Di dalam metodologi terdapat prinsip-prinsip dan prosedur-prosedur serta sebuah proses atas methodos. Dan, hal tersebut sangat erat kaitannya dengan epistemologi. Metodologi menyandarkan dirinya kepada epistemologi. Ketika metodologi berbicara tentang keabsahan pengetahuan, tidak bisa tidak hal tersebut berkaitan dengan nilai. Belum pertanyaan lain. Dengan apa pengetahuan itu ditangkap? Sampai mana fakultas-fakultas cerapan dapat menangkap pengetahuan? Selalukah posisi subjek terpisah dengan objek?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, secara niscaya metodologi terpaut dengan epistemologi—untuk tidak mengatakan bahwa epistemologi identik dengan metodologi.
Apakah metodologi sama dengan pendekatan (approach)? Bila kita menganggap tugas metodologi adalah mengkaji cara-kerja ilmu pengetahuan, segera kita katakan bahwa metodologi berbeda dengan pendekatan. Pendekatan cenderung lebih dekat dengan metode—itu pun kalau metode dan pendekatan dianggap berbeda.
Seperti logika yang bertugas menjaga penalaran dari kesesatan pikir, metodologi berfungsi untuk menghindarkan kesalahan dalam mendekati persoalan dan menjawab masalah yang ada.
Di dalam metodologi, yang terpaut dengan epistemologi, terdapat pemba-hasan tentang fakultas-fakultas sumber pengetahuan apa yang digunakan; sampai mana persoalan bisa dijawab; bagaimana menguji pengetahuan yang diketahui. Dengan kata lain, metodologi mengkaji langkah-langkah pengetahuan, dalam hal ini upaya ilmiah.
Bila membicarakan tentang divinity, tentu sumber indriawi tidak membantu. Indriawi hanya mampu menangkap objek pengetahuan yang bersifat fisik melulu. Ia pun tak bisa mengabstraksikan sesuatu.
Karena tuhan tidak berupa fisik, ia memerlukan alat pengetahuan yang mampu menembus objek di balik alam fisik, dan, tentu saja, mampu meng-abstraksikan sesuatu. Untuk mengetahui tentang tuhan yang berupa nonfisik, kita memerlukan alat pengetahuan yang mampu menangkap objek, yang tidak hanya, bersifat nonfisik; akal dan intuisi.
Dengan demikian, dari paparan di atas, kita mengetahui bahwa kemampuan fakultas pengetahuan mempunyai kecenderungannya sendiri. Ada pengetahuan yang dihasilkan dari pengamatan indriawi (a posteriori); juga ada pengetahuan yang tidak diturunkan dari pengalaman (a priori). Untuk mengetahui bahwa di depan saya ada komputer (objek fisik), saya harus melihatnya terlebih dahulu (a posteriori). Artinya, pengetahuan saya tentang keberadaan komputer di hadapan saya, diturunkan dari pengamatan indriawi. Bisa saja, tanpa menggunakan indriawi, saya mampu membayangkan bahwa di depan saya ada komputer. Permasalahannya, pengetahuan saya akan komputer bersifat realitas mental (objek nonfisik), bukan realitas luaran (fisik). Sedangkan pengetahuan yang hendak saya ketahui adalah pengetahuan tentang objek fisik (komputer qua komputer).
Begitu juga untuk mengetahui hakikat di balik objek fisik, indriawi tidak mampu menembusnya. Kita memerlukan fakultas lain untuk menjawab dan meraih pengetahuan tentangnya.
Karena kita hendak mencari kebenaran realitas, baik itu yang konkret maupun abstrak, kita perlu menguji pengetahuan yang telah dicapai. Apakah valid atau tidak valid? Apakah keberadaan penahu (subjek) benar-benar tidak memengaruhi yang diketahui (objek)?
Metodologi hendak menjawab itu semua. Dengan demikian, metodologi merupakan alat-ukur atas pengetahuan yang sudah dicapai. Apakah pengetahuan tersebut sudah benar, paling tidak mendekati kebenaran? Sampai di sini kita bisa menarik kesimpulan bahwa metodologi dalam upaya ilmiah merupakan bentuk pertanggungjawaban pengetahuan itu
Metodologi, sebagai kumpulan metode-metode, yang dimana metode-metode memunyai ilmu-ilmu tersendiri; seperti ilmu-ilmu kealaman, ilmu-ilmu sosial, dan ilmu-ilmu budaya (humaniora). Dengan demikian terdapat perbedaan antara metodologi ilmu-ilmu kealaman dan ilmu-ilmu sosial serta ilmu-ilmu budaya.
Objek. Dalam ilmu-ilmu kealaman objek yang menjadi kajian adalah alam. Sedangkan dalam ilmu-ilmu sosial yang menjadi objek kajian adalah relasi-sosial, seperti masyarakat. Adapun objek ilmu-ilmu budaya adalah manusia. Sebab, kebudayaan secara ontologis ada karena manusia. Hal tersebut yang menjadikan ilmu budaya terkadang disebut ilmu humaniora.
Karena adanya perbedaan objek, konsekuensinya terdapat perbedaan langkah. Sumber, misalnya. Dalam ilmu-ilmu kealaman, pengetahuan berangkat dari fakultas indriawi, adapun rasio berperan untuk menguniversalkan hasil pengetahuan indriawi tersebut. Misalkan dalam metode induksi, yang digunakan dalam ilmu-ilmu ilmiah, seharusnya pengetahuan yang diraih tidak bersifat universal, melainkan partikular. Sebagai contoh, selama ini kita tidak pernah melihat angsa berwarna putih. Akan tetapi, bukan berarti bahwa angsa yang berwarna hitam tidak benar-benar ada. Bisa saja di kemudian hari ada angsa berwarna hitam. Namun pada kenyataannya, metode induksi menguniversalkan hasil pengetahuaannya. Padahal hal tersebut diluar kemampuan metode induksi. Artinya, universalitas pengetahuan induksi tidak diturunkan dari fakultas indriawi, melainkan fakultas akal (metode deduksi). Namun demikian, pengetahuan kealaman berangkat dari pengamatan fakultas indriawi. Dan karena hal tersebut, kita bisa mengerti kenapa pengetahuan seperti ini disebut empirisisme.
Begitu juga dengan ilmu-ilmu sosial. Fakultas yang dugunakan adalah akal. Sebab, pengamatan indriawi tidak mampu menembus apa yang ada di balik fenomena sosial. Sebagai contoh, di Indonesia ketika menjelang Hari Raya ‘Id al-Fithri, masyarakatnya berduyun-duyun mudik, dan hampir setiap rumah sibuk memer-siapkan penganan, seperti ketupat, dsb. Pengamatan indriawi hanya berhenti pada tataran penampakan bahwa banyak orang mudik dan hampir setiap rumah memer-siapkan penganan. Tanpa mengetahui kenapa banyak orang yang mudik, kenapa dengan mudahnya kita bisa menemukan banyak penganan di hampir setiap rumah ketika menjelang Hari Raya ‘Id al-Fithri?
Sedangkan ilmu-ilmu humaniora, serupa dengan ilmu-ilmu sosial, hanya saja, ilmu-ilmu humaniora tidak hanya menggunakan fakultas akal, ia juga menggunakan fakultas intuisi. Karena di dalam ilmu humaniora yang menjadi objek kajian adalah manusia. Dan, manusia merupakan suatu hal yang sama sekali kompleks. Manusia tidak hanya bersifat rasional, ia juga berdimensi emosional, bahkan pada titik tertentu manusia bersifat spiritual.
Kemudian, pada tataran struktur, dalam arti bagaimana posisi antara subjek dan objek. Di dalam ilmu-ilmu kealaman, subjek sama sekali terpisah dengan objek—setidaknya dalam dunia ilmiah mainstream, atau khususnya sains positivistik—objek menyingkapkan diri seutuhnya pada subjek. Walaupun pada wilayah sub-atomik, sang subjek tidak terpisahkan dengan objek—bahkan posisi subjek menentukan realitas, dalam arti subjek ikut membentuk realitas objek. Berbeda dengan ilmu kealaman, ilmu sosial, subjek tidak hanya memosisikan dirinya sama sekali terpisah, pada titik tertentu ia (subjek) harus menyatu dengan objek Begitu juga dengan struktur antara penahu dengan yang diketahui dalam ilmu-ilmu humaniora.
Pada sisi lain, metode ilmu-ilmu kealaman bersifat induktif, sedangkan ilmu-ilmu sosial serta ilmu-ilmu humaniora bersifat deduktif. Ada perbedaan langkah di sini. Seperti eksperimen dan observasi pada ilmu-ilmu kealaman, dan penalaran pada ilmu-ilmu sosial atau ilmu-ilmu humaniora. Begitu juga dalam hal pengujian suatu pengetahuan. Ilmu-ilmu kealaman lebih bersifat verifikasi. Sedangkan ilmu-ilmu so-sial atau ilmu-ilmu humaniora bersifat koherensi-logis atau pragmatis.
Pertanyaan kita adalah, kenapa harus ada perbedaan metodologi dalam disiplin-disiplin tersebut? Kita jawab bahwa perbedaan tersebut memang suatu keharusan. Menggunakan metode eksperimental untuk mengetahui tuhan, atau mencari keberadaan tuhan di laboratorium modern, sama sekali tidak mungkin.
Belum lagi persoalan alat bantu. Teleskop, misalnya. Dengan mata telanjang kita melihat bulan atau bintang sangatlah kecil. Akan tetapi, kenyataannya tidaklah demikian. Maka, digunakanlah alat-bantu. Melalui teleskop, bahkan satelit, kita mengetahui ukuran sebenarnya dari bulan atau bintang. Tanpa menggunakan alat-bantu tersebut, akal pun dapat menjawab bahwa bintang tidak kecil seperti yang terlihat. Masalahnya, akal tidak mampu menjawab berapakah ukuran (secara angka) objek tersebut. Karena, alat bantu tersebut juga hendak menjawab ukuran objek tersebut, yang di mana akal hanya berhenti pada kenyataan bahwa objek tersebut tidak terlihat kecil sama sekali ketika dilihat dengan mata telanjang, maka digunakanlah alat bantu untuk mengetahui ukuran sebenarnya.
Dari paparan di atas, sedikitnya kita mencatat ada perbedaan antara ilmu-ilmu kealaman dan ilmu-ilmu sosial serta ilmu-ilmu humaniora: 1) objek kajian; 2) metode; 3) pengujian keabsahan pengetahuan; 4) sifat hasil pengetahuan (baca: universal atau partikular); 5) sumber pengetahuan; dan 6) alat-bantu.
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, secara niscaya metodologi terpaut dengan epistemologi—untuk tidak mengatakan bahwa epistemologi identik dengan metodologi.
Apakah metodologi sama dengan pendekatan (approach)? Bila kita menganggap tugas metodologi adalah mengkaji cara-kerja ilmu pengetahuan, segera kita katakan bahwa metodologi berbeda dengan pendekatan. Pendekatan cenderung lebih dekat dengan metode—itu pun kalau metode dan pendekatan dianggap berbeda.
Seperti logika yang bertugas menjaga penalaran dari kesesatan pikir, metodologi berfungsi untuk menghindarkan kesalahan dalam mendekati persoalan dan menjawab masalah yang ada.
Di dalam metodologi, yang terpaut dengan epistemologi, terdapat pemba-hasan tentang fakultas-fakultas sumber pengetahuan apa yang digunakan; sampai mana persoalan bisa dijawab; bagaimana menguji pengetahuan yang diketahui. Dengan kata lain, metodologi mengkaji langkah-langkah pengetahuan, dalam hal ini upaya ilmiah.
Bila membicarakan tentang divinity, tentu sumber indriawi tidak membantu. Indriawi hanya mampu menangkap objek pengetahuan yang bersifat fisik melulu. Ia pun tak bisa mengabstraksikan sesuatu.
Karena tuhan tidak berupa fisik, ia memerlukan alat pengetahuan yang mampu menembus objek di balik alam fisik, dan, tentu saja, mampu meng-abstraksikan sesuatu. Untuk mengetahui tentang tuhan yang berupa nonfisik, kita memerlukan alat pengetahuan yang mampu menangkap objek, yang tidak hanya, bersifat nonfisik; akal dan intuisi.
Dengan demikian, dari paparan di atas, kita mengetahui bahwa kemampuan fakultas pengetahuan mempunyai kecenderungannya sendiri. Ada pengetahuan yang dihasilkan dari pengamatan indriawi (a posteriori); juga ada pengetahuan yang tidak diturunkan dari pengalaman (a priori). Untuk mengetahui bahwa di depan saya ada komputer (objek fisik), saya harus melihatnya terlebih dahulu (a posteriori). Artinya, pengetahuan saya tentang keberadaan komputer di hadapan saya, diturunkan dari pengamatan indriawi. Bisa saja, tanpa menggunakan indriawi, saya mampu membayangkan bahwa di depan saya ada komputer. Permasalahannya, pengetahuan saya akan komputer bersifat realitas mental (objek nonfisik), bukan realitas luaran (fisik). Sedangkan pengetahuan yang hendak saya ketahui adalah pengetahuan tentang objek fisik (komputer qua komputer).
Begitu juga untuk mengetahui hakikat di balik objek fisik, indriawi tidak mampu menembusnya. Kita memerlukan fakultas lain untuk menjawab dan meraih pengetahuan tentangnya.
Karena kita hendak mencari kebenaran realitas, baik itu yang konkret maupun abstrak, kita perlu menguji pengetahuan yang telah dicapai. Apakah valid atau tidak valid? Apakah keberadaan penahu (subjek) benar-benar tidak memengaruhi yang diketahui (objek)?
Metodologi hendak menjawab itu semua. Dengan demikian, metodologi merupakan alat-ukur atas pengetahuan yang sudah dicapai. Apakah pengetahuan tersebut sudah benar, paling tidak mendekati kebenaran? Sampai di sini kita bisa menarik kesimpulan bahwa metodologi dalam upaya ilmiah merupakan bentuk pertanggungjawaban pengetahuan itu
Metodologi, sebagai kumpulan metode-metode, yang dimana metode-metode memunyai ilmu-ilmu tersendiri; seperti ilmu-ilmu kealaman, ilmu-ilmu sosial, dan ilmu-ilmu budaya (humaniora). Dengan demikian terdapat perbedaan antara metodologi ilmu-ilmu kealaman dan ilmu-ilmu sosial serta ilmu-ilmu budaya.
Objek. Dalam ilmu-ilmu kealaman objek yang menjadi kajian adalah alam. Sedangkan dalam ilmu-ilmu sosial yang menjadi objek kajian adalah relasi-sosial, seperti masyarakat. Adapun objek ilmu-ilmu budaya adalah manusia. Sebab, kebudayaan secara ontologis ada karena manusia. Hal tersebut yang menjadikan ilmu budaya terkadang disebut ilmu humaniora.
Karena adanya perbedaan objek, konsekuensinya terdapat perbedaan langkah. Sumber, misalnya. Dalam ilmu-ilmu kealaman, pengetahuan berangkat dari fakultas indriawi, adapun rasio berperan untuk menguniversalkan hasil pengetahuan indriawi tersebut. Misalkan dalam metode induksi, yang digunakan dalam ilmu-ilmu ilmiah, seharusnya pengetahuan yang diraih tidak bersifat universal, melainkan partikular. Sebagai contoh, selama ini kita tidak pernah melihat angsa berwarna putih. Akan tetapi, bukan berarti bahwa angsa yang berwarna hitam tidak benar-benar ada. Bisa saja di kemudian hari ada angsa berwarna hitam. Namun pada kenyataannya, metode induksi menguniversalkan hasil pengetahuaannya. Padahal hal tersebut diluar kemampuan metode induksi. Artinya, universalitas pengetahuan induksi tidak diturunkan dari fakultas indriawi, melainkan fakultas akal (metode deduksi). Namun demikian, pengetahuan kealaman berangkat dari pengamatan fakultas indriawi. Dan karena hal tersebut, kita bisa mengerti kenapa pengetahuan seperti ini disebut empirisisme.
Begitu juga dengan ilmu-ilmu sosial. Fakultas yang dugunakan adalah akal. Sebab, pengamatan indriawi tidak mampu menembus apa yang ada di balik fenomena sosial. Sebagai contoh, di Indonesia ketika menjelang Hari Raya ‘Id al-Fithri, masyarakatnya berduyun-duyun mudik, dan hampir setiap rumah sibuk memer-siapkan penganan, seperti ketupat, dsb. Pengamatan indriawi hanya berhenti pada tataran penampakan bahwa banyak orang mudik dan hampir setiap rumah memer-siapkan penganan. Tanpa mengetahui kenapa banyak orang yang mudik, kenapa dengan mudahnya kita bisa menemukan banyak penganan di hampir setiap rumah ketika menjelang Hari Raya ‘Id al-Fithri?
Sedangkan ilmu-ilmu humaniora, serupa dengan ilmu-ilmu sosial, hanya saja, ilmu-ilmu humaniora tidak hanya menggunakan fakultas akal, ia juga menggunakan fakultas intuisi. Karena di dalam ilmu humaniora yang menjadi objek kajian adalah manusia. Dan, manusia merupakan suatu hal yang sama sekali kompleks. Manusia tidak hanya bersifat rasional, ia juga berdimensi emosional, bahkan pada titik tertentu manusia bersifat spiritual.
Kemudian, pada tataran struktur, dalam arti bagaimana posisi antara subjek dan objek. Di dalam ilmu-ilmu kealaman, subjek sama sekali terpisah dengan objek—setidaknya dalam dunia ilmiah mainstream, atau khususnya sains positivistik—objek menyingkapkan diri seutuhnya pada subjek. Walaupun pada wilayah sub-atomik, sang subjek tidak terpisahkan dengan objek—bahkan posisi subjek menentukan realitas, dalam arti subjek ikut membentuk realitas objek. Berbeda dengan ilmu kealaman, ilmu sosial, subjek tidak hanya memosisikan dirinya sama sekali terpisah, pada titik tertentu ia (subjek) harus menyatu dengan objek Begitu juga dengan struktur antara penahu dengan yang diketahui dalam ilmu-ilmu humaniora.
Pada sisi lain, metode ilmu-ilmu kealaman bersifat induktif, sedangkan ilmu-ilmu sosial serta ilmu-ilmu humaniora bersifat deduktif. Ada perbedaan langkah di sini. Seperti eksperimen dan observasi pada ilmu-ilmu kealaman, dan penalaran pada ilmu-ilmu sosial atau ilmu-ilmu humaniora. Begitu juga dalam hal pengujian suatu pengetahuan. Ilmu-ilmu kealaman lebih bersifat verifikasi. Sedangkan ilmu-ilmu so-sial atau ilmu-ilmu humaniora bersifat koherensi-logis atau pragmatis.
Pertanyaan kita adalah, kenapa harus ada perbedaan metodologi dalam disiplin-disiplin tersebut? Kita jawab bahwa perbedaan tersebut memang suatu keharusan. Menggunakan metode eksperimental untuk mengetahui tuhan, atau mencari keberadaan tuhan di laboratorium modern, sama sekali tidak mungkin.
Belum lagi persoalan alat bantu. Teleskop, misalnya. Dengan mata telanjang kita melihat bulan atau bintang sangatlah kecil. Akan tetapi, kenyataannya tidaklah demikian. Maka, digunakanlah alat-bantu. Melalui teleskop, bahkan satelit, kita mengetahui ukuran sebenarnya dari bulan atau bintang. Tanpa menggunakan alat-bantu tersebut, akal pun dapat menjawab bahwa bintang tidak kecil seperti yang terlihat. Masalahnya, akal tidak mampu menjawab berapakah ukuran (secara angka) objek tersebut. Karena, alat bantu tersebut juga hendak menjawab ukuran objek tersebut, yang di mana akal hanya berhenti pada kenyataan bahwa objek tersebut tidak terlihat kecil sama sekali ketika dilihat dengan mata telanjang, maka digunakanlah alat bantu untuk mengetahui ukuran sebenarnya.
Dari paparan di atas, sedikitnya kita mencatat ada perbedaan antara ilmu-ilmu kealaman dan ilmu-ilmu sosial serta ilmu-ilmu humaniora: 1) objek kajian; 2) metode; 3) pengujian keabsahan pengetahuan; 4) sifat hasil pengetahuan (baca: universal atau partikular); 5) sumber pengetahuan; dan 6) alat-bantu.
0 komentar