Setelah teori ketidakpastian Heisenberg mengguncang jagat pengetahuan, khususnya disiplin keilmuan yang bercorak Cartesian-Newtonian, tampaknya kesadaran bahwa masalah meraih (kebenaran) pengetahuan merupakan hal kompleks—namun demikian, bukan berarti kita kehilangan kemampuan untuk meraih kebenaran, setidaknya mendekati kebenaran. Kemudian, masalah yang didekati hanya dengan satu model metodologi, ketika dilihat dengan metodologi lain banyak menghasilkan pengetahuan-pengetahuan baru yang sebelumnya sama sekali tak terduga. Tidak hanya sampai situ, jawaban yang dihasilkan dengan cara lebih dari satu penggunaan metodologi tersebut, ketika dikumpulkan membawa kita kepada pemahaman yang utuh. Karenanya, penting di sini kita ajukan pertanyaan: masih tepatkah kita menggunakan satu metodologi dalam upaya ilmiah?
Sekadar contoh, ketika kita hendak memberikan jawaban atau solusi terhadap masalah semakin meningkatnya aksi pornografi dan pornoaksi dalam keberagamaan umat Islam, kita memerlukan banyak metodologi untuk mendekati permasalahan ini. Bila kita hanya melihat persoalan ini hanya dari sudut hukum Islam (fiqh), jawaban yang kita dapatkan adalah pornoaksi dan pornografi merupakan tindakan yang meru-sak moral. Dan tindakan merusak moral masuk ke dalam tindakan katagori haram dari lima katagori hukum yang ada (ahkam al-khamsah). Tentu saja jawaban ini benar. Akan tetapi, apakah itu berarti kita harus memaksa mereka untuk tidak melakukannya atau memberikan sanksi hukuman kurung bila mereka tetap melaku-kan tindakan tersebut? Boleh jadi, mereka yang melakukan tindakan tersebut, terhimpit persoalan perekonomian? Haruskah kita memaksa semua pekerja seksual komersial (PSK) di negeri ini untuk menghentikan aksinya? Lantas, bagaimana mereka mendapatkan uang untuk menutupi kebutuhan kesehariannya?
Kasus lain, ketika kita hendak melihat keberagamaan umat Islam di indonesia menggunakan metodologi fenomenologi. Di dalam penelitian kita banyak menemukan ciri-ciri keberagamaan umat Islam yang berbeda satu sama lain. Misalkan, menjelang Hari Raya ‘Id al-Fithri, fenomena pulang kampung dan membuat ketupat serta mengucapkan min al-‘aidin wa al-fa’idzin (ketika di hari lebaran) merupakan hal yang sangat erat kaitannya dengan keberagamaan umat Islam Indonesia. Dalam fenomenologi, yang berusaha melihat fenomena berbicara dengan sendirinya, maka ketika umat Islam Indonesia menegaskan bahwa lebaran mereka tidak lengkap atau sempurna bila tidak pulang kampung atau membuat ketupat, serta kefitrahan mereka tidak lengkap sebelum mengucapkan min al-‘aidin wa al-fa’idzin kepada orang lain, fenomenolog melihat ini sebagai bagian dari agama. Akan tetapi, karena fenomenologi berusaha menanggalkan prasangka-prasangka serta teori-teori yang mampu mendistorsi realitas, pengetahuan bahwa hal tersebut merupakan bagian dari agama ditunda terlebih dahulu (epoche, bracketing). Ketika yang bersangkutan, pemeluk agama yang dilihat, mengamini hasil pengamatan fenomenologi, barulah sang fenomenolog memberikan penilaian bahwa fenomena tersebut memang bagian dari agama. Benarkah seperti itu, segera kita bertanya? Sebelum hasil pengamatan fenomenologi itu kita finalkan, tampaknya kita harus melihat metodologi lain. Benarkah fenomena pulang kampung menjelang lebaran merupakan bagian dari agama? Kita perlu meminjam metodologi lain yang membahas masalah dasar-dasar agama (ushul al-din), seperti, metodologi kalam, dsb.Melihat satu persoalan dari satu sisi, maka hanya satu profil yang kita lihat. Berbeda halnya bila kita melihat persoalan dari berbagai sudut pandang (baca: metodologi), akan ada banyak profil yang bisa kita lihat. Semakin banyak sudut profil yang kita lihat, semakin jelas permasalahan yang terlihat dalam pengamatan kita. Dengan demikian, kombinasi antar berbagai metodologi tidak hanya dimungkinkan, akan tetapi, suatu kebutuhan—belum lagi persoalan yang ada semakin tinggi tingkat kekompleksitasannya.
Sekadar contoh, ketika kita hendak memberikan jawaban atau solusi terhadap masalah semakin meningkatnya aksi pornografi dan pornoaksi dalam keberagamaan umat Islam, kita memerlukan banyak metodologi untuk mendekati permasalahan ini. Bila kita hanya melihat persoalan ini hanya dari sudut hukum Islam (fiqh), jawaban yang kita dapatkan adalah pornoaksi dan pornografi merupakan tindakan yang meru-sak moral. Dan tindakan merusak moral masuk ke dalam tindakan katagori haram dari lima katagori hukum yang ada (ahkam al-khamsah). Tentu saja jawaban ini benar. Akan tetapi, apakah itu berarti kita harus memaksa mereka untuk tidak melakukannya atau memberikan sanksi hukuman kurung bila mereka tetap melaku-kan tindakan tersebut? Boleh jadi, mereka yang melakukan tindakan tersebut, terhimpit persoalan perekonomian? Haruskah kita memaksa semua pekerja seksual komersial (PSK) di negeri ini untuk menghentikan aksinya? Lantas, bagaimana mereka mendapatkan uang untuk menutupi kebutuhan kesehariannya?
Kasus lain, ketika kita hendak melihat keberagamaan umat Islam di indonesia menggunakan metodologi fenomenologi. Di dalam penelitian kita banyak menemukan ciri-ciri keberagamaan umat Islam yang berbeda satu sama lain. Misalkan, menjelang Hari Raya ‘Id al-Fithri, fenomena pulang kampung dan membuat ketupat serta mengucapkan min al-‘aidin wa al-fa’idzin (ketika di hari lebaran) merupakan hal yang sangat erat kaitannya dengan keberagamaan umat Islam Indonesia. Dalam fenomenologi, yang berusaha melihat fenomena berbicara dengan sendirinya, maka ketika umat Islam Indonesia menegaskan bahwa lebaran mereka tidak lengkap atau sempurna bila tidak pulang kampung atau membuat ketupat, serta kefitrahan mereka tidak lengkap sebelum mengucapkan min al-‘aidin wa al-fa’idzin kepada orang lain, fenomenolog melihat ini sebagai bagian dari agama. Akan tetapi, karena fenomenologi berusaha menanggalkan prasangka-prasangka serta teori-teori yang mampu mendistorsi realitas, pengetahuan bahwa hal tersebut merupakan bagian dari agama ditunda terlebih dahulu (epoche, bracketing). Ketika yang bersangkutan, pemeluk agama yang dilihat, mengamini hasil pengamatan fenomenologi, barulah sang fenomenolog memberikan penilaian bahwa fenomena tersebut memang bagian dari agama. Benarkah seperti itu, segera kita bertanya? Sebelum hasil pengamatan fenomenologi itu kita finalkan, tampaknya kita harus melihat metodologi lain. Benarkah fenomena pulang kampung menjelang lebaran merupakan bagian dari agama? Kita perlu meminjam metodologi lain yang membahas masalah dasar-dasar agama (ushul al-din), seperti, metodologi kalam, dsb.Melihat satu persoalan dari satu sisi, maka hanya satu profil yang kita lihat. Berbeda halnya bila kita melihat persoalan dari berbagai sudut pandang (baca: metodologi), akan ada banyak profil yang bisa kita lihat. Semakin banyak sudut profil yang kita lihat, semakin jelas permasalahan yang terlihat dalam pengamatan kita. Dengan demikian, kombinasi antar berbagai metodologi tidak hanya dimungkinkan, akan tetapi, suatu kebutuhan—belum lagi persoalan yang ada semakin tinggi tingkat kekompleksitasannya.
0 komentar