Dari Promosi Doktor Bidang Tafsir
Pemikiran Tafsir al-Qur’an al-Karim (Tafesere Mabbasa Ugi) karya MUI Sulawesi Selatan cenderung kepada pemikiran yang tekstualis, yaitu suatu corak yang berorientasi pada teks dalam dirinya. Artinya di dalam memahami suatu teks, ia hanya melacak konteks penggunaannya pada masa di mana teks itu muncul. Dengan demikian, analisisnya cenderung bergerak dari refleksi (teks) ke praksis (konteks), sehingga pengalaman lokal (sejarah dan budaya) di mana seorang mufassir dengan audiensnya berada tidak menempati posisi yang signifikan atau bahkan sama sekali tidak punya peran. Oleh karena itu, Tafsir MUI masih sangat kuat pengaruh karya-karya tafsir pendahulunya.
Disertasi ini memperkuat pendapat pakar yang memberikan penilaian bahwa kajian beberapa karya tafsir ulama, khususnya karya ulama di Indonesia, antara lain: Pertama, Drewes menyatakan bahwa karya-karya dalam bahasa Melayu atau umat Islam Indonesia masih sangat kuat ketergantungan dengan sumber-sumber berbahasa Arab. Kedua, Salman Harun menyatakan bahwa doktrin taqlid ulama pada masa awal di Indonesia masih mendominasi dalam dunia pemikiran umat Islam dengan suatu pandangan bahwa tidak seorang pun mampu dalam berijtihad. Ketiga, ‘Ali ‘Iyazi (1373 H) memberikan sebuah sinyalemen yang dia sebut sebagai manhaj tafsîr al-taqarrub bayn al-mazâhib wa al-wihdah al-islâmiyyah, yaitu suatu metode tafsir yang senantiasa mengedepankan nilai kebersamaan antar sesama umat Islam dengan menghindari polemik. Pandangan ini sejalan dengan pemikiran yang dikembangkan di dalam kitab tafsir bahasa Bugis MUI Sulawesi Selatan.
Kesimpulan di atas didasarkan atas temuan beberapa kajian terhadap penafsiran-penafsiran bahwa tafsir karya Tim MUI Sulawesi Selatan, pertama, dilihat dari segi metode pengambilan sumber tafsir ini cenderung memadukan (izdiwâj) antara sumber tafsir bi al-ma’tsûr dengan tafsîr bi al-‘ray dan pendekatan analisisnya cenderung kepada bentuk ijmâli (global). Kesimpulan ini didasarkan kepada penafsiran-penafsiran ayat yang hanya menguraikan apa yang ada di dalam ayat sendiri. Dengan demikian, MUI di dalam tafsirnya tidak berada pada posisi sebagai tafsir dan ta’wil, tetapi lebih kepada tabyîn (menjelaskan). Kedua, sangat kuat ketergantungan dengan tafsir-tafsir rujukannya, sehingga penafsiran-penafsirannya hampir dihiasi oleh pendapat-pendapat mufassir. Ketiga, berdasarkan analisis terhadap beberapa masalah wacana pemikiran kontemporer tidak ditemukan memberikan respon, karena penafsirannya hanya berputar pada teks ayat itu sendiri dan kemudian tafsir ini sebagai sasaran pembacanya adalah masyarakat Bugis yang awam yang belum mampu memahami kitab tafsir yang berbahasa Arab.
Selain dari beberapa kesimpulan di atas ditemukan juga dua hal yaitu, pertama, bahwa tafsir ini dalam bidang hukum tidak tercermin kefanatikannya terhadap satu kelompok mazhab. kedua, sikap pleksibitas di dalam pengambilan sumber atau rujukan tafsirnya dengan menjadikan kitab-kitab tafsir yang memiliki latar belakang corak paham dan aliran yang berbeda. Dengan demikian, langkah ini ditempuh oleh Tim MUI adalah dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat pembacanya yang berbeda-beda, baik dari segi paham maupun aliran yang anutnya, demikian adalah demi mewujudkan tujuan al-Qur’an diturunkan, yaitu sebagai hudan li al-nâs (petunjuk bagi umat manusia).
Sumber yang dipakai dalam penelitian ini, adalah 1) Ayat-ayat al-Qur’an; 2) Tafsir Bahasa Bugis karya MUI Sulawesi Selatan sebagai sumber primer dan beberapa kitab tafsir lainnya sebagai sumber sekunder dan sumber-sumber yang terkait dengan pembahasan. Data-data ini dibaca dan dianalisis dengan menggunakan teori-teori tafsir, khususnya teori tafsir mawdhû’i. Teori ini digunakan dalam menganalisis suatu tema yang dibahas. Kemudian menggunakan teori-teori hermeneutika sebagai alat analisis terhadap keterkaitan sebuah penafsiran dengan konteks, khususnya dalam menganalisis konteks budaya di mana tafsir itu muncul.
0 komentar