Oleh : Abdul Majid
Tulisan ini membahas hadis tentang perkembangan embrio yang difokuskan pada pemahaman para ulama dan perbandingannya dengan ilmu embriologi mutakhir. Pada beberapa hal, kajian ini menemukan adanya kesesuain dan perbedaan di antara dua perspektif tersebut. Salah satu perbedaan yang bisa dikemukakan adalah dalam perspektif ulama, waktu yang dibutuhkan pada setiap tahap perkembangan nuthfah, `alaqah dan mudghah adalah empat puluh hari, sehingga peniupan ruh ke dalamnya terjadi pasca tiga kali empat puluh itu. Pemahaman ini pada akhirnya berimplikasi pada perbedaan pendapat di kalangan ulama seputar hukum aborsi sebelum usia kandungan mencapai empat bulan, dan beberapa implikasi lainnya.
Sedangkan dalam ilmu embrilogi, tiga kali empat hari tersebut tidak dikenal, ketiga tahap, nuthfah, `alaqah dan mudhgah, sebetulnya berproses dalam satu kali empat puluh hari. Bahkan menurut hasil riset ilmu ini, pada usia minggu kedua belas sampai ketiga belas embrio telah bisa bergerak meskipun belum dirasakan oleh perempuan yang menghamilkannya. Ini berarti masa kehidupun embrio menurut riset ini lebih awal dari hasil pemikiran ulama di atas.
Walhasil, tulisan ini merekomendsasikan hasil penelitian ilmu kedokteran tersebut dipertimbangkan untuk merubah pemahaman para ulama tersebut sekaligus menggugurkan implikasi yang ditimbulkannya.
Pendahuluan
Dalam posisinya sebagai sumber ajaran Islam yang kedua setelah al-Qur`an, hadis merupakan salah satu medan studi yang signifikan. Karena itu, sejak generasi awal sampai sekarang para ulama telah menelorkan berbagai karya syarah dengan varian metode dan corak sebagai refleksi mereka terhadap hadis-hadis Nabi.
Namun satu hal yang patut diingat adalah pemahaman atau penafsiran ulama tersebut posisinya tidak sama dengan hadis yang ditafsirkan, dengan kata lain tidak absolut dan tidak universal. Karena pemahaman merupakan penafsiran maka tentu tidak terlepas dari beberapa factor di antaranya; tingkat kecerdasan, latar belakang keilmuan, pengalaman, penemuan-penemuan ilmiah, dan kondisi social-politik di mana sang penafsir berada. Karena itu, perubahan bahkan kekeliruan adalah sebuah keniscayaan seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan perubahan masyarakat.
Kemajuan ilmu pengetahuan yang dibarengi dengan perkembangan dan perubahan masyarakat merupakan hal yang tidak bisa dihindari. Hal ini seharusnya diikuti dengan perkembangan pemikiran terhadap teks- teks agama (baca:hadis). Kalau tidak, maka keduanya akan berjalan pada dunia yang berbeda. Ilmu pengetahuan akan berkembang hampa dari nilai-nilai moral agama, sebaliknya pemahaman agama akan semakin “mengawang-awang”, kering dan tidak menyentuh kehidupan manusia.
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut meniscayakan terjadinya perubahan pemahaman dan penafsiran kepada teks agama termasuk hadis yang pada akhirnya mungkin akan berimplikasi pada perubahan hukum. Dalam perspektif ini, ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut sejatinya dijadikan salah satu pertimbangan dalam memaknai atau menafsirkan hadis tertutama pada hadis yang memuat isyarat-isyarat ilmiah. Sebab seperti halnya dengan al-Qur`an, hadis Nabi pun tidak hanya mengenai persoalan hukum,tetapi juga menyangkut sejarah, pendidikan, keimanan, ibadah dan ilmu pengetahuan. .
Hemat penulis, salah satu hadis yang patut didekati dengan ilmu pengetahuan dan teknologi adalah hadis tentang proses penciptaan manusia dalam hal ini perkembangan embrio (janin) dalam rahim. Hasil pembacaan penulis pada beberapa literature menemukan adanya perbedaan antara ulama (terutama ulama hadis) dan perspektif ilmu kedokteran.
Berdasarkan pemahaman mereka terhadap hadis Nabi, para ulama berpendapat bahwa embrio berkembang pada tiga tahap, nuthfah, `alaqah dan mudghah..Setiap tahap berproses selama empat puluh hari, sehingga waktu yang dibutuhkan untuk ketiga tahap tersebut adalah seratus dua puluh hari atau empat bulan. Setelah itu, melalui malaikat utusan-Nya, Allah meniupkan ruh ke dalam embrio itu. Jadi menurut pendapat ini, embrio baru mengalami kehidupan ínsani setelah kehamilan mencapai usia empat bulan ke atas
Pemahaman di atas telah mengkristal sangat lama di kalangan masyarakat, yang pada akhirnya berimplikasi pada munculnya pendapat sebagian ulama, seperti Muhammad Ramli dalam kitab al-Nihayah-nya, yang membolehkan praktek aborsi sebelum usia kandungan mencapai empat bulan, dengan alasan saat itu janin belum bernyawa karena ruh belum ditiupkan ke dalamnya.
Pemahaman di atas tentu berbeda dengan kedokteran. Menurut ilmu ini ketika spermatozoa dan ovum bertemu (pembuahan) maka pada saat itu kehidupan telah ada. Sehingga, mulai saat itu pula aborsi merupakan tindakan pembunuhan dan terlarang.
Penjelasan Hadis
Hadis-hadis mengenai perkembangan embrio cukup banyak ditemukan dalam beberapa kitab hadis, namun pada umunya para ulama merujk pada hadis riwayat Ibnu Mas`ud berikut:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ حَدَّثَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ الصَّادِقُ الْمَصْدُوقُ إِنَّ أَحَدَكُمْ يُجْمَعُ خَلْقُهُ فِي بَطْنِ أُمِّهِ أَرْبَعِينَ يَوْمًا ثُمَّ يَكُونُ فِي ذَلِكَ عَلَقَةً مِثْلَ ذَلِكَ ثُمَّ يَكُونُ فِي ذَلِكَ مُضْغَةً مِثْلَ ذَلِكَ ثُمَّ يُرْسَلُ الْمَلَكُ فَيَنْفُخُ فِيهِ الرُّوحَ وَيُؤْمَرُ بِأَرْبَعِ كَلِمَاتٍ بِكَتْبِ رِزْقِهِ وَأَجَلِهِ وَعَمَلِهِ وَشَقِيٌّ أَوْ سَعِيدٌ فَوَالَّذِي لَا إِلَهَ غَيْرُهُ إِنَّ أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ حَتَّى مَا يَكُونُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إِلَّا ذِرَاعٌ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ فَيَدْخُلُهَا وَإِنَّ أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ حَتَّى مَا يَكُونُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إِلَّا ذِرَاعٌ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ فَيَدْخُلُهَا
Menurut keterangan hadis di atas, embrio pada rahim berproses dengan beberapa tahap di antaranya nuthfah, `alaqah, mudghah dan peniupan ruh. Berikut akan dideskripsikan pemikiran beberapa ulama dan ilmu kedokteran menyangkut tahap-tahap perkembangan tersebut.
TahapNuthfah
إِنَّ أَحَدَكُمْ يُجْمَعُ خَلْقُهُ فِي بَطْنِ أُمِّهِ أَرْبَعِينَ يَوْمًا. Kata الجمع ditafsirkan oleh para ulama dengan beberapa makna diantaranya:
1. Mencampur sesuatu dengan sesuatu yang lain setelah terpencar.
2. Ketetapan nuthfah (مكث النطفة), makna ini didasarkan pada tafsiran Ibnu Mas`ud:
أن النطفة إذا وقعت في الرحم فأراد الله أن أصحهما منها بشرا طارت في بشرة المرأة تحت كل ظفر وشعر ثم تمكث أربعين ليلة ثم تنزل دما في الرحم فذلك جمعها.
3. Menetap dan terpelihara dalam rahim.
Ketiga makna di atas dapat diuraikan dalam pemahaman bahwa air mani laki-laki (sperma) yang meluncur melalui kelamin perempuan akan bercampur dengan ovum pada indung telurnya yang kemudian diistilahkan dengan nutfah. Setelah melalui beberapa proses, nuthfah tersebut menetap dan terpelihara dengan aman dalam rahim perempuan.
Dalam ilmu embriologi dijelaskan bahwa air mani tersebut meluncur dengan kekuatan tinggi ke saluran indung telur untuk membuahi ovum. Air mani tersebut mengandung sekitar dua ratus juta spermatozoa dan sebagian besarnya akan mati pada saluran indung telurnya. Sementara yang sampai pada ovum hanya sekitar seratus lebih. Dalam studi mutakhir disebutkan bahwa setiap spermatozoa hanya memiliki 1,5 % kemungkinan untuk membuahi ovum. Menurut studi tersebut, hanya satu spermatozoa yang dapat membuahi ovum dalam indung telur. Mungkin dalam hal inilah relevansi sabda Nabi: ما من كل الماء يكون الولد (tidak semua air (mani) menjadi anak).
Namun sebelumnya, suatu hal menarik adalah menurut hasil riset ini, pembuahan itu terjadi karena Ovum telah disiapkan terlebih dahulu. Selama dua pekan sesudah masa awal haid perempuan berakhir, sebutir telur matang di dalam ovarium (indung telur) meletup lepas dari indung telur, mulai bergerak menuruni tuba falopi, dan kemudian (siap) dibuahi. Persiapan ini sangat menunjang lancarnya pembuahan.
Senada dengan itu, Ibnu Hajar menjelaskan bahwa ketika spermatozoa bertemu dengan ovum dan saat yang sama Allah menghendaki untuk menjadikannya sebagai janin, maka Dia akan menyiapkan "sebab-sebab" ke arah sana. Di antaranya, rahim perempuan memiliki dua daya; pertama, daya menangkap (quwah inbisath) salah satu dari spermatozoa yang masuk sampai menyebar ke seluruh tubuh perempuan. Kedua, daya menahan (Quwah inqibadh) spermatozoa tersebut sehingga tidak tertumpah kembali melalui vagina, padahal posisi rahim tersebut terbalik,pintu rahim menghadap ke vagina sementara spermatozoa jenisnya cukup berat. Karena itulah Allah menyebutnya dalam sebuah ayat (al-Mu`minun :13) dengan:ثم جعلناه نطفة في قرار مكين. Disebut dengan قرار مكين karena rahim merupakan tempat nuthfah tersebut menetap dengan kokohnya dan menjaganya jangan sampai rusak. Ibnu Abbas, seorang pakar tafsir dari generasi sahabat, menfasirkan kata nuthfah tersebut dengan nuthfah amsyaj,yaitu cairan yang terdiri dari gabungan spermatozoa dan ovum. Penafsiran yang pada akhirnya relevan dengan ilmu embriologi ini mengandung makna bahwa laki-laki dan perempuan bertanggung jawab dalam pembentukan zigot manusia secara seimbang. Pemikiran Ibnu Abbas ini terbukti kebenarannya melalui riset Van Benden pada tahun 1883, padahal sebelumnya para embrilog berbeda pendapat mengenai peran kedua unsur tersebut dalam pembentukan zigot.
Setelah terjadi proses pembuahan, ovum yang telah dibuahi terbelah menjadi dua sel.Kemudian dua sel itu terbelah lagi menjadi empat sel. Proses pembelahan seperti ini terus berlanjut sampai 72 jam (tiga hari) sehingga ukurannya hanya sebesar oksida. Tahapan ini dikenal dengan oksidasi tahapan oksidasi. Pada kondisi seperti inilah dia lebih dikenal dengan istilah butiran spora. Butiran spora ini akan terus bergerak ke dalam saluran indung telur di bawah pengaruh butiran-butiran lembut yang berada dalam saluran indung telur. Baru setelah itu sampai ke rahim dan menggantung di sana setelah membutuhkan waktu selama kurang lebih lima hari sampai dengan satu minggu.
Hal yang perlu dicermati di sini adalah perbedaan waktu yang dibutuhkan mulai persiapan ovum (empat belas hari), pembuahan dan tahapan oksidasi (tiga hari) sampai pada pergerakan butiran spora menuju rahim (lima hari) versi pakar embriologi dengan waktu yang dijelaskan oleh para ulama. Menurut penjelasan para embriolog di atas, waktu yang dibutuhkan hanya kurang dari dua puluh lima hari, sementara menurut pemahaman ulama empat puluh hari.
Tahap `Alaqah
ثُمَّ يَكُونُ فِي ذَلِكَ عَلَقَة Kata تكون ditafsirkan dengan تصير (menjadi) yang dimaknai oleh para ulama dengan “setelah empat puluh hari pertama, air mani tersebut berproses ke bentuk selanjutnya, yaitu`alaqah.” Sedang مثل ذلك diartikan dengan مثل ذلك الزمان (jumlah hari yang sama, empat puluh hari).
Para ulama sepakat bahwa yang dimaksud dengan `alaqah adalah dama-n ghalidza-n jamida-n (segumpal darah yang pekat). Karena itu, Ibnu Hajar menjelaskan ketika permulaan empat puluh hari kedua, nuthfah tersebut bercampur darah dan berproses sehingga pada pertengahan empat puluh kedua bentuknya sempurna sebagai `alaqah.
Namun dalam embriologi, tahap "segumpal darah" tersebut tidak dikenal. Ilmu ini menjelaskan bahwa setelah terjadi pembuahan, maka embrio (nutfah) berkembang menjadi bola sel renik yang disebut dengan blastocyst (Butiran spora). Sel yang mula-mula semuanya serupa ini mulai berkembang menjadi selaput, plasenta dan embrio itu sendiri. Pada saat yang bersamaan, bllastocyst tersebut menempelkan dirinya ke lapisan dinding rahim. Dalam tahap ini menurut para pakar embriologi sama sekali belum ditemukan unsur-unsur darah.
Dengan dasar itulah, Quraish Shihab lebih cenderung memaknai `alaqah tersebut dengan "sesuatu yang bergantung atau berdempet pada dinding rahim". Karena menurutnya, makna tersebut juga merupakan salah satu dari tiga makna yang dimiliki oleh kata `alaqah.
Menurut hadis Ibnu Mas`ud ini, proses `alaqah berlangsung selama empat puluh hari (empat puluh hari kedua). Itu berarti berlangsung sejak minggu ketujuh sampai ketiga belas (lima sampai enam minggu).
Sementara dalam periodisasi pakar embriologi, sejak hari kedua puluh satu (awal minggu keempat) telah terbentuk gumpalan organ fisik pada dua sisi embrio yang setelah itu akan menjadi urat punggung. Bahkan pada minggu keenam kaki bayi sudah mulai muncul meskipun masih seperti tunas belalai, minggu kedelapan kelopak mata bayi sudah mulai kelihatan. Kaki, kuping, jari-jari dan ibu jari mulai berkembang.
Dengan terbentuknya beberapa organ fisik sejak hari keduapuluh satu tersebut, berarti embrio telah memasuki tahapan mudhghah (sekerat daging). Dan itu berarti proses `alaqah sebetulnya tidak membutuhkan waktu sampai empat puluh hari. Bahkan pakar embriologi menjelaskan bahwa proses bergantungnya (`alaqah) sel telur yang telah dibuahi telah berlangsung sejak pada minggu ketiga kehamilan, sementara menurut hitungan para ulama, minggu tersebut masih tahapan nuthfah.
Sebetulnya, selain hadis riwayat Ibnu Mas`ud di atas, Hudzaifah memiliki riwayat yang berbeda. Hudzaifah berkata:
فَإِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِذَا مَرَّ بِالنُّطْفَةِ ثِنْتَانِ وَأَرْبَعُونَ لَيْلَةً بَعَثَ اللَّهُ إِلَيْهَا مَلَكًا فَصَوَّرَهَا وَخَلَقَ سَمْعَهَا وَبَصَرَهَا وَجِلْدَهَا وَلَحْمَهَا وَعِظَامَهَا ثُمَّ قَالَ يَا رَبِّ أَذَكَرٌ أَمْ أُنْثَى فَيَقْضِي رَبُّكَ مَا شَاءَ وَيَكْتُبُ الْمَلَكُ ثُمَّ يَقُولُ يَا رَبِّ أَجَلُهُ فَيَقُولُ رَبُّكَ مَا شَاءَ وَيَكْتُبُ الْمَلَكُ ثُمَّ يَقُولُ يَا رَبِّ رِزْقُهُ فَيَقْضِي رَبُّكَ مَا شَاءَ وَيَكْتُبُ الْمَلَكُ ثُمَّ يَخْرُجُ الْمَلَكُ بِالصَّحِيفَةِ فِي يَدِهِ فَلَا يَزِيدُ عَلَى مَا أُمِرَ وَلَا يَنْقُصُ
“Saya Mendengar Rasulullah bersabda, apabila nuthfah telah berusia empat puluh dua malam, Allah akan mengutus malaikat untuk membentuk dan menciptakan organ fisiknya seperti pendengararan, penglihatan, kulit, daging dan tulangnya. Malaikat tersebut bertanya, Ya Allah apakah (embrio ini) laki-laki atau perempuan, Allah menjawab dan sang malaikat pun mencatatnya.Ya Allah, bagaimana dengan ajalnya? Allah menetapkan apa yang dikhendaki-Nya dan malaikat mencatat.Ya Allah, bagaimana dengan rezkinya? Allah menetapkan apa yang dikendaki atas embrio tersebut dan dicatat oleh malaikat. Setelah (tugasnya selesai) malaikat keluar dari embrio sambil membawa buku catatan itu dengan tidak menambah maupun menguranginya”.
Riwayat ini menyebutkan datangnya malaikat yang akan membentuk organ fisik embrio setelah berjalan empat puluh dua hari kehamilan. Menurut Usman Najati, periode ini terlihat sama apabila dibandingkan dengan hasil beberapa penelitian ilmiah mutakhir pada disiplin ilmu embriologi sebagaimana yang telah dikemukakan atas.
Tahap Mudghah
ثم يكون مضغة مثل ذلك kata مضغة berasal dari kata مضغ yang berarti "mengunyah". Mudhghah adalah sesuatu yang kadarnya kecil sehingga dapat dikunyah. Bahkan di dalam lisan al-Arab disebutkan bahwa mudhghah adalah sepotong daging yang ukurannya dapat dimasukkan ke mulut. Dalam sebuah hadis kata mudhghah juga diartikan dengan hati. Disebutkan demikian karena hati (qalbu) merupakan mudhghah dari tubuh manusia.
Di atas telah dijelaskan bahwa setelah tahap `alaqah, perkembangan berikutnya adalah tahap mudhghah di mana pada tahap inilah terjadinya perkembangan semua system organ fisik utama. Proses pembentukan organ fisik ini kira-kira berakhir pada penghujung bulan ketiga. Tahapan ini biasa disebut dengan mudhghah mukhallaqah (sekerat daging yang telah sempurna proses penciptaannya) seperti yang disinyalir oleh al-Qur`an al-Hajj (22( : 5: ثم من مضغة مخلقة وغير مخلقة . Namun apabila Allah tidak menghendaki penciptaan embrio, maka mudhghah tidak akan tumbuh dengan sempurna, sehingga rahim akan membuangnya sebagai janin yang gugur. Inilah yang dikemukakan oleh Nabi:
إذا وقعت النطفة في الرحم بعث الله ملكا قال يا رب مخلقة أو غير مخلقة فإن قال غير مخلقة مجتها الأرحام دما
Pada tahap ini, tulang belulang baru terbentuk, tepatnya pada minggu kelima dan keenam. Kemudian tulang belulang itu dibungkus dengan otot pada minggu keenam dan ketujuh, bahkan pada akhir bulan ketiga dan awal bulan keempat embrio pertama kali bisa bergerak meskipun belum dirasakan oleh perempuan yang menghamilkannya. Denyut jantung baru berfungsi pada awal bulan keempat. Sedangkan perkembangan embrio pada tahap sempurna adalah sejak bulan keempat. Sejak saat inilah embrio sudah bisa mendengar suara yang berada di luar dan juga mampu mendengar gemuruh isi perut ibunya. Sementara pertumbuhan indra penglihatan agak sedikit terlambat.
Hal menarik yang perlu dicermati dari uraian di atas adalah adanya kesesuaian antara hadis (dan al-Qur`an) dengan embriologi bahwa indra pendengaran telah tumbuh mendahului indra penglihatan. Oleh karena itu, janin dalam perut ibu bisa mendengar suara alam luar sejak usia dini sebagaimana jabang bayi yang baru dilahirkan bisa langsung mendengarkan berbagai macam suara. Dia belum bisa melihat dengan jelas sampai sekitar usia enam bulan ketika retina sudah terbentuk dengan kuat pada kedua matanya.
Kalau harus memilih di antara kedua indra tersebut, fungsi pendengaran jauh lebih penting dari pada fungsi penglihatan dalam proses belajar. Seorang anak yang dilahirkan dalam keadaan buta akan masih bisa mempelajari bahasa sebagai instrumen utama dalam proses belajar. Sebaliknya, anak yang dilahirkan dalam keadaan tuli tidak akan bisa mempelajari bahasa, dan biasanya akan bisu karena tidak pernah mendengar kosakata yang harus dia ucapkan. Di sinilah hikmahnya hadis maupun ayat selalu mendahulukan kata السمع dari kata الأبصار . itu pulalah hikmah anjuran Nabi untuk meng-adzan-I telinga kanan dan meng-qamat-i telinga kiri bayi yang baru lahir karena ternyata pada saat fungsi pendengarannya telah berfungsi.
Tahap Peniupan Ruh.
فينفخ فيه الروح. Kata نفخ berarti mengeluarkan angin melalui mulut. M. Quraish Shihab ketika menafsirkan surah al-Hijr ayat 29 tantang peniupan ruh, menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan meniupkan ruh adalah memberikan potensi ruhaniah kepada makhluk manusia yang menjadikannya dapat mengenal Allah dan mendekatkan diri kepada-Nya. Tidak ada peniupan, tidak ada juga angin atau ruh dari zat Allah yang menyentuh manusia. Ruh adalah milik-Nya dan merupakan wewenangNya.
Pendapat senada juga dikemukakan oleh al-Taba`taba`I. Menurutnya, peniupan ruh yang dimaksud oleh ayat ini adalah pemberian Allah kepada manusia berupa ruh insani yang memiliki keterikatan dan menggantung pada badan manusia. Peniupan yang dimaksud bukan memasukkan angin pada badan. Menurut al-Taba`taba`, ruh merupakan sesuatu yang eksis dengan dirinya sendiri, menyatu dan menggatung pada badan, namun indefenden, artinya apabila taalluq-nya dengan badan terputus maka ia akan meninggalkannya. Bahwa ruh –lanjut al-Taba`tabai-disandarkan kepada Allah adalah penghormatan bagi pemiliknya.
Pendapat berbeda dikemukakan oleh Ayatullah al-Udzma Makarim al-Syirazi. Menurutnya, memang benar bahwa janin sejak awalnya telah hidup dan telah berproses pada tahap demi tahap, akan tetapi ia tidak memiliki kemampuan merasa dan bergerak dalam rahim ibunya. Pada saat itu ia sama saja dengan tumbuh-tumbuhan. Namun beberapa bulan kemudian, dengan bermodalkan ruh janin itu dapat hidup.
Pertanyaan yang muncul adalah kapan terjadinya peniupan ruh tersebut. Pertanyaan ini dimunculkan karena seolah terjadi pertetangan beberapa hadis tentang ini. Sebagian ulama memahami bahwa peniupan ruh terjadi setelah empat puluh hari ketiga berlalu. Namun mayoritas ulama berpandangan terjadi pada hari kesepuluh setelah empat puluh hari ketiga berlalu dengan mengacu pada riwayat Hudzaifah bin Asid bahwa malaikat tidak akan datang pada penghujung hari keempat puluh melainkan setelah itu, tepatnya setelah pembentukan seluruh organ fisik sempurna. Pendapat ini berdasar pada teks riwayat Ibnu Mas`ud di atas dan faktanya setelah empat bulan masa kehamilan, seorang perempuan dapat merasakan gerakan janin dalam rahimnya. Ulama yang berpendapat demikian mengatakan bahwa inilah hikmah mengapa iddah seorang perempuan yang ditinggal mati oleh suaminya harus empat bulan sepuluh hari. Karena pada hitungan itulah bisa dipastikan apakah perempuan tersebut hamil atau tidak (برأة الرحم). Berdasar pada pemahaman ini pula munculnya hukum tidak berlakunya shalat jenazah bagi janin yang gugur sebelum mencapai umur empat bulan ke atas.
Berbeda dengan pendapat mayoritas di atas, riwayat Hudzaifah bin Asid menyebutkan bahwa sejak empat puluh dua hari masa kehamilan, malaikat mendatangi nuthfah tersebut dan membentuk beberapa organ fisik utama embrio seperti pendengaran, penglihatan, kulit dan seterusnya. Masuknya malaikat untuk mengurusi embrio tersebut meniscayakan terjadinya peiupan ruh pada saat itu juga atau setidaknya sebelum usia kandunga mencapai empat bulan sepuluh hari.
Riwayat Hudzaifah ini lebih relevan dengan hasil penelitian para pakar embrilogi, seperti yang telah dikemukakan di atas, bahwa pada minggu kedua belas kehamilan (akhir bulan ketiga), janin sudah bisa bergerak meskipun belum dirasakan oleh ibu yang mengandungnya, dan itu berarti pada masa tersebut janin sudah memiliki ruh.
Perlu dicermati bahwa akar perbedaan pemahaman ulama dengan ilmu kedokteran tentang waktu yang dibutuhkan pada proses tahap-tahap di atas terletak pada pemaknaan mereka terhadap kata مثل ذلك pada hadis itu dengan “jumlah hari yang sama.”Sehingga dari sini muncul pemahaman bahwa proses tersebut berlangsung pada tiga kali empat puluh hari. Padahal, dalam riwayat Muslim disebutkan ثُمَّ يَكُونُ فِي ذَلِكَ yang seharusnya ditafsirkan dengan فِي ذَلِك الزمان (pada empat puluh hari tersebut), kata tersebut mengindikasikan bahwa ketiga tahap itu berproses dalam satu kali empat puluh hari saja, sedangkan proses selanjutnya adalah masa pembentukan organ dan penyempurnaan. Para ulama tidak memperhatikan kata kunci ini, penulis menduga karena hanya terdapat pada riwayat Muslim (Sahih Muslim) yang tingkat akurasi sanadnya sedikit di bawah ketimbang Sahih Bukhari, padahal para ulama sepakat pula bahwa Sahih Muslim lebih unggul pada sisi akurasi redaksi matannya.
Penafsiran di atas didukung oleh hadis riwayat Hudzaifah bin Azid yang justru dikesankan oleh para kontradiksi dengan hadis riwayat Ibnu Mas`ud ini. Riwayat ini menjelaskan bahwa ketika usia nuthfah telah mencapai empat puluh dua hari, Allah mengutus malaikat untuk membentuk organ fisik embrio. Ini berarti nuthfa, `alaqah dan mudghah berproses dalam satu kali empat puluh hari bukan tiga kali empat puluh hari, sebab pembentukan organ fisik berlangsung setelah ketiga tahap tersebut selesai. Andaikata riwayat Ibnu Mas`ud ini dikonfirmasi atau ditafsirkan dengan riwayat Hudzaifah bin Azid di atas maka penafsiran tiga kali empat puluh hari itu tidak akan muncul.
Kesimpulan
Dari pemaparan di atas ada beberapa hal yang penulis simpulkan, antara lain:
1. Pada beberapa hal, para ulama dan ilmu kedokteran modern terdapat kesepakatan, seperti Ovum dan sperma (nutfah) yang keduanya bertanggung jawab dalam pembentukan zigot manusia secara seimbang. Namun di lain hal, terjadi pula perbedaan pendapat. Perbedaan yang paling mencolok dalam konteks ini adalah waktu yang dibutuhkan dalam proses ketiga tahap, nutfah, `alaqah, dan mudghah yang bermuara pada perbedaan sejak kapan embrio tersebut memiliki ruh kehidupan. Akar perbedaan ini adalah para ulama mendasarkan pemahaman mereka terhadap kata مثل ذالك, yang mereka tafsirkan dengan “dengan jumlah hari yang sama dengan yang disebutkan sebelumnya”. Sementara data-data yang dikemukakan oleh pakar embriologi di atas adalah hasil penelitian empiris dengan bantuan tekhnologi modern.
2. Pemikiran para ulama yang telah dikemukakan di atas, meskipun berbeda dengan pengetahuan modern bahkan mungkin keliru, selayaknya mendapatkan apresiai. Betapa tidak, pemahaman seperti itu benar-benar berasal dari pemikiran yang genuine karena pengetahuan embriologi belum berkembang pada saat itu. Ibnu Hajar yang banyak dikutip dalam tulisan ini, wafat pada abad 852 H. tepatnya abad awal abad 17-an M., di mana embriologi yang dikemukakan di atas baru ditemukan pada abad 19 yang lalu melalui penelitian empiris.
3. Hasil penelitian para embriologi terutama yang berbeda dengan hasil pemikiran para ulama sebaiknya dipertimbangkan mengingat hasil tersebut lebih empiris dan akurat. Sementara pemikiran para ulama yang cenderung teologis layaknya sebuah panafsiran yang dapat berubah dan berkembang bahkan keliru. Kalau hasil penelitian tersebut diterima, maka konsekwensinya beberapa implikasi hukum yang muncul akibat pemahaman tiga kali empat puluh hari pada tahap nutfah, `alaqah, dan mudghah itu akan gugur.
4. Hemat penulis, kajian-kajian serupa terhadap hadis perlu terus dikembangkan. Sebab boleh jadi hadis-hadis Nabi masih banyak memuat informasi baru yang belum terkuak melalui riset mutakhir, salah satunya hadis mengenai perbedaan cara pembersihan air seni bayi yang belum makan. Hadis ini mengindikasikan adanya perbedaan kualitas air seni yang boleh jadi disebabkan oleh anatomi kedua bayi tersebut.
Kepustakaan
Abadi, Syamsul Haq al-Azimi. Aun al-Ma`bud,jilid 12.Cet. III; Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1415H.
Abdul Qadir, Abdul Wahab. Perjalanan dari Janin Menuju Manusia.Cet.I; Jakarta: Pustaka Awak Reng Sogenep, 2003.
Abu Abdillah, Muhammad bin Zaid al-Qazwini (207-275 H), Sunan Ibnu Majah, juz I. Beirut: Dar al-Fikr.
Ali Bar, Muhammad Khalq al-Insan Bain al-Thib wa al-Qur`an.Cet. I; Jeddah: al-Dar al-Suudiyah li al-Nasyar wa Tauzii, 1986.
Athabathabai, Muhammad Husain al-Mizan fi Tafsir al-Qur`an,Jilid XV. Cet.II; Beirut: Muassasah al-A`la li al-Mathbu`at, 1973/ 1393 H.
Al-Bukhari, Muhammad bin Ismail Sahih Bukhari .Cet. III; Beirut Dar Ibnu al-Katsir, 1987/1407. Juz III.
Ibnu Daqiq al-Id, Syarah Matan al-Arbain al-Nabawiyah. Diterjemahkan oleh Abu Umar Abdullah Asy-Syarrif dengan judul Syarah Hadits Arba`in. Solo: At-Tibyan, t.th.
Ibn Hajar al-Asqalani, Ahmad bin Ali (773-852H), Fath al-Bari, jilid XI Kairo:Dar al-Manar, 1999.
Ibnu Mandzur Abu al-Fadhl Jamaluddin Muhammad bin Mukrim al-Ifriki al-Misri, Lisan al-Arab, jilid X.Cet. I; t.tp: Dar al-Fikr, 1990.
Al-Mubarakfuri, Muhammad Abdurrahman bin Abdul Rahim Abul A`la (1283-1353H). Tuhfat al-Ahwadzi Jilid VI.Beirut: dar al-Kutub al-Ilmiyah.
Al-Naisaburi, Muslim bin al-Hajaj Abu al-Husain al-Qusyairi. Sahih Muslim, Beirut: Dar al-Ihya al-Turats al-Arabi, juz IV, h. 2036
Najati, Muhammad Usman al-Hadis al-Nabawi wa `Ilm al-Nafs.Diterjemahkan oleh Wawan Djunaedi Soffandi dengan Psikologi dalam Tinjauan Hadits Nabi.Cet. I; Jakarta: Mustaqiim, 2003.
Al-Sijistani,Sulaiman bin al-Asy`asy Abu Daud al-Azadi (202-275 H). Sunan Abi Daud, juz IV. Beirut: Dar al-Fikr, t.th,
Shihab, M.Quraish. Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan dan keserasian Al-Qur`an, Volume 9.Cet.I; Jakarta:Lentera Hati, 2002
Sloane, D. M.D., (at.,al), The Complete Pranancy Workbook. Diterjemahkan oleh Anton Adiwiyoto dengan judul Petunjuk Lengkap Kehamilan:Buku Pedoman untuk Calon Ibu dan Ayah.Cet. V; Jakarta Mitra Utama, 1997.
Syirazi, Ayatullah al-Udzma Makarim Nafahat al-Tafsir, juz II, t.tp: Muassasah Abi Shalih, t.th..
Tara, Elizabeth MD. Diindonesiakan oleh Dwi Karyani dengan judul Pedoman Menjadikan Anak Anda Sehat dan Cerdas. Jakarta: Taramedia, 2003.
Al-Turmudzi, Muhammad bin Isa Abu Isa (209-279 H. Sunan al-Turmudzi, juz IV (Beirut: Dar al-Ihya al-Turats al-Arabi, t.th.
Yanggo, Huzaimah T. “ Dialog Aborsi dalam Persfektif Agama Islam” dalam Maria Ulfah (ed. Et all), Aborsi dalam Fikhi Kontemporer.Jakarta:Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2002.
Sedangkan dalam ilmu embrilogi, tiga kali empat hari tersebut tidak dikenal, ketiga tahap, nuthfah, `alaqah dan mudhgah, sebetulnya berproses dalam satu kali empat puluh hari. Bahkan menurut hasil riset ilmu ini, pada usia minggu kedua belas sampai ketiga belas embrio telah bisa bergerak meskipun belum dirasakan oleh perempuan yang menghamilkannya. Ini berarti masa kehidupun embrio menurut riset ini lebih awal dari hasil pemikiran ulama di atas.
Walhasil, tulisan ini merekomendsasikan hasil penelitian ilmu kedokteran tersebut dipertimbangkan untuk merubah pemahaman para ulama tersebut sekaligus menggugurkan implikasi yang ditimbulkannya.
Pendahuluan
Dalam posisinya sebagai sumber ajaran Islam yang kedua setelah al-Qur`an, hadis merupakan salah satu medan studi yang signifikan. Karena itu, sejak generasi awal sampai sekarang para ulama telah menelorkan berbagai karya syarah dengan varian metode dan corak sebagai refleksi mereka terhadap hadis-hadis Nabi.
Namun satu hal yang patut diingat adalah pemahaman atau penafsiran ulama tersebut posisinya tidak sama dengan hadis yang ditafsirkan, dengan kata lain tidak absolut dan tidak universal. Karena pemahaman merupakan penafsiran maka tentu tidak terlepas dari beberapa factor di antaranya; tingkat kecerdasan, latar belakang keilmuan, pengalaman, penemuan-penemuan ilmiah, dan kondisi social-politik di mana sang penafsir berada. Karena itu, perubahan bahkan kekeliruan adalah sebuah keniscayaan seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan perubahan masyarakat.
Kemajuan ilmu pengetahuan yang dibarengi dengan perkembangan dan perubahan masyarakat merupakan hal yang tidak bisa dihindari. Hal ini seharusnya diikuti dengan perkembangan pemikiran terhadap teks- teks agama (baca:hadis). Kalau tidak, maka keduanya akan berjalan pada dunia yang berbeda. Ilmu pengetahuan akan berkembang hampa dari nilai-nilai moral agama, sebaliknya pemahaman agama akan semakin “mengawang-awang”, kering dan tidak menyentuh kehidupan manusia.
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut meniscayakan terjadinya perubahan pemahaman dan penafsiran kepada teks agama termasuk hadis yang pada akhirnya mungkin akan berimplikasi pada perubahan hukum. Dalam perspektif ini, ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut sejatinya dijadikan salah satu pertimbangan dalam memaknai atau menafsirkan hadis tertutama pada hadis yang memuat isyarat-isyarat ilmiah. Sebab seperti halnya dengan al-Qur`an, hadis Nabi pun tidak hanya mengenai persoalan hukum,tetapi juga menyangkut sejarah, pendidikan, keimanan, ibadah dan ilmu pengetahuan. .
Hemat penulis, salah satu hadis yang patut didekati dengan ilmu pengetahuan dan teknologi adalah hadis tentang proses penciptaan manusia dalam hal ini perkembangan embrio (janin) dalam rahim. Hasil pembacaan penulis pada beberapa literature menemukan adanya perbedaan antara ulama (terutama ulama hadis) dan perspektif ilmu kedokteran.
Berdasarkan pemahaman mereka terhadap hadis Nabi, para ulama berpendapat bahwa embrio berkembang pada tiga tahap, nuthfah, `alaqah dan mudghah..Setiap tahap berproses selama empat puluh hari, sehingga waktu yang dibutuhkan untuk ketiga tahap tersebut adalah seratus dua puluh hari atau empat bulan. Setelah itu, melalui malaikat utusan-Nya, Allah meniupkan ruh ke dalam embrio itu. Jadi menurut pendapat ini, embrio baru mengalami kehidupan ínsani setelah kehamilan mencapai usia empat bulan ke atas
Pemahaman di atas telah mengkristal sangat lama di kalangan masyarakat, yang pada akhirnya berimplikasi pada munculnya pendapat sebagian ulama, seperti Muhammad Ramli dalam kitab al-Nihayah-nya, yang membolehkan praktek aborsi sebelum usia kandungan mencapai empat bulan, dengan alasan saat itu janin belum bernyawa karena ruh belum ditiupkan ke dalamnya.
Pemahaman di atas tentu berbeda dengan kedokteran. Menurut ilmu ini ketika spermatozoa dan ovum bertemu (pembuahan) maka pada saat itu kehidupan telah ada. Sehingga, mulai saat itu pula aborsi merupakan tindakan pembunuhan dan terlarang.
Penjelasan Hadis
Hadis-hadis mengenai perkembangan embrio cukup banyak ditemukan dalam beberapa kitab hadis, namun pada umunya para ulama merujk pada hadis riwayat Ibnu Mas`ud berikut:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ حَدَّثَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ الصَّادِقُ الْمَصْدُوقُ إِنَّ أَحَدَكُمْ يُجْمَعُ خَلْقُهُ فِي بَطْنِ أُمِّهِ أَرْبَعِينَ يَوْمًا ثُمَّ يَكُونُ فِي ذَلِكَ عَلَقَةً مِثْلَ ذَلِكَ ثُمَّ يَكُونُ فِي ذَلِكَ مُضْغَةً مِثْلَ ذَلِكَ ثُمَّ يُرْسَلُ الْمَلَكُ فَيَنْفُخُ فِيهِ الرُّوحَ وَيُؤْمَرُ بِأَرْبَعِ كَلِمَاتٍ بِكَتْبِ رِزْقِهِ وَأَجَلِهِ وَعَمَلِهِ وَشَقِيٌّ أَوْ سَعِيدٌ فَوَالَّذِي لَا إِلَهَ غَيْرُهُ إِنَّ أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ حَتَّى مَا يَكُونُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إِلَّا ذِرَاعٌ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ فَيَدْخُلُهَا وَإِنَّ أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ حَتَّى مَا يَكُونُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إِلَّا ذِرَاعٌ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ فَيَدْخُلُهَا
Menurut keterangan hadis di atas, embrio pada rahim berproses dengan beberapa tahap di antaranya nuthfah, `alaqah, mudghah dan peniupan ruh. Berikut akan dideskripsikan pemikiran beberapa ulama dan ilmu kedokteran menyangkut tahap-tahap perkembangan tersebut.
TahapNuthfah
إِنَّ أَحَدَكُمْ يُجْمَعُ خَلْقُهُ فِي بَطْنِ أُمِّهِ أَرْبَعِينَ يَوْمًا. Kata الجمع ditafsirkan oleh para ulama dengan beberapa makna diantaranya:
1. Mencampur sesuatu dengan sesuatu yang lain setelah terpencar.
2. Ketetapan nuthfah (مكث النطفة), makna ini didasarkan pada tafsiran Ibnu Mas`ud:
أن النطفة إذا وقعت في الرحم فأراد الله أن أصحهما منها بشرا طارت في بشرة المرأة تحت كل ظفر وشعر ثم تمكث أربعين ليلة ثم تنزل دما في الرحم فذلك جمعها.
3. Menetap dan terpelihara dalam rahim.
Ketiga makna di atas dapat diuraikan dalam pemahaman bahwa air mani laki-laki (sperma) yang meluncur melalui kelamin perempuan akan bercampur dengan ovum pada indung telurnya yang kemudian diistilahkan dengan nutfah. Setelah melalui beberapa proses, nuthfah tersebut menetap dan terpelihara dengan aman dalam rahim perempuan.
Dalam ilmu embriologi dijelaskan bahwa air mani tersebut meluncur dengan kekuatan tinggi ke saluran indung telur untuk membuahi ovum. Air mani tersebut mengandung sekitar dua ratus juta spermatozoa dan sebagian besarnya akan mati pada saluran indung telurnya. Sementara yang sampai pada ovum hanya sekitar seratus lebih. Dalam studi mutakhir disebutkan bahwa setiap spermatozoa hanya memiliki 1,5 % kemungkinan untuk membuahi ovum. Menurut studi tersebut, hanya satu spermatozoa yang dapat membuahi ovum dalam indung telur. Mungkin dalam hal inilah relevansi sabda Nabi: ما من كل الماء يكون الولد (tidak semua air (mani) menjadi anak).
Namun sebelumnya, suatu hal menarik adalah menurut hasil riset ini, pembuahan itu terjadi karena Ovum telah disiapkan terlebih dahulu. Selama dua pekan sesudah masa awal haid perempuan berakhir, sebutir telur matang di dalam ovarium (indung telur) meletup lepas dari indung telur, mulai bergerak menuruni tuba falopi, dan kemudian (siap) dibuahi. Persiapan ini sangat menunjang lancarnya pembuahan.
Senada dengan itu, Ibnu Hajar menjelaskan bahwa ketika spermatozoa bertemu dengan ovum dan saat yang sama Allah menghendaki untuk menjadikannya sebagai janin, maka Dia akan menyiapkan "sebab-sebab" ke arah sana. Di antaranya, rahim perempuan memiliki dua daya; pertama, daya menangkap (quwah inbisath) salah satu dari spermatozoa yang masuk sampai menyebar ke seluruh tubuh perempuan. Kedua, daya menahan (Quwah inqibadh) spermatozoa tersebut sehingga tidak tertumpah kembali melalui vagina, padahal posisi rahim tersebut terbalik,pintu rahim menghadap ke vagina sementara spermatozoa jenisnya cukup berat. Karena itulah Allah menyebutnya dalam sebuah ayat (al-Mu`minun :13) dengan:ثم جعلناه نطفة في قرار مكين. Disebut dengan قرار مكين karena rahim merupakan tempat nuthfah tersebut menetap dengan kokohnya dan menjaganya jangan sampai rusak. Ibnu Abbas, seorang pakar tafsir dari generasi sahabat, menfasirkan kata nuthfah tersebut dengan nuthfah amsyaj,yaitu cairan yang terdiri dari gabungan spermatozoa dan ovum. Penafsiran yang pada akhirnya relevan dengan ilmu embriologi ini mengandung makna bahwa laki-laki dan perempuan bertanggung jawab dalam pembentukan zigot manusia secara seimbang. Pemikiran Ibnu Abbas ini terbukti kebenarannya melalui riset Van Benden pada tahun 1883, padahal sebelumnya para embrilog berbeda pendapat mengenai peran kedua unsur tersebut dalam pembentukan zigot.
Setelah terjadi proses pembuahan, ovum yang telah dibuahi terbelah menjadi dua sel.Kemudian dua sel itu terbelah lagi menjadi empat sel. Proses pembelahan seperti ini terus berlanjut sampai 72 jam (tiga hari) sehingga ukurannya hanya sebesar oksida. Tahapan ini dikenal dengan oksidasi tahapan oksidasi. Pada kondisi seperti inilah dia lebih dikenal dengan istilah butiran spora. Butiran spora ini akan terus bergerak ke dalam saluran indung telur di bawah pengaruh butiran-butiran lembut yang berada dalam saluran indung telur. Baru setelah itu sampai ke rahim dan menggantung di sana setelah membutuhkan waktu selama kurang lebih lima hari sampai dengan satu minggu.
Hal yang perlu dicermati di sini adalah perbedaan waktu yang dibutuhkan mulai persiapan ovum (empat belas hari), pembuahan dan tahapan oksidasi (tiga hari) sampai pada pergerakan butiran spora menuju rahim (lima hari) versi pakar embriologi dengan waktu yang dijelaskan oleh para ulama. Menurut penjelasan para embriolog di atas, waktu yang dibutuhkan hanya kurang dari dua puluh lima hari, sementara menurut pemahaman ulama empat puluh hari.
Tahap `Alaqah
ثُمَّ يَكُونُ فِي ذَلِكَ عَلَقَة Kata تكون ditafsirkan dengan تصير (menjadi) yang dimaknai oleh para ulama dengan “setelah empat puluh hari pertama, air mani tersebut berproses ke bentuk selanjutnya, yaitu`alaqah.” Sedang مثل ذلك diartikan dengan مثل ذلك الزمان (jumlah hari yang sama, empat puluh hari).
Para ulama sepakat bahwa yang dimaksud dengan `alaqah adalah dama-n ghalidza-n jamida-n (segumpal darah yang pekat). Karena itu, Ibnu Hajar menjelaskan ketika permulaan empat puluh hari kedua, nuthfah tersebut bercampur darah dan berproses sehingga pada pertengahan empat puluh kedua bentuknya sempurna sebagai `alaqah.
Namun dalam embriologi, tahap "segumpal darah" tersebut tidak dikenal. Ilmu ini menjelaskan bahwa setelah terjadi pembuahan, maka embrio (nutfah) berkembang menjadi bola sel renik yang disebut dengan blastocyst (Butiran spora). Sel yang mula-mula semuanya serupa ini mulai berkembang menjadi selaput, plasenta dan embrio itu sendiri. Pada saat yang bersamaan, bllastocyst tersebut menempelkan dirinya ke lapisan dinding rahim. Dalam tahap ini menurut para pakar embriologi sama sekali belum ditemukan unsur-unsur darah.
Dengan dasar itulah, Quraish Shihab lebih cenderung memaknai `alaqah tersebut dengan "sesuatu yang bergantung atau berdempet pada dinding rahim". Karena menurutnya, makna tersebut juga merupakan salah satu dari tiga makna yang dimiliki oleh kata `alaqah.
Menurut hadis Ibnu Mas`ud ini, proses `alaqah berlangsung selama empat puluh hari (empat puluh hari kedua). Itu berarti berlangsung sejak minggu ketujuh sampai ketiga belas (lima sampai enam minggu).
Sementara dalam periodisasi pakar embriologi, sejak hari kedua puluh satu (awal minggu keempat) telah terbentuk gumpalan organ fisik pada dua sisi embrio yang setelah itu akan menjadi urat punggung. Bahkan pada minggu keenam kaki bayi sudah mulai muncul meskipun masih seperti tunas belalai, minggu kedelapan kelopak mata bayi sudah mulai kelihatan. Kaki, kuping, jari-jari dan ibu jari mulai berkembang.
Dengan terbentuknya beberapa organ fisik sejak hari keduapuluh satu tersebut, berarti embrio telah memasuki tahapan mudhghah (sekerat daging). Dan itu berarti proses `alaqah sebetulnya tidak membutuhkan waktu sampai empat puluh hari. Bahkan pakar embriologi menjelaskan bahwa proses bergantungnya (`alaqah) sel telur yang telah dibuahi telah berlangsung sejak pada minggu ketiga kehamilan, sementara menurut hitungan para ulama, minggu tersebut masih tahapan nuthfah.
Sebetulnya, selain hadis riwayat Ibnu Mas`ud di atas, Hudzaifah memiliki riwayat yang berbeda. Hudzaifah berkata:
فَإِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِذَا مَرَّ بِالنُّطْفَةِ ثِنْتَانِ وَأَرْبَعُونَ لَيْلَةً بَعَثَ اللَّهُ إِلَيْهَا مَلَكًا فَصَوَّرَهَا وَخَلَقَ سَمْعَهَا وَبَصَرَهَا وَجِلْدَهَا وَلَحْمَهَا وَعِظَامَهَا ثُمَّ قَالَ يَا رَبِّ أَذَكَرٌ أَمْ أُنْثَى فَيَقْضِي رَبُّكَ مَا شَاءَ وَيَكْتُبُ الْمَلَكُ ثُمَّ يَقُولُ يَا رَبِّ أَجَلُهُ فَيَقُولُ رَبُّكَ مَا شَاءَ وَيَكْتُبُ الْمَلَكُ ثُمَّ يَقُولُ يَا رَبِّ رِزْقُهُ فَيَقْضِي رَبُّكَ مَا شَاءَ وَيَكْتُبُ الْمَلَكُ ثُمَّ يَخْرُجُ الْمَلَكُ بِالصَّحِيفَةِ فِي يَدِهِ فَلَا يَزِيدُ عَلَى مَا أُمِرَ وَلَا يَنْقُصُ
“Saya Mendengar Rasulullah bersabda, apabila nuthfah telah berusia empat puluh dua malam, Allah akan mengutus malaikat untuk membentuk dan menciptakan organ fisiknya seperti pendengararan, penglihatan, kulit, daging dan tulangnya. Malaikat tersebut bertanya, Ya Allah apakah (embrio ini) laki-laki atau perempuan, Allah menjawab dan sang malaikat pun mencatatnya.Ya Allah, bagaimana dengan ajalnya? Allah menetapkan apa yang dikhendaki-Nya dan malaikat mencatat.Ya Allah, bagaimana dengan rezkinya? Allah menetapkan apa yang dikendaki atas embrio tersebut dan dicatat oleh malaikat. Setelah (tugasnya selesai) malaikat keluar dari embrio sambil membawa buku catatan itu dengan tidak menambah maupun menguranginya”.
Riwayat ini menyebutkan datangnya malaikat yang akan membentuk organ fisik embrio setelah berjalan empat puluh dua hari kehamilan. Menurut Usman Najati, periode ini terlihat sama apabila dibandingkan dengan hasil beberapa penelitian ilmiah mutakhir pada disiplin ilmu embriologi sebagaimana yang telah dikemukakan atas.
Tahap Mudghah
ثم يكون مضغة مثل ذلك kata مضغة berasal dari kata مضغ yang berarti "mengunyah". Mudhghah adalah sesuatu yang kadarnya kecil sehingga dapat dikunyah. Bahkan di dalam lisan al-Arab disebutkan bahwa mudhghah adalah sepotong daging yang ukurannya dapat dimasukkan ke mulut. Dalam sebuah hadis kata mudhghah juga diartikan dengan hati. Disebutkan demikian karena hati (qalbu) merupakan mudhghah dari tubuh manusia.
Di atas telah dijelaskan bahwa setelah tahap `alaqah, perkembangan berikutnya adalah tahap mudhghah di mana pada tahap inilah terjadinya perkembangan semua system organ fisik utama. Proses pembentukan organ fisik ini kira-kira berakhir pada penghujung bulan ketiga. Tahapan ini biasa disebut dengan mudhghah mukhallaqah (sekerat daging yang telah sempurna proses penciptaannya) seperti yang disinyalir oleh al-Qur`an al-Hajj (22( : 5: ثم من مضغة مخلقة وغير مخلقة . Namun apabila Allah tidak menghendaki penciptaan embrio, maka mudhghah tidak akan tumbuh dengan sempurna, sehingga rahim akan membuangnya sebagai janin yang gugur. Inilah yang dikemukakan oleh Nabi:
إذا وقعت النطفة في الرحم بعث الله ملكا قال يا رب مخلقة أو غير مخلقة فإن قال غير مخلقة مجتها الأرحام دما
Pada tahap ini, tulang belulang baru terbentuk, tepatnya pada minggu kelima dan keenam. Kemudian tulang belulang itu dibungkus dengan otot pada minggu keenam dan ketujuh, bahkan pada akhir bulan ketiga dan awal bulan keempat embrio pertama kali bisa bergerak meskipun belum dirasakan oleh perempuan yang menghamilkannya. Denyut jantung baru berfungsi pada awal bulan keempat. Sedangkan perkembangan embrio pada tahap sempurna adalah sejak bulan keempat. Sejak saat inilah embrio sudah bisa mendengar suara yang berada di luar dan juga mampu mendengar gemuruh isi perut ibunya. Sementara pertumbuhan indra penglihatan agak sedikit terlambat.
Hal menarik yang perlu dicermati dari uraian di atas adalah adanya kesesuaian antara hadis (dan al-Qur`an) dengan embriologi bahwa indra pendengaran telah tumbuh mendahului indra penglihatan. Oleh karena itu, janin dalam perut ibu bisa mendengar suara alam luar sejak usia dini sebagaimana jabang bayi yang baru dilahirkan bisa langsung mendengarkan berbagai macam suara. Dia belum bisa melihat dengan jelas sampai sekitar usia enam bulan ketika retina sudah terbentuk dengan kuat pada kedua matanya.
Kalau harus memilih di antara kedua indra tersebut, fungsi pendengaran jauh lebih penting dari pada fungsi penglihatan dalam proses belajar. Seorang anak yang dilahirkan dalam keadaan buta akan masih bisa mempelajari bahasa sebagai instrumen utama dalam proses belajar. Sebaliknya, anak yang dilahirkan dalam keadaan tuli tidak akan bisa mempelajari bahasa, dan biasanya akan bisu karena tidak pernah mendengar kosakata yang harus dia ucapkan. Di sinilah hikmahnya hadis maupun ayat selalu mendahulukan kata السمع dari kata الأبصار . itu pulalah hikmah anjuran Nabi untuk meng-adzan-I telinga kanan dan meng-qamat-i telinga kiri bayi yang baru lahir karena ternyata pada saat fungsi pendengarannya telah berfungsi.
Tahap Peniupan Ruh.
فينفخ فيه الروح. Kata نفخ berarti mengeluarkan angin melalui mulut. M. Quraish Shihab ketika menafsirkan surah al-Hijr ayat 29 tantang peniupan ruh, menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan meniupkan ruh adalah memberikan potensi ruhaniah kepada makhluk manusia yang menjadikannya dapat mengenal Allah dan mendekatkan diri kepada-Nya. Tidak ada peniupan, tidak ada juga angin atau ruh dari zat Allah yang menyentuh manusia. Ruh adalah milik-Nya dan merupakan wewenangNya.
Pendapat senada juga dikemukakan oleh al-Taba`taba`I. Menurutnya, peniupan ruh yang dimaksud oleh ayat ini adalah pemberian Allah kepada manusia berupa ruh insani yang memiliki keterikatan dan menggantung pada badan manusia. Peniupan yang dimaksud bukan memasukkan angin pada badan. Menurut al-Taba`taba`, ruh merupakan sesuatu yang eksis dengan dirinya sendiri, menyatu dan menggatung pada badan, namun indefenden, artinya apabila taalluq-nya dengan badan terputus maka ia akan meninggalkannya. Bahwa ruh –lanjut al-Taba`tabai-disandarkan kepada Allah adalah penghormatan bagi pemiliknya.
Pendapat berbeda dikemukakan oleh Ayatullah al-Udzma Makarim al-Syirazi. Menurutnya, memang benar bahwa janin sejak awalnya telah hidup dan telah berproses pada tahap demi tahap, akan tetapi ia tidak memiliki kemampuan merasa dan bergerak dalam rahim ibunya. Pada saat itu ia sama saja dengan tumbuh-tumbuhan. Namun beberapa bulan kemudian, dengan bermodalkan ruh janin itu dapat hidup.
Pertanyaan yang muncul adalah kapan terjadinya peniupan ruh tersebut. Pertanyaan ini dimunculkan karena seolah terjadi pertetangan beberapa hadis tentang ini. Sebagian ulama memahami bahwa peniupan ruh terjadi setelah empat puluh hari ketiga berlalu. Namun mayoritas ulama berpandangan terjadi pada hari kesepuluh setelah empat puluh hari ketiga berlalu dengan mengacu pada riwayat Hudzaifah bin Asid bahwa malaikat tidak akan datang pada penghujung hari keempat puluh melainkan setelah itu, tepatnya setelah pembentukan seluruh organ fisik sempurna. Pendapat ini berdasar pada teks riwayat Ibnu Mas`ud di atas dan faktanya setelah empat bulan masa kehamilan, seorang perempuan dapat merasakan gerakan janin dalam rahimnya. Ulama yang berpendapat demikian mengatakan bahwa inilah hikmah mengapa iddah seorang perempuan yang ditinggal mati oleh suaminya harus empat bulan sepuluh hari. Karena pada hitungan itulah bisa dipastikan apakah perempuan tersebut hamil atau tidak (برأة الرحم). Berdasar pada pemahaman ini pula munculnya hukum tidak berlakunya shalat jenazah bagi janin yang gugur sebelum mencapai umur empat bulan ke atas.
Berbeda dengan pendapat mayoritas di atas, riwayat Hudzaifah bin Asid menyebutkan bahwa sejak empat puluh dua hari masa kehamilan, malaikat mendatangi nuthfah tersebut dan membentuk beberapa organ fisik utama embrio seperti pendengaran, penglihatan, kulit dan seterusnya. Masuknya malaikat untuk mengurusi embrio tersebut meniscayakan terjadinya peiupan ruh pada saat itu juga atau setidaknya sebelum usia kandunga mencapai empat bulan sepuluh hari.
Riwayat Hudzaifah ini lebih relevan dengan hasil penelitian para pakar embrilogi, seperti yang telah dikemukakan di atas, bahwa pada minggu kedua belas kehamilan (akhir bulan ketiga), janin sudah bisa bergerak meskipun belum dirasakan oleh ibu yang mengandungnya, dan itu berarti pada masa tersebut janin sudah memiliki ruh.
Perlu dicermati bahwa akar perbedaan pemahaman ulama dengan ilmu kedokteran tentang waktu yang dibutuhkan pada proses tahap-tahap di atas terletak pada pemaknaan mereka terhadap kata مثل ذلك pada hadis itu dengan “jumlah hari yang sama.”Sehingga dari sini muncul pemahaman bahwa proses tersebut berlangsung pada tiga kali empat puluh hari. Padahal, dalam riwayat Muslim disebutkan ثُمَّ يَكُونُ فِي ذَلِكَ yang seharusnya ditafsirkan dengan فِي ذَلِك الزمان (pada empat puluh hari tersebut), kata tersebut mengindikasikan bahwa ketiga tahap itu berproses dalam satu kali empat puluh hari saja, sedangkan proses selanjutnya adalah masa pembentukan organ dan penyempurnaan. Para ulama tidak memperhatikan kata kunci ini, penulis menduga karena hanya terdapat pada riwayat Muslim (Sahih Muslim) yang tingkat akurasi sanadnya sedikit di bawah ketimbang Sahih Bukhari, padahal para ulama sepakat pula bahwa Sahih Muslim lebih unggul pada sisi akurasi redaksi matannya.
Penafsiran di atas didukung oleh hadis riwayat Hudzaifah bin Azid yang justru dikesankan oleh para kontradiksi dengan hadis riwayat Ibnu Mas`ud ini. Riwayat ini menjelaskan bahwa ketika usia nuthfah telah mencapai empat puluh dua hari, Allah mengutus malaikat untuk membentuk organ fisik embrio. Ini berarti nuthfa, `alaqah dan mudghah berproses dalam satu kali empat puluh hari bukan tiga kali empat puluh hari, sebab pembentukan organ fisik berlangsung setelah ketiga tahap tersebut selesai. Andaikata riwayat Ibnu Mas`ud ini dikonfirmasi atau ditafsirkan dengan riwayat Hudzaifah bin Azid di atas maka penafsiran tiga kali empat puluh hari itu tidak akan muncul.
Kesimpulan
Dari pemaparan di atas ada beberapa hal yang penulis simpulkan, antara lain:
1. Pada beberapa hal, para ulama dan ilmu kedokteran modern terdapat kesepakatan, seperti Ovum dan sperma (nutfah) yang keduanya bertanggung jawab dalam pembentukan zigot manusia secara seimbang. Namun di lain hal, terjadi pula perbedaan pendapat. Perbedaan yang paling mencolok dalam konteks ini adalah waktu yang dibutuhkan dalam proses ketiga tahap, nutfah, `alaqah, dan mudghah yang bermuara pada perbedaan sejak kapan embrio tersebut memiliki ruh kehidupan. Akar perbedaan ini adalah para ulama mendasarkan pemahaman mereka terhadap kata مثل ذالك, yang mereka tafsirkan dengan “dengan jumlah hari yang sama dengan yang disebutkan sebelumnya”. Sementara data-data yang dikemukakan oleh pakar embriologi di atas adalah hasil penelitian empiris dengan bantuan tekhnologi modern.
2. Pemikiran para ulama yang telah dikemukakan di atas, meskipun berbeda dengan pengetahuan modern bahkan mungkin keliru, selayaknya mendapatkan apresiai. Betapa tidak, pemahaman seperti itu benar-benar berasal dari pemikiran yang genuine karena pengetahuan embriologi belum berkembang pada saat itu. Ibnu Hajar yang banyak dikutip dalam tulisan ini, wafat pada abad 852 H. tepatnya abad awal abad 17-an M., di mana embriologi yang dikemukakan di atas baru ditemukan pada abad 19 yang lalu melalui penelitian empiris.
3. Hasil penelitian para embriologi terutama yang berbeda dengan hasil pemikiran para ulama sebaiknya dipertimbangkan mengingat hasil tersebut lebih empiris dan akurat. Sementara pemikiran para ulama yang cenderung teologis layaknya sebuah panafsiran yang dapat berubah dan berkembang bahkan keliru. Kalau hasil penelitian tersebut diterima, maka konsekwensinya beberapa implikasi hukum yang muncul akibat pemahaman tiga kali empat puluh hari pada tahap nutfah, `alaqah, dan mudghah itu akan gugur.
4. Hemat penulis, kajian-kajian serupa terhadap hadis perlu terus dikembangkan. Sebab boleh jadi hadis-hadis Nabi masih banyak memuat informasi baru yang belum terkuak melalui riset mutakhir, salah satunya hadis mengenai perbedaan cara pembersihan air seni bayi yang belum makan. Hadis ini mengindikasikan adanya perbedaan kualitas air seni yang boleh jadi disebabkan oleh anatomi kedua bayi tersebut.
Kepustakaan
Abadi, Syamsul Haq al-Azimi. Aun al-Ma`bud,jilid 12.Cet. III; Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1415H.
Abdul Qadir, Abdul Wahab. Perjalanan dari Janin Menuju Manusia.Cet.I; Jakarta: Pustaka Awak Reng Sogenep, 2003.
Abu Abdillah, Muhammad bin Zaid al-Qazwini (207-275 H), Sunan Ibnu Majah, juz I. Beirut: Dar al-Fikr.
Ali Bar, Muhammad Khalq al-Insan Bain al-Thib wa al-Qur`an.Cet. I; Jeddah: al-Dar al-Suudiyah li al-Nasyar wa Tauzii, 1986.
Athabathabai, Muhammad Husain al-Mizan fi Tafsir al-Qur`an,Jilid XV. Cet.II; Beirut: Muassasah al-A`la li al-Mathbu`at, 1973/ 1393 H.
Al-Bukhari, Muhammad bin Ismail Sahih Bukhari .Cet. III; Beirut Dar Ibnu al-Katsir, 1987/1407. Juz III.
Ibnu Daqiq al-Id, Syarah Matan al-Arbain al-Nabawiyah. Diterjemahkan oleh Abu Umar Abdullah Asy-Syarrif dengan judul Syarah Hadits Arba`in. Solo: At-Tibyan, t.th.
Ibn Hajar al-Asqalani, Ahmad bin Ali (773-852H), Fath al-Bari, jilid XI Kairo:Dar al-Manar, 1999.
Ibnu Mandzur Abu al-Fadhl Jamaluddin Muhammad bin Mukrim al-Ifriki al-Misri, Lisan al-Arab, jilid X.Cet. I; t.tp: Dar al-Fikr, 1990.
Al-Mubarakfuri, Muhammad Abdurrahman bin Abdul Rahim Abul A`la (1283-1353H). Tuhfat al-Ahwadzi Jilid VI.Beirut: dar al-Kutub al-Ilmiyah.
Al-Naisaburi, Muslim bin al-Hajaj Abu al-Husain al-Qusyairi. Sahih Muslim, Beirut: Dar al-Ihya al-Turats al-Arabi, juz IV, h. 2036
Najati, Muhammad Usman al-Hadis al-Nabawi wa `Ilm al-Nafs.Diterjemahkan oleh Wawan Djunaedi Soffandi dengan Psikologi dalam Tinjauan Hadits Nabi.Cet. I; Jakarta: Mustaqiim, 2003.
Al-Sijistani,Sulaiman bin al-Asy`asy Abu Daud al-Azadi (202-275 H). Sunan Abi Daud, juz IV. Beirut: Dar al-Fikr, t.th,
Shihab, M.Quraish. Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan dan keserasian Al-Qur`an, Volume 9.Cet.I; Jakarta:Lentera Hati, 2002
Sloane, D. M.D., (at.,al), The Complete Pranancy Workbook. Diterjemahkan oleh Anton Adiwiyoto dengan judul Petunjuk Lengkap Kehamilan:Buku Pedoman untuk Calon Ibu dan Ayah.Cet. V; Jakarta Mitra Utama, 1997.
Syirazi, Ayatullah al-Udzma Makarim Nafahat al-Tafsir, juz II, t.tp: Muassasah Abi Shalih, t.th..
Tara, Elizabeth MD. Diindonesiakan oleh Dwi Karyani dengan judul Pedoman Menjadikan Anak Anda Sehat dan Cerdas. Jakarta: Taramedia, 2003.
Al-Turmudzi, Muhammad bin Isa Abu Isa (209-279 H. Sunan al-Turmudzi, juz IV (Beirut: Dar al-Ihya al-Turats al-Arabi, t.th.
Yanggo, Huzaimah T. “ Dialog Aborsi dalam Persfektif Agama Islam” dalam Maria Ulfah (ed. Et all), Aborsi dalam Fikhi Kontemporer.Jakarta:Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2002.
0 komentar