). Strukturalisme menyatakan bahwa bahasa adalah sebuah struktur yang mengatur dirinya sendiri dengan hukum perbedaan.
Kata ‘suami’, misalnya, tidak mewakili suami sebagaimana suami, melainkan bermakna karena ia menyandarkan dirinya pada oposisi biner, ‘istri’. Dengan demikian, bukan lagi medium untuk menyampaikan dunia sesungguhnya, melainkan membentuk dunia.
Ketika kata ‘suami’ dipahami bersifat rasional, maskulin, dan publik, sedangkan oposisi binernya, ‘istri’, dipahami sebagai emosional, feminin, dan domestik, sesungguhnya merupakan bentukan. Strukturalisme hendak menghantam ini dengan mengatakan bahwa identitas-identitas tersebut merupakan ilusi. Ketika kaum humanistik menganggap bahwa manusia adalah otonom dan berkesadaran, strukturalisme menganggap itu semua adalah ilusi.
Serupa dengan strukturalisme, posstrukturalisme menganggap bahwa bahasa bukanlah citra dunia, melainkan membentuk dunia. Bedanya, strukturalisme menganggap makna bahasa akan menetap setelah struktur oposisi biner terbangun. Sedangkan posstrukturalisme menghantam pandangan tersebut; bagi posstrukturalis makna bahasa tidak stabil, dapat berubah-ubah.
Bahasa oleh posstrukturalis dipandang sebagai wacana/diskursus, yaitu bahasa sebagai sebuah institusi dimana kebenaran suatu pernyataan sangat tergantung pada status subjek, tempat, waktu, atribut-atribut. Oleh karena itu, para posstrukturalis memandang bahasa sebagai fenomena politis dimana pembakuan makna-makna selalu melibatkan kuasa (Adian, 2006, 77). Sekadar contoh, pemba-kuan makna Kaum Adat Terpencil sebagai suku primitif melibatkan banyak elemen seperti pengamat sosial, institusi pemerintah, dsb. Ketika kita mendengar kata ‘Suku Adat Terpencil sebagai kaum primitif’, kita sudah terperangkap dalam rezim diskursif yang menentukan siapa yang berhak memutuskan, dan siapa yang diputuskan, di mana, dan kapan.
Posstrukturalis melihat bahasa tidak netral, melainkan bersifat politis. Posstrukturalis hendak menghantam itu. salah satu tokoh ini adalah Jacques Derrida (1930-2004). Derrida memperkenalkan konsep dekonstruksi.untuk merobohkan suatu struktur hierarkis, seperti maskulin/feminin, modern/primitif, rasional/irasional, kulit putih/kulit hitam, pribumi/pendatang, dsb.
Poskolonialisme. Studi poskolonial adalah kebalikan dari sejarah modernisasi. Ia mencari bukanlah sesuatu yang modern, yang mencerahkan dan membebaskan, melainkan sesuatu yang—mungkin bisa dikatakan—‘kelam’ dalam sejarah modernitas, yakni momen-momen kolonialnya (Baso, 2005, 47).
Riwayat kolonialisme berawal dari penamaan (naming). Kemudian penamaan itu ditulis, dibentuk ke dalam teks, kemudian masa lalu adalah teks yang kita kaji, pelajari, analisis. Masa lalu dihadirkan untuk memenuhi kebutuhan ‘masa kini’ kolonial, kebutuhan dan menundukkan dan menjajah penduduk lokal. Dengan kata lain, masa lalu berarti ketika dihadirkan pada masa sekarang. Kemudian dinamakan sesuai dengan kepentingan sendiri. Dicatat bahwa bangsa ini dijajah akibat rendah-nya peradaban bangsa ini. Masalahnya, sejarah itu ditulis oleh kolonial, kemudian dihadirkan pada masa kemudian. Padahal kita tahu, sebelum bangsa ini dijajah, per-adaban bangsa ini maju. Sebagai contoh, Borobudur dibangun sekitar abad 7 M, yang boleh jadi penjajah bangsa ini belum mampu membangun peninggalan artefak sejarah dunia seperti Borobudur.
Sebagai sebuah metodologi, hermeneutika banyak mendapatkan sumbangan dari studi-studi yang sudah sedikit dijelaskan sebelumnya. Dari strukturalisme diketahui bahwa bahasa tidaklah citraan dunia, melainkan pembentukan dunia. Hermeneutik terbantu untuk memahami kata-kata oposisi biner. Tentu saja, hermeneutika melihat persoalan ini tidak selalu sama, atau dengan begitu saja mene-rima konsep strukturalisme. Sederhananya, seorang hermeneut mengetahui bahwa tidak semua bahasa merupakan citraan dunia. Begitu juga dengan posstrukturalisme. Hermeneutika juga terbantu bahwa di dalam setiap bahasa ternyata tidak sepenuhnya bebas nilai. Ada nilai-nilai yang memengaruhi bagaimana bahasa itu pada akhirnya dipahami. Sebagai contoh kata ‘orang Cina’.
0 komentar