Membangun Relasi Tuhan-Manusia
Ada suatu hal yang menarik kalau kita bicara tentang Nuzulul Qur’an (Nuzûl al-Qur’ân) yang kita peringati pada tiap tanggal 17 Ramadan, yaitu bahwa tanggal tersebut bertepatan dengan hari proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945. Seolah-oleh peringatan Nuzulul Qur’an pada tanggal 17 Agustus dulu itu merupakan proklamasi juga, tetapi secara ruhani. Dengan begitu para pendiri bangsa kita dulu berharap bahwa negara kita ini diberkati oleh Allah SWT, karena diproklamasikan bersamaan dengan turunnya al-Qur’an.
Dalam surat al-Qadr disebutkan bahwa Allah menurunkan al-Qur’an itu pada saat Lailatul Qadr (Laylat al-Qadr). Di tempat lain ada keterangan bahwa Allah menurunkannya di hari yang menentukan, istilahnya yawm-a ‘l-furqân, yaitu ketika dua musuh berhadapan (yawm-a ‘l-taqâ ‘l-jam`ân), dalam hal ini yang dimaksud adalah kelompok kaum beriman dipimpin oleh Nabi saw. dan kelompok kaum musyrik dari Makkah dalam perang Badar. Disebut yawm-u ‘l-furqân, karena sangat menentukan jalannya sejarah Islam, sejarah Nabi sendiri, dan dengan demikian sejarah umat manusia.
Berdasarkan itu maka rupanya ada ijtihad di Indonesia bahwa Nuzulul Qur’an itu tanggal 17 Ramadan. Ini jelas merupakan suatu hal yang sangat baik, yang pertamakali dicetuskan oleh, kalau tidak salah, H. Agus Salim, dan disetujui oleh Bung Karno waktu itu. Jadi suatu kebetulan yang luar biasa, dan dalam kadar tertentu 17 Ramadan itu mempunyai nilai “mistik”, karena ada koinsidensinya dengan 17 Agustus, atau sebaliknya. Kita sebut kebetulan, karena sebetulnya peristiwa itu tidak bisa kita terangkan (maka dari sudut manusia disebut kebetulan [koinsidensi]). Tetapi kalau dari sudut Allah barangkali itu suatu rencana. Dan memang tidak sedikit kejadian-kejadian yang besar di dunia ini dimulai dengan (seolah-olah suatu) kebetulan-kebetulan. Misalnya, Nabi Ibrahim sampai ke Makkah yang di situ adalah rumah Tuhan yang pertama yang didirikan oleh Nabi Adam. Itu sebenarnya karena kebetulan ia mengantarkan anaknya Ismail dari ibunya Hajar yang diusir oleh Sarah. Karena diusir mereka ke sana dengan dibimbing oleh Allah. Jadi tentu perkataan “kebetulan” itu dari sudut pandang manusia, tetapi dari sudut pandang Allah itu semacam skenario, bahkan “grand design”.
Tradisi memperingati Nuzulul Qur’an pada tanggal 17 Ramadan bertepatan dengan 17 Agsutus itu kita sebut hal yang sangat baik dan terpuji, karena akan mengingatkan kita pada nilai-nilai spiritual di mana Tuhan seakan-akan ikut ambil bagian atau melakukan intervensi (dalam arti positif) terhadap jalannya sejarah bangsa kita. Karena itu pula tampaknya peristiwa tersebut ditradisikan, bahkan dilembagakan menjadi peristiwa nasional tahunan, yang peringatannya dilaksanakan di Masjid Istiqlal (yang juga merupakan simbol kemerdekaan bangsa kita), dan dihadiri oleh para pejabat tinggi negara. Tentu saja di luar pelaksanaan yang semi-formal kenegaraan itu, umat Islam di seluruh pelosok tanah air juga memperingati Nuzulul Qur’an dengan cara mereka sendiri-sendiri. Peristiwa Nuzulul Qur’an atau turunnya kitab suci al-Qur’an telah ikut menambah sakralnya bulan Ramadan. Sebab al-Qur’an itu tidak lain adalah sumber pandangan hidup kaum Muslim. Para mubaligh yang berceramah dalam peringatan Nuzulul Qur’an biasanya juga tidak lupa menguraikan hikmah dan makna al-Qur’an dalam kehidupan umat Islam.
Kalau kita perhatikan makna katanya, nuzûl itu berarti turun. Dari kata itu sudah bisa diambil suatu metafor tentang makna yang terkandung di dalam pengertian “turun” dalam konteks turunnya al-Qur’an. Tidak perlu kita membayangkan bahwa al-Qur’an-lebih-lebih dengan wujudnya yang kita kenal sekarang-itu turun dalam arti fisik dan diterima oleh Muhammad dengan kedua tangannya. Nuzulul Qur’an atau turunnya al-Qur’an itu mengandung pengertian adanya suatu proses historis di mana wahyu Allah berinteraksi dengan kehidupan manusia di bumi. Jadi, meskipun wahyu Allah itu bersifat metafisis, ia diturunkan untuk meresponi, menjawab, dan memberi tuntunan bagi manusia dalam kehidupannya.
Dalam bahasa lain, wahyu Allah tidak turun di ruangan hampa, melainkan dalam realitas kehidupan manusia yang nyata. Itulah sebabnya dalam wacana akademis Islam kita mengenal istilah Asbabun Nuzul (Asbâb al-Nuzûl), yakni sebab-sebab turunnya wahyu tertentu. Hal itu menunjukkan tentang adanya situasi atau konteks tertentu diwahyukannya suatu firman. Beberapa di antaranya bahkan dapat langsung disimpulkan dari lafal teks firman bersangkutan. Misalnya, lafal permulaan ayat pertama surat al-Anfâl menunjukkan dengan jelas bahwa firman itu diturunkan kepada Nabi saw untuk memberi petunjuk kepada beliau mengenai perkara yang ditanyakan orang tentang bagaimana membagi harta rampasan perang. Atau seperti surat al-Masad (“Tabbat”), adalah jelas turun dalam kaitannya dengan pengalaman Nabi yang menyangkut seorang tokoh kafir Quraisy, paman beliau sendiri, yang bernama atau dipanggil Abû Lahab, beserta istrinya. Demikian juga, dari lafal dan konteksnya masing-masing dapat diketahui dengan jelas sebab-sebab turunnya surat Abasa, ayat tentang perubahan bentuk rembulan (al-ahillah) dalam surat al-Baqarah/2:189, dan lain sebagainya.
Berbicara tentang Nuzulul Qur’an biasanya asosiasi banyak orang adalah turunnya wahyu pertama kepada Nabi Muhammad saw, yang menurut para ulama adalah surat al-Alaq, terutama lima ayat yang pertama. Peristiwanya sendiri terjadi ketika Nabi sedang ber-khalwat di Gua Hira. Dalam suatu firman ditegaskan bahwa al-Qur’an itu diturunkan pada bulan Ramadan (Q 2: 185). Para ulama memperhitungkan saat turunnya al-Qur’an itu adalah pada malam-malam ganjil dalam sepuluh hari terakhir bulan Ramadan, saat-saat yang juga banyak dinanti oleh kaum Muslim karena dipercaya akan datangnya Lailatul Qadr (Laylat al-Qadr). Karena itu Nuzulul Qur’an juga selalu dikaitkan dengan Lailatul Qadr (lihat artikel dan dialog mengenai ini pada bab III-peny.). Yang ingin ditekankan di sini adalah bahwa di antara berbagai keistimewaan al-Qur’an, selain yang sering disampaikan dalam ceramah Nuzulul Qur’an, adalah bahwa proses turunnya itu membutuhkan waktu yang lama, bertahap, tidak sekaligus. Hal ini mengandung hikmah bahwa wahyu Allah itu sebagai sesuatu yang pada mulanya bersifat metahistoris kemudian turun mengalami apa yang tadi disebut sebagai proses historis; ia berinteraksi dan memberi respons serta jawaban terhadap permasalahan yang muncul di tengah-tengah kehidupan umat manusia, karena itu proses turunnya wahyu dalam bentuk yang lengkap seperti sekarang ini (al-Qur’an) membutuhkan waktu yang cukup lama, yakni sampai menjelang wafatnya Nabi saw.
Tentu saja kita meyakini bahwa wahyu Allah dalam bentuk al-Qur’an itu bersifat universal (melintasi zaman dan tempat), tetapi turunnya wahyu itu sendiri bersifat kontekstual. Masalah kemudian adalah bagaimana kita melakukan generalisasi terhadap suatu firman sehingga bisa mengatasi situasi konkretnya dan menjadi suatu pengertian yang umum. Masalah inilah yang menjadi bahasan dalam apa yang disebut Asbabun Nuzul (sebab-sebab turunnya wahyu). Untuk melengkapi diskusi kita, dalam bagian berikut kita akan membahas juga apa itu Asbabun Nuzul dan apa hikmahnya bagi kita sekarang.
SEBAB-SEBAB TURUNNYA AYAT AL-QUR’AN
Pengetahuan tentang sebab-sebab turunnya wahyu atau Asbabun Nuzul akan membantu seseorang memahami konteks diturunkannya sebuah ayat suci. Dan di antara hal-hal yang dapat dengan jelas menjadi petunjuk tentang sebab turunnya sebuah ayat suci ialah jika dimulai dengan ungkapan dialogis, seperti “Mereka bertanya kepadamu (Nabi)”, “Katakan kepada mereka”, dll. Juga jika di situ disebutkan nama pribadi orang seperti, sudah dikemukakan di atas, nama Abu Lahab, dan juga Zaid (ibn Haritsah). Konteks turunnya ayat suci akan memberi kejelasan tentang implikasi sebuah firman, dan memberi bahan untuk melakukan penafsiran dan pemikiran tentang bagaimana mengaplikasikan firman itu dalam situasi yang berbeda. Dengan mengutip berbagai sumber otoritas dalam bidang ini, Ahmad von Denffer memberi rincian arti penting bagi pengetahuan tentang Asbabun Nuzul, khususnya mengenai ayat-ayat hukum, sebagai berikut:
Makna dan implikasi langsung dan segera terpahami (muhadir, immediate) dari sebuah firman, sebagaimana hal itu dapat dilihat hari konteks aslinya.
Alasan mula pertama yang mendasari suatu ketetapan hukum.
Maksud asal sebuah ayat.
Menentukan apakah makna sebuah ayat mengandung terapan yang bersifat khusus atau bersifat umum, dan kalau demikian, dalam keadaan bagaimana makna itu dapat atau harus diterapkan.
Situasi historis pada zaman Nabi dan perkembangan komunitas Muslim. Sebagai sebuah contoh ialah firman Allah, “Kepunyaan Allah-lah timur dan barat; maka ke manapun kamu menghadapkan wajahmu, di sanalah Wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Meliputi dan Maha Tahu” (Q 2:115). Firman ini turun kepada Nabi berkaitan dengan adanya peristiwa yang dialami sekelompok orang beriman yang mengadakan perjalanan di malam hari yang gelap gulita. Pada pagi harinya mereka baru menyadari bahwa semalam mereka bersembahyang dengan menghadap ke arah yang salah, tidak ke kiblat. Kemudian mereka bertanya kepada Nabi berkenaan dengan apa yang mereka alami itu. Maka turunlah ayat suci itu, yang menegaskan bahwa ke manapun seseorang menghadapkan wajahnya, ia sebenarnya juga menghadap Tuhan, karena Tuhan tidak terikat oleh ruang atau waktu, sehingga Tuhan pun “ada di mana-mana, timur atau pun barat.” Tetapi karena konteks turunnya firman itu bersangkutan dengan peristiwa tertentu di atas, tidaklah berarti bahwa dalam sembahyang seorang Muslim dapat menghadap ke manapun ia suka. Ia harus menghadap ke kiblat yang sah, yaitu arah al-Masjid al-Haram di Makkah. Tetapi ia dibenarkan menghadap ke mana saja dalam salat jika ia tidak tahu arah yang benar, atau kalau karena kondisi tertentu tidak mungkin baginya menghadap ke arah yang benar.1
Sumber Berita tentang Asbabun Nuzul
Sumber pengetahuan tentang Asbabun Nuzul diperoleh dari penuturan para Sahabat Nabi. Nilai berita itu dengan sendirinya sama dengan nilai berita-berita lain yang menyangkut Nabi dan kerasulan beliau, yaitu berita-berita hadis. Karena itu tersangkut pula persoalan kuat dan lemahnya berita itu, shahih dan dlaif-nya, serta otentik dan palsunya. Semuanya ini menjadi wewenang cabang ilmu kritik Hadis (ilmu tarjih dan ta`dil) para ahli. Dan seperti halnya persoalan hadis pada umumnya, penuturan atau berita tentang suatu sebab turunnya wahyu tertentu juga dapat beraneka ragam, sejalan dengan keanekaragaman sumber berita. Maka tidak perlu lagi ditegaskan bahwa informasi-informasi yang ada harus dipilih dengan sikap kritis.
Sebagai misal ialah berita tentang sebab turunnya firman yang dikutip di atas. Berdasarkan penurutan Jabir ibn Abdillah, al-Wahidi al-Nisaburi menerangkan tentang adanya beberapa versi lain tentang sebab turunnya firman tersebut, sehingga aplikasinya juga dapat menyangkut beberapa situasi yang berbeda. Pertama, berdasarkan penuturan Abdullah ibn Umar, seseorang boleh melakukan salat sunnat menghadap ke mana saja di atas kendaraannya, dan hanya salat sunnat saja. Tapi firman itu juga menegaskan bahwa sembahyang menghadap ke manapun, dalam keadaan darurat, apalagi jika sembahyang itu bukan sembahyang wajib, melainkan sunnat, tidaklah menjadi persoalan. Sebab yang penting ialah nilai salat itu sendiri sebagai tindakan mendekatkan diri kepada Allah dan mengasah jiwa untuk lebih bertakwa kepada-Nya. Menghadap kiblat yang telah ditentukan, yaitu Masjid Haram di Makkah, sekalipun dalam keadaan normal diwajibkan, tidaklah menyangkut nilai sebenarnya salat itu. Kiblat itu hanya sebagai lambang orientasi hidup yang benar dan konsisten serta kesatuan orientasi itu antara seluruh umat Islam sedunia. Kita mengetahui sendiri betapa efektifnya simbolisasi kiblat ini, dengan dampak kesamaan yang menakjubkan antara seluruh kaum Muslim di muka bumi dalam hal peribadatan. Kalangan bukan Islam biasanya merasa heran, mungkin tidak akan dapat mengerti, mengapa terdapat kesamaan yang sedemikian besar dan jauh antara umat Islam seluruh dunia dalam hal salat dan bidang peribadatan yang lain. (Dalam agama lain, perbedaan akan sangat terasa dari sekte ke sekte yang lain, juga dari bangsa atau negeri ke bangsa atau negeri lain meskipun dari satu sekte).
Walaupun kiblat sebagai lambang persatuan dan kesamaan itu sedemikian pentingnya, namun berdasarkan firman Allah yang menengaskan bahwa ke manapun kita menghadapkan wajah kita maka di sanalah Wajah Allah, tidaklah dibenarkan adanya tekanan yang serba mutlak atas kewajiban menghadapkan wajah ke Makkah, sebab tekanan serupa itu akan membawa kepada sikap lebih mementingkan lambang atau simbul daripada isi atau makna. Meskipun lambang dan makna harus ada secara serentak, namun dari ayat suci itu jelas sekali bahwa segi makna adalah lebih penting daripada segi lambang.
Seterusnya, pandangan lain, berdasarkan penuturan Abdullah ibn Abbas, ayat suci di atas itu turun berkenaan dengan adanya pertanyaan kepada Nabi, mengapa mereka diperintahkan untuk melakukan salat janazah bagi Raja Najasyi (Negus) dari Abessinia (Habasyah, Ethiopia), yang semasa hidupnya (sebagai seorang Kristen) bersembahyang menghadap kiblat yang berbeda dengan kiblat mereka sendiri, kaum Muslim. Najasyi adalah raja Habasyah yang besar sekali jasanya kepada Nabi, kaum Muslim, dan agama Islam, karena perlindungan yang diberikannya kepada para pengikut Nabi yang berhijrah ke negeri itu untuk menghindar dari penganiayaan kaum musyrik Makkah.
Perlakuannya yang amat simpatik kepada kaum Muslim dan sikapnya yang penuh pengertian kepada ajaran Islam menyebabkan turunnya firman Allah yang lain, yang menegaskan bahwa sedekat-dekat ummat manusia dalam rasa cintanya kepada kaum Muslim ialah “mereka yang berkata, ‘Kami adalah orang-orang Nasrani’” (Q 5: 82). Dan Nabi dalam memerintahkan para Sahabat beliau untuk melakukan salat jenazah bagi Najasyi menggambarkan raja Habasyah itu sebagai “saudara” kaum beriman. Dari balik pertanyaan sementara Sahabat di atas itu dapat diketahui dengan jelas bahwa sekalipun Najasyi adalah seorang Kristen, namun Nabi memerintahkan mereka untuk berdoa baginya, mengingat jasa-jasanya yang besar itu. Dan firman Allah yang terkait itu, menurut versi penuturan Asbabun Nuzul ini, menegaskan bahwa masalah ke mana orang menghadap dalam sembahyangnya bukanlah perkara penting. Yang penting ialah sikap batin yang ada dalam dada. Sebab, seperti difirmankan di tempat lain, setiap kelompok manusia mempunyai arah (wijhah) ke mana mereka menghadap atau berorientasi. Dan ummat manusia dalam orientasi yang berbeda-beda itu hendaknya berlomba menuju kepada berbagai kebaikan, tanpa terlalu banyak mempersoalkan perbedaan antara mereka. Lengkapnya, firman Allah itu, terjemahnya, kurang lebih adalah demikian:
Dan bagi setiap (kelompok manusia) ada arah (wijhah) yang kepadanya kelompok itu menghadap. Maka berlomba-lombalah kamu sekalian untuk berbagai kebaikan. Di (kelompok) manapun kamu berada, Allah akan mengumpulkan kamu semua. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu" (Q 2: 148).
Jadi firman Allah tentang "timur dan barat" tersebut di atas mempunyai kemungkinan implikasi dan aplikasinya yang luas.
Versi ketiga tentang sebab turunnya firman itu menyangkut kaum Yahudi Madinah. Menurut penuturan ibn Abi Thalhah, ketika Nabi dengan izin Allah mengubah kiblat sembahyang dari ke arah Yerusalem menjadi ke arah Makkah, kaum Yahudi bertanya-tanya, mengapa ada perubahan yang mengesankan sikap tidak teguh dalam beragama serupa itu?! Maka firman Allah tersebut dimaksudkan untuk menampik ejekan kaum Yahudi dan menegaskan bahwa perkara arah menghadap dalam sembahyang bukanlah sedemikian prinsipilnya sehingga harus dikaitkan dengan persoalan nilai keagamaan yang lebih mendalam seperti keteguhan atau konsistensi (istiqamah) sebagai ukuran kesejatian dan kepalsuan. Sebab akhirnya semua penjuru angin, seperti barat dan timur, adalah milik Allah semata, tanpa kelebihan nilai salah satu atas yang lain.2
Berkenaan dengan masalah itu bahkan turun firman yang menegaskan bahwa kebaikan tidaklah diperoleh hanya karena menghadapkan muka ke arah timur atau pun barat, melainkan karena hal-hal yang lebih sejati seperti iman kepada Allah yang selalu hadir (omnipresent) dalam hidup manusia sehari-hari, percaya kepada adanya pertaggungjawaban pribadi mutlak di Hari Kemudian (Akhirat), dan berbuat kepada sesama manusia dan makhluk untuk dibawa ke Hadirat Tuhan di Akhirat nanti. Lengkapnya, firman berkenaan dengan masalah kiblat ini, terjemahnya adalah demikian: Bukanlah kebaikan itu bahwa kamu menghadapkan wajahmu ke arah timur atau barat. Tetapi kebaikan ialah jika orang beriman kepada Allah, Hari Kemudian, para Malaikat, Kitab Suci, dan para Nabi; dan jika orang mendermakan hartanya, betapapun cintanya kepada harta itu, untuk kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, orang terlantar di perjalanan, para peminta-minta dan guna membebaskan budak; juga jika orang menegakkan sembahyang dan mengeluarkan zakat; serta mereka yang menepati janji jika mereka berjanji, dan yang tabah dalam menghadapi penderitaan dan kesusahan, serta dalam masa-masa sulit. Mereka itulah orang-orang yang benar (sejati dalam kebaikan), dan mereka itulah orang-orang yang bertaqwa (Q 2: 177). Para ulama telah menuangkan masalah Asbabun Nuzul ini dalam berbagai karya ilmiah yang kini menjadi rujukan para ahli.
Implikasi Asbabun Nuzul
Salah satu masalah yang banyak dibahas oleh para ahli agama, khususnya segi-segi tertentu ajaran agama di bidang hukum, ialah sejauh mana nilai atau ketetapan hukum dalam Islam ditentukan oleh keadaan ruang dan waktu. Para ahli fiqih sepakat bahwa hukum berubah menurut perubahan zaman dan tempat. Kaidah mereka mengatakan, “Taghayyur al-ahkâm bi taghayyur al-zamân wa al-makân” (Perubahan hukum oleh perubahan zaman dan tempat). Tetapi mereka berselisih tentang batas terjauh dibenarkannya perubahan itu.
Asbabun Nuzul menunjukkan banyaknya kasus suatu nilai ajaran atau hukum diwahyukan kepada Nabi dalam kaitannya dengan peristiwa nyata tertentu yang menyangkut Nabi dan masyarakat Islam di zaman beliau. Telah dikemukakan adanya nama pribadi Zaid yang tersebutkan dalam al-Qur’an. Suatu peristiwa pribadi, berupa perceraian Zaid (“ibn Muhammad”) dari istrinya, Zainab, telah menjadi titik tolak ditetapkannya suatu hukum Tuhan tentang pembatalan atau penghentian makna kehukuman (legal significance) praktek pengambilan anak angkat (tanpa memelihara atau mempertahankan adanya informasi tentang siapa ayah-ibu biologis anak itu). Pembatalan ini dipertegas dengan contoh nyata, yaitu dinikahkannya Nabi oleh Allah dengan Zainab, bekas menantu angkatnya. Kemudian Zaid pun tidak lagi menyandang nama “ibn Muhammad”, tapi dikembalikan kepada nama aslinya menurut nama ayah biologisnya, yaitu “ibn Haritsah”. Firman Allah yang menyangkut Zaid dan Zainab itu demikian:
Dan ingatlah tatkala engkau (Nabi) berkata kepada dia (Zaid) yang Allah telah mengaruniainya kebahagiaan dan engkaupun telah pula memberinya kebahagiaan, “Pertahankanlah istrimu (Zainab) dan bertakwalah kepada Allah,” namun engkau sendiri (Nabi) merahasiakan apa yang ada dalam dirimu yang Allah akan memperlihatkannya, dan engkau (Nabi) takut kepada sesama manusia padahal Allah lebih patut engkau takuti; maka setelah putus Zaid untuk bercerai dari dia (isterinya), Kami (Allah) nikahkan engkau (Nabi) dengan dia (Zainab), agar tidak lagi ada halangan bagi kaum beriman untuk (kawin dengan bekas) isteri anak- anak angkat mereka, jika mereka (anak-anak angkat) itu telah putus menceraikan isteri-isteri mereka. Dan perintah Allah haruslah terlaksana. Tidak sepatutnya bagi Nabi ada asa enggan mengenai apa yang diwajibkan Allah kepadanya, sesuai dengan Sunnah (Hukum) Allah pada mereka yang telah lewat sebelumnya. Dan perintah Allah adalah sesuatu yang amat pasti. Mereka (yang telah lalu sebelumnya) itu adalah orang-orang yang menyampaikan risalat (pesan-pesan suci) Allah; mereka takut kepada-Nya, dan tidak takut kepada seorangpun selain Allah. Cukuplah Allah sebagai penghitung. Muhammad bukanlah ayah seseorang (tanpa kaitan keorangtuaan biologis) di antara kamu, melainkan dia adalah Rasul Allah dan Penutup para Nabi. Allah Maha Tahu akan segala sesuatu. (Q 33: 37-40).
Jadi firman itu memang turun kepada Nabi berkenaan dengan suatu peristiwa kongkret yang menyangkut sepasang suami istri. Dapat dilihat bahwa dalam peristiwa Zaid dan Zainab dan yang “ditangani” langsung oleh Kitab Suci itu terdapat kaitan antara suatu nilai hukum kulli (universal), yaitu pembatalan makna legal praktek mengangkat anak, dengan sebuah kasus juz’i (partikular), yaitu perceraian Zaid dari Zainab dan perkawinan Nabi dengan Zainab, bekas “menantu”-nya. Masalah selanjutnya yang lebih esensial ialah, bagaimana suatu nilai dari sebuah kasus dapat ditarik pada dataran generalitas yang setinggi-tingginya sehingga nilai itu tidak lagi terikat oleh kekhususan peristiwa asal-mulanya dan dapat diberlakukan pada kasus-kasus lain di semua tempat dan sepanjang masa (dan inilah makna universalitas suatu nilai).
Para ahli hukum Islam telah membuat patokan untuk masalah ini, dengan kaidah mereka, “Pengambilan makna dilakukan berdasarkan generalitas lafal, tidak berdasarkan partikularitas penyebab” (Al-ibrah bi umûm al-lafdh, lâ bi khushûsh al-sabab). Tetapi sebuah generalisasi hanya dapat dilakukan jika inti pesan suatu firman dapat ditangkap. Ini dengan sendirinya menyangkut masalah kemampuan pemahaman yang mendalam sedalam-dalamnya dan luas seluas-luasnya. Lalu, pada urutannya, tersangkut pula masalah tafsir, atau bahkan mungkin ta’wil (interpretasi metaforis) yang tidak jarang menimbulkan kontroversi. Sebab dalam melakukannya selalu ada kemungkinan dicapai suatu pandangan, atau tindakan, yang pada lahirnya seperti meninggalkan atau menyimpang dari ketentuan Kitab Suci. Contoh klasik untuk hal di atas itu ialah tindakan Umar ibn al-Khaththab pada waktu menjabat sebagai Khalifah. Komandan kaum beriman (Amîr al-Mu’minîn) itu tidak membenarkan seorang tokoh Sahabat Nabi kawin dengan wanita Ahl al-Kitab (Yahudi atau Kristen), padahal al-Qur’an jelas membolehkannya. Penyebutan tentang dibolehkannya lelaki Muslim kawin dengan wanita Kristen atau Yahudi dalam al-Qur’an ada dalam rangkaian dengan penyebutan tentang dihalalkannya makanan kaum Ahl al-Kitab itu bagi kaum beriman, sebagaimana makanan kaum beriman halal bagi mereka:
Mereka bertanya kepada engkau (Nabi) tentang apa yang dihalalkan untuk mereka. Jawablah, “Dihalalkan bagi kamu apa saja yang baik; juga (dihalalkan bagi kamu binatang yang ditangkap) oleh binatang-binatang berburu yang kamu latih dengan kamu biasakan menangkap binatang buruan dan kamu ajari binatang-binatang itu dengan sesuatu (ketrampilan) yang diajarkan Allah kepada kamu; karena itu makanlah apa yang ditangkap oleh binatang berburu itu untuk kamu, dan sebutlah nama Allah atasnya, serta bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Cepat dalam perhitungan. Pada hari ini dihalalkan bagi kamu perkara yang baik-baik. Makanan mereka yang mendapat Kitab Suci (Ahl al-Kitƒb) adalah halal bagi kamu, dan makanan kamu adalah halal bagi mereka. Dan (halal, yakni dibenarkan kawin, bagi kamu) para wanita merdeka dari kalangan wanita beriman, juga para wanita merdeka dari kalangan mereka yang mendapatkan Kitab Suci sebelum kamu, jika kamu beri mereka mahar-mahar mereka, dan kamu nikahi mereka (secara sah), tanpa kamu menjadikan mereka obyek seksual semata (zina), dan tanpa kamu memperlakukan mereka sebagai gundik. Barangsiapa menolak untuk beriman, maka sungguh sia- sialah amal perbuatannya, dan ia di Akhirat akan tergolong orang-orang yang merugi.” (Q 5: 4-5).
Tapi Umar, seperti dalam beberapa kasus yang lain, tidak berpegang kepada makna lahiriah bunyi lafal firman itu. Suatu ketika Umar menerima surat dari Hudzaifah ibn al-Yamman, yang isinya menceritakan bahwa ia telah kawin dengan seorang wanita Yahudi di kota al-Mada’in, dan Hudzaifah meminta pendapat. Maka Umar, dalam surat jawabannya memberinya peringatan keras, antara lain dengan mengatakan: “Kuharap engkau tidak akan melepaskan surat ini sampai dia (wanita Yahudi) itu engkau lepaskan. Sebab aku kuatir kaum Muslim akan mengikuti jejakmu, lalu mereka mengutamakan para wanita Ahl al-Dzimmah (Ahl al-Kitab yang dilindungi) karena kecantikan mereka. Hal itu sudah cukup sebagai bencana bagi para wanita kaum Muslim.” Menurut jalur penuturan lain, Umar menegaskan bahwa lelaki Muslim kawin dengan wanita Ahl al-Kitab tidaklah terlarang atau haram. Ia hanya menguatirkan terlantarnya para wanita Muslimah.
Disebabkan oleh meluasnya daerah kekuasaan politik kekhalifahan Islam, dan banyaknya bangsa-bangsa bukan Muslim yang menjadi rakyat kekhalifahan itu, maka kesempatan nikah dengan wanita Kristen dan Yahudi juga menjadi terbuka lebar. Apalagi kelak, setelah Persia dibebaskan (di zaman Umar sendiri) dan Lembah Indus oleh Muhammad ibn Qasim (di zaman al-Walid ibn Abd al-Malik), konsep tentang Ahl al-Kitab diperluas meliputi kaum Majusi dan Hindu-Budha. Karena itu banyak ahli fiqh yang berpandangan bahwa konsep Ahl al-Kitab tidak terbatas hanya kepada kaum Yahudi dan Kristen saja, tetapi dapat diperluas kepada kaum Majusi atau Zoroastri (sudah sejak Umar), dan kepada kaum Hindu, Budha, Konfusianis, Taois, Shintois, dll. Sebab, seperti dikatakan oleh Abd al-Hamid Hakim, seorang tokoh terkemuka pembaruan pendidikan Islam di Sumatera Barat, asal-usul agama-agama Asia itupun adalah paham Ketuhanan Yang Maha Esa atau Tauhid, dan agama-agama itu mempunyai Kitab Suci.3
Maka apa yang dikuatirkan Khalifah sungguh-sungguh dapat menjadi kenyataan, yaitu terlantarnya kaum wanita Muslimah sendiri jika kaum lelaki Muslim diizinkan dengan bebas nikah dengan wanita Ahl al-Kitab. Sebab waktu itu kaum Muslim hanya terbatas kepada minoritas kecil para penguasa politik dan militer dan hampir terdiri hanya dari bangsa Arab saja, dan belum banyak kalangan dari bangsa lain yang memeluk Islam, sekalipun berada di negeri Islam. Meskipun ternyata larangan (sementara) Umar itu lambat laun ditinggalkan (dan bangsa Arab umumnya melakukan integrasi total dengan penduduk di mana mereka hidup sehingga lebur dengan bangsa setempat), namun kebijakan Khalifah kedua itu menjadi preseden dalam yurisprudensi Islam tentang kemungkinannya dilakukan kebijakan khusus sesuai dengan tuntutan ruang dan waktu. Jadi ada pertimbangan sisi historis dan humanis dalam menetapkan suatu hukum.
Masalah Kepentingan Umum (al-Mashlahat al-`Ammah)
Maka berdasarkan tindakan Umar itu, para ahli hukum Islam masa lalu, seperti, misalnya, Muhammad ibn al-Husain, mengatakan, “Kita ikuti pendapat Umar itu, namun kita tidak memandang perkara tersebut (lelaki Muslim kawin dengan wanita Ahl al-Kitab) sebagai terlarang. Kita hanya berpendapat hendaknya para wanita Muslim lebih diutamakan, dan itulah juga pendapat Abu Hanifah.” Kemudian Rektor Universitas al-Azhar, Dr. Abd-al-Fattah Husaini al-Syaikh, mengatakan bahwa tindakan Khalifah kedua itu menyalahi nas atau lafal Kitab Suci, juga menyalahi apa yang dilakukan sebagian para Sahabat Nabi. Sebab, selain Hudzaifah, ada beberapa tokoh Sahabat Nabi yang beristrikan wanita Ahl al-Kitab, seperti, misalnya, Utsman ibn Affan, Khalifah ketiga, yang beristrikan seorang wanita Kristen Arab, Na’ilah al-Kalbiyah, dan Thalhah ibn Ubaidillah yang beristrikan seorang wanita Yahudi dari Syam (Syria). Tetapi, kata Rektor al-Azhar lebih lanjut, Umar tidak melakukan larangan itu kecuali setelah melihat adanya hal yang kurang menguntungkan bagi masyarakat Islam. Dan Umar tidaklah mengatakannya sebagai haram-halmana tentu akan berarti menentang Hukum Allah-melainkan sekadar menjalankan suatu patokan yang sudah tetap di kalangan para ahli, bahwa pemerintah boleh melarang untuk sementara sesuatu yang sebenarnya halal jika ada faktor yang merugikan masyarakat. Tetapi jika faktor itu lenyap, maka dengan sendirinya lenyap pula alasan melarangnya.4
Karena itu ada yang mengatakan bahwa tindakan Khalifah kedua itu adalah sejenis tindakan politik (tasharruf siyasi), yang timbul karena pertimbangan kemanfaatan (expediency) menurut tuntutan zaman dan tempat. Kekhalifahan Umar adalah masa permulaan pembebasan negeri-negeri sekitar Arabia, khususnya Syria, Mesir dan Persia, yang dalam banyak hal adalah jauh lebih kaya daripada Hijaz di Jazirah Arabia. Kekayaan yang melimpah ruah secara tiba-tiba akibat banyaknya harta rampasan perang, termasuk juga wanita tawanan (yang menurut hukum perang di seluruh dunia waktu itu tawanan perang, lelaki maupun lebih-lebih lagi perempuan, adalah sepenuhnya berada di bawah kekuasaan dan menjadi “milik” perampasnya), membuat ibukota, Madinah, mengalami berbagai perubahan sosial yang besar, yang dapat menjadi sumber krisis. Maka Umar dengan berbagai kebijakannya adalah seorang penguasa yang berusaha mengurangi sesedikit mungkin efek kritis perubahan sosial itu.
Dan Umar tidak hanya menerapkan kebijakan politik melarang sementara perkawinan dengan wanita Ahl al-Kitab. Ia juga dicatat membuat deretan berbagai kebijakan “kontroversial” seperti peniadaan hukuman potong tangan bagi pencuri di masa sulit seperti paceklik; penghapusan perlakuan khusus kepada para mu’allaf; larangan berkumpul untuk selamanya bagi wanita dengan lelaki yang dikawininya pada saat menunggu (iddah), pengefektifan hukum talak tiga (talak ba’in yang dilarang rujuk) bagi orang yang menyatakan talak tiga kali kepada istrinya meskipun pernyataan itu diucapkan sekaligus dan tanpa renggang waktu; pembagian tanah-tanah pertanian di Syria dan Irak kepada penduduk setempat (tidak kepada tentera Islam seperti sebagian besar Sahabat Nabi bependapat demikian); pembagian tingkat penerimaan “ransum” (semacam gaji tetap) bagi tentera Islam berdasarkan seberapa jauh ia banyak atau kurang berjasa dalam sejarah Islam sejak zaman Nabi (padahal Abu Bakr, pendahulunya, menerapkan prinsip penyamarataan antara semuanya), dll.
Semua tindakan tersebut tidaklah dilakukan Khalifah menurut kehendak hatinya sendiri. Menurut Dr Abd al-Fattah, Khalifah dalam menetapkan kebijakan hukumnya menerapkan prinsip bahwa semua hukum agama mengandung alasan hukum (illah, ratio legis) yang harus diperhatikan dalam pelaksanaannya, sejalan dengan kepentingan umum (al-mashlahat al-ammah) dan sesuai dengan tanggung jawab seorang penguasa dan pelaksana hukum bersangkutan.5 Dan meskipun, sebagai misal, Umar berbeda dari Abu Bakr dalam kebijakannya tentang penyamarataan atau pembedaan besarnya jumlah ransum tentera, namun kedua-duanya bermaksud membela keadilan. Abu Bakr berpendapat bahwa keadilan terwujud dengan penyamarataan antara semua tentera Islam, tanpa memandang masa lampau mereka. Sebaliknya Umar justru berpendapat akan tidak adil jika masa lalu masing-masing tentera itu diabaikan, padahal sebagian dari mereka benar-benar jauh lebih berjasa daripada sebagian yang lain. Rasa keadilan mengatakan bahwa orang yang berbuat lebih banyak tentunya juga harus mendapatkan balas jasa dan penghargaan lebih banyak.
Masalah Historis Ajaran Keagamaan
Itulah wujud contoh apa yang dikemukakan di atas, yaitu bahwa masalah penarikan atau pengangkatan makna umum (generalisasi) suatu nilai hukum akan menyangkut masalah penafsiran dan kemampuan memahami lebih mendalam inti pesan yang dikandungnya. Dan karena kemampuan itu dapat berbeda-beda antara berbagai pribadi, maka hasilnya pun dapat berbeda-beda pula. Yang jelas ialah, seperti dikatakan Rektor al-Azhar, pendirian Abu Bakr dan Umar membuktikan bahwa yang dituju oleh hukum ialah makna atau pesan yang dikandungnya (al-ahkâm turadu li ma aniha).6 Ini membawa kita kembali kepada polemik sekitar kiblat salat yang telah dikemukakan di atas. Yaitu bahwa kiblat, dalam arti wujud fisiknya yang menyangkut formalitas penghadapan wajah ke suatu arah tertentu, tidaklah dimaksudkan pada dirinya sendiri, melainkan dimaksudkan maknanya. Dan karena lebih penting daripada formalitas, maka makna tidak boleh ditinggalkan, sementara formalitas dalam keadaan tertentu boleh ditinggalkan. Konsep Asbabun Nuzul mempunyai kaitan yang erat dengan konsep lain yang juga amat penting, yaitu nasikh-mansukh, berkenaan dengan sumber-sumber pengambilan ajaran agama, baik Kitab maupun Sunnah. Konsep itu, seperti yang pandangan teoretisnya dikembangkan oleh para ahli fiqh dengan kepeloporan Imam al-Syafi’i, menyangkut masalah adanya bagian tertentu dari al-Qur’an ataupun hadis yang “dihapus” (mansukh) dan yang “menghapus” (nasikh).7 Meskipun teori “hapus-menghapuskan” ini tidak lepas dari kontroversi, namun sebagian besar ulama menganutnya, dengan perbedaan di sana-sini dalam hal materi mana yang menghapus dan mana pula yang dihapus. Yang jelas ialah bahwa dalam kaitannya dengan konsep tentang Asbabun Nuzul, konsep nasikh-mansukh juga mengandung kesadaran historis di kalangan para ahli hukum Islam. Adalah kesadaran historis ini, menurut Hodgson, yang menjadi salah satu tumpuan harapan bahwa Islam akan mampu lebih baik dalam menjawab tantangan zaman di masa depan. Kata Hodgson, dalam ikut berharap bahwa umat Islam akan akhirnya sangat mampu menjawab tantangan zaman:
Tetapi barangkali modal potensial terbesar Islam yang paling hebat ialah kesadaran historisnya yang jelas, yang sejak dari semula mempunyai tempat begitu besar dalam dialognya. Sebab, kesediaan mengakui dengan sungguh-sungguh bahwa tradisi agama terbentuk dalam waktu, dan selalu mempunyai dimensi historis, membuat agama itu mampu menampung ilham baru apapun ke dalam realita dari warisan dan dari titik tolak mulanya yang kreatif, yang dapat terjadi lewat penelitian ilmiah atau pengalaman ruhani baru. Al-Syafi`i membawa ke depan kecenderungan yang sudah ada secara laten dalam karya (Nabi) Muhammad sendiri ketika ia menekankan pemahaman al-Qur’an secara benar-benar kongkret dalam interaksi historisnya dengan kehidupan Nabi Muhammad dan masyarakat beliau. Ia (al-Syafi’i) melakukan hal ini memang tanpa ketepatan sejarah tertentu, tetapi itu bukanlah maksudnya yang semula; dan meskipun oleh kaum Muslim kemudian hari kajian yang jujur tentang kenyataan sejarah masa silam Islam ditukar dengan gambaran stereotipikal dan berang, namun mereka tidak pernah mengingkari prinsip bahwa ketepatan historis adalah fondasi semua pengetahuan keagamaan.8
Sekarang bandingkan ungkapan Hodgson itu dengan yang dapat kita baca dalam sebuah kitab klasik, yaitu kitab Muhyi al-Din ibn al-Arabi, Fushûsh al-Hikam, dalam syarah oleh al-Syaikh Abd al-Razziq al-Qasyani. Dalam kitab ini dijelaskan tentang adanya konteks sejarah bagi ajaran agama-agama sehingga menghasilkan manifestasi lahiriah yang berbeda-beda. Padalah inti semua agama yang benar, sepanjang ajaran al-Qur’an, adalah sama, yaitu ajaran tentang pasrah kepada Allah (islâm) berdasarkan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa (tawhîd).9 Dalam syarah Fushûsh al-Hikam diuraikan sebagai berikut:
Jika cara turunnya ajaran ke dalam jiwa para Nabi itulah yang dimaksud dengan kesatuan cara diturunkannya semua ajaran (dari Tuhan), lalu mengapa agama para Nabi itu berbeda-beda? Jawabnya ialah, karena terdapat perbedaan kesiapan antara berbagai ummat maka berbeda pula bentuk- bentuk jalan tauhid dan bagaimana jalan itu ditempuh, sementara maksud, tujuan dan hakikat metode itu semuanya satu, seperti jari-jari yang menghubungkan garis luar lingkaran dengan titik pusat lingkaran itu. Jari-jari tersebut merupakan jalan yang bebeda-beda menurut perbedaan garis yang menghubungkan antara titik pusat lingkaran itu dengan setiap titik yang ditentukan pada garis lingkar luarnya. Sama juga dengan cara pengobatan yang berbeda-beda oleh satu orang dokter untuk penyakit yang berbeda-beda, namun tujuannya adalah satu, yaitu kesehatan, dan semua cara pengobatan itu sebagai cara menyingkirkan penyakit dan mengembalikan kesehatan adalah satu. Maka begitu pula cara turunnya ajaran kepada para Nabi adalah satu, dan tujuannya ialah hidayah ke arah Kebenaran. Jadi jalan tauhid pun satu, tetapi perbedaan kesiapan ummat manusia mengakibatkan perbedaan agama dan aliran. Sebab perbaikan setiap ummat adalah dengan menghilangkan keburukan yang khusus ada padanya, dan hidayah mereka bersumber dari berbagai sentra dan martabat yang berbeda-beda menurut tabiat dan kejiwaan mereka.10
Pendekatan historis ini tidaklah berarti relativisasi total ajaran agama dan sikap yang memandangnya sebagai tidak lebih daripada produk pengalaman sejarah belaka. Justru dalam penegasan tentang kesatuan agama para Nabi terkandung makna yang tegas bahwa ada sesuatu yang benar-benar universal dalam setiap agama dan menjadi titik pertemuan antara semua agama. Dan karena yang universal ini tidak terikat oleh ruang dan waktu, maka dapat disebut “tidak historis”.
Tetapi masalahnya tetap sama, yaitu bagaimana menangkap pesan inti yang universal itu, yang tidak tergantung kepada konteks, juga tidak kepada suatu sebab khusus dari Asbabun Nuzul munculnya suatu ajaran atau hukum. Maka banyak para ahli yang akhirnya sampai kepada persoalan bahasa: bagaimana kita mempersepsi suatu ungkapan linguistik untuk dapat melalukan generalisasi tinggi dari makna immediate-nya ke makna universalnya. Berkaitan dengan ini, penting sekali memahami penegasan dalam Kitab Suci bahwa Allah tidak mengutus seorang Rasul pun kecuali dengan bahasa kaumnya (Q 14: 4). Maka meskipun bahasa para Nabi itu bermacam-macam, namun tujuan dan makna risalah mereka semua saja. Hal yang sudah amat jelas ini perlu dipertegas, agar kita waspada jangan sampai kita terkungkung oleh lingkaran kebahasaan semata dan terjerumus ke dalam sikap mental seolah-olah suatu nilai akan kehilangan kebenarannya jika tidak dinyatakan dalam bahasa tertentu atau ungkapan kebahasaan tertentu yang dianggap suci. Bahasa termasuk kategori historis, dan kesadaran kebahasaan akan dengan sendirinya menyangkut kesadaran historis. Tentang hal ini, keterangan yang cukup baik diberikan oleh Ibn Taimiyah, demikian:
Jadi diketahui bahwa Tuhan mengajari jenis manusia agar mengungkapkan apa yang dikehendaki dan digambarkan dalam benaknya dengan bahasanya. Dan yang pertama mengetahui hal itu ialah bapak mereka, yaitu Adam, dan ummat manusia pun kemudian mengetahui seperti Adam mengetahui, meskipun bahasa mereka berbeda-beda. Allah telah memberi wahyu kepada Musa dalam Bahasa Ibrani (Hebrew) serta kepada Muhammad dalam Bahasa Arab, dan semuanya itu adalah Sabda (Kalam) Allah, dan dengan Sabda itu Allah menjelaskan apa yang dikehendaki dari makhluk-Nya dan apa perintah-Nya, meskipun bahasa itu berlainan. Padahal Bahasa Ibrani adalah paling dekat ke Bahasa Arab, sedemikian dekatnya sehingga kedua bahasa itu lebih dekat daripada bahasa bukan Arab (Ajam) satu dari yang lain.11
Namun masalah kebahasaan mungkin akan ternyata tidak terbatas hanya kepada segi linguistiknya semata, tetapi juga segi kulturalnya. Misalnya, jika dalam al-Qur’an disebutkan bahwa Allah menciptakan tujuh lapis langit (Q 67: 3), terdapat kemungkinan bahwa “tujuh lapis langit” adalah bahasa kultural (yang historis), karena kosmologi yang umum saat itu, khususnya sekitar Timur Tengah, memang mengenal adanya konsep demikian. Dan jika masalah kebahasaan menyangkut pula segi kultural ini, maka konsep Asbabun Nuzul dapat diperluas sehingga tidak hanya menyangkut sebuah ayat tertentu saja misalnya, melainkan menyangkut seluruh Kitab Suci itu seutuhnya; dan tidak hanya berkaitan dengan kasus spesifik dalam kehidupan Nabi dan masyarakat beliau saat itu, tetapi meliputi seluruh kondisi kultural dunia, khususnya Timur Tengah, lebih khusus lagi Jazirah Arabia sebagai “situs” langsung wahyu Allah kepada Nabi Muhammad. Karena itu, dari sudut pendekatan historis dan ilmiah kepada wahyu Tuhan, sebagai kelanjutan dan pengembangan ide Imam al-Syafi`i, kita tidak hanya akan mendapat manfaat dari pengetahuan tentang Asbabun Nuzul saja, tetapi juga dari pengetahuan yang lebih menyeluruh tentang pola budaya Arabia dalam sejarahnya yang panjang, sebelum Islam, semasa Nabi, dan (bagi kita sekarang) sesudah Islam. Maka dari sudut ini sungguh besar harapan kita kepada kegiatan penelitian ilmiah di bidang kultural yang mulai tumbuh di Jazirah Arabia. Terutama kegiatan arkeologis yang baru-baru ini secara spektakuler, berkat teknologi satelit, berhasil menemukan kota kuna Ubar (Iram) yang didirikan oleh Syaddad ibn `Ad hampir empat ribu tahun yang lalu. Jika benar temuan itu maka kita akan lebih mampu memahami penuturan al-Qur’an (87: 6-8) tentang kaum `Ad dan pesan suci di balik penuturan itu.12
Catatan:
1. Ahmad von Denffer, `Ulum al-Qur’an, an Introduction to the Sciences of the Qur’an (London: The Islamic Foundation, 1985), hh. 92-3.
2. Adanya beberapa versi ini dapat dilihat dalam Al-Wahidi al-Nisaburi, Asbab al-Nuzul, Kairo, 1968, h. 4.
3. Abd al-Hamid Hakim, Al-Mu’in al-Mubin, 4 jilid (Bukittinggi: Nusantara, 1955 M/1374 H), jil. 4, h. 48.
4. Lihat pembahasan masalah ini lebih jauh dalam Abd al-Fattah, Tarikh al-Tasyri al-Islami (Kairo: Dar al-Ittihad al-Arabi, 1990), hh. 161, 177, dan 185).
5. Ibid., h. 175.
6. Ibid., h. 177.
7. Lihat pembahasan cukup panjang lebar pada bagian-bagian yang relevan buku Imam al-Syafi`i, Al-Risalah (Kairo: Markaz al-Ahram, 1988), hh. 96-114 dan 170-176. (Buku ini sudah diterjemahkan ke bahasa kita).
8. Marshall G. S. Hodgson, The Venture of Islam, 3 jilid (Chicago: The University of Chicago Press, 1974), jil. 3, h. 437.
9. Lihat penjelasan tentang makna generik atau mutlak kata-kata Arab “islam” dalam Ibn Taimiyah, al-Iman (Kairo: Dar al-Thiba`ah al-Muhammadiyah, tt), hh. 223-4.
10. Al-Syaikh Abd-al-Razzaq al-Qasyani, Syarah Fushûsh al-Hikam (kitab Muhyi al-Din ibn al-Arabi), (Kairo: Mushthafa al-Babi al-Halabi, 1987), h. 8.
11. Ibn Taimiyah, op. cit., h. 82.
12. Lihat berita arkeologis penting ini dalam TIME, 17 Feb. 1992, h. 30
Dalam surat al-Qadr disebutkan bahwa Allah menurunkan al-Qur’an itu pada saat Lailatul Qadr (Laylat al-Qadr). Di tempat lain ada keterangan bahwa Allah menurunkannya di hari yang menentukan, istilahnya yawm-a ‘l-furqân, yaitu ketika dua musuh berhadapan (yawm-a ‘l-taqâ ‘l-jam`ân), dalam hal ini yang dimaksud adalah kelompok kaum beriman dipimpin oleh Nabi saw. dan kelompok kaum musyrik dari Makkah dalam perang Badar. Disebut yawm-u ‘l-furqân, karena sangat menentukan jalannya sejarah Islam, sejarah Nabi sendiri, dan dengan demikian sejarah umat manusia.
Berdasarkan itu maka rupanya ada ijtihad di Indonesia bahwa Nuzulul Qur’an itu tanggal 17 Ramadan. Ini jelas merupakan suatu hal yang sangat baik, yang pertamakali dicetuskan oleh, kalau tidak salah, H. Agus Salim, dan disetujui oleh Bung Karno waktu itu. Jadi suatu kebetulan yang luar biasa, dan dalam kadar tertentu 17 Ramadan itu mempunyai nilai “mistik”, karena ada koinsidensinya dengan 17 Agustus, atau sebaliknya. Kita sebut kebetulan, karena sebetulnya peristiwa itu tidak bisa kita terangkan (maka dari sudut manusia disebut kebetulan [koinsidensi]). Tetapi kalau dari sudut Allah barangkali itu suatu rencana. Dan memang tidak sedikit kejadian-kejadian yang besar di dunia ini dimulai dengan (seolah-olah suatu) kebetulan-kebetulan. Misalnya, Nabi Ibrahim sampai ke Makkah yang di situ adalah rumah Tuhan yang pertama yang didirikan oleh Nabi Adam. Itu sebenarnya karena kebetulan ia mengantarkan anaknya Ismail dari ibunya Hajar yang diusir oleh Sarah. Karena diusir mereka ke sana dengan dibimbing oleh Allah. Jadi tentu perkataan “kebetulan” itu dari sudut pandang manusia, tetapi dari sudut pandang Allah itu semacam skenario, bahkan “grand design”.
Tradisi memperingati Nuzulul Qur’an pada tanggal 17 Ramadan bertepatan dengan 17 Agsutus itu kita sebut hal yang sangat baik dan terpuji, karena akan mengingatkan kita pada nilai-nilai spiritual di mana Tuhan seakan-akan ikut ambil bagian atau melakukan intervensi (dalam arti positif) terhadap jalannya sejarah bangsa kita. Karena itu pula tampaknya peristiwa tersebut ditradisikan, bahkan dilembagakan menjadi peristiwa nasional tahunan, yang peringatannya dilaksanakan di Masjid Istiqlal (yang juga merupakan simbol kemerdekaan bangsa kita), dan dihadiri oleh para pejabat tinggi negara. Tentu saja di luar pelaksanaan yang semi-formal kenegaraan itu, umat Islam di seluruh pelosok tanah air juga memperingati Nuzulul Qur’an dengan cara mereka sendiri-sendiri. Peristiwa Nuzulul Qur’an atau turunnya kitab suci al-Qur’an telah ikut menambah sakralnya bulan Ramadan. Sebab al-Qur’an itu tidak lain adalah sumber pandangan hidup kaum Muslim. Para mubaligh yang berceramah dalam peringatan Nuzulul Qur’an biasanya juga tidak lupa menguraikan hikmah dan makna al-Qur’an dalam kehidupan umat Islam.
Kalau kita perhatikan makna katanya, nuzûl itu berarti turun. Dari kata itu sudah bisa diambil suatu metafor tentang makna yang terkandung di dalam pengertian “turun” dalam konteks turunnya al-Qur’an. Tidak perlu kita membayangkan bahwa al-Qur’an-lebih-lebih dengan wujudnya yang kita kenal sekarang-itu turun dalam arti fisik dan diterima oleh Muhammad dengan kedua tangannya. Nuzulul Qur’an atau turunnya al-Qur’an itu mengandung pengertian adanya suatu proses historis di mana wahyu Allah berinteraksi dengan kehidupan manusia di bumi. Jadi, meskipun wahyu Allah itu bersifat metafisis, ia diturunkan untuk meresponi, menjawab, dan memberi tuntunan bagi manusia dalam kehidupannya.
Dalam bahasa lain, wahyu Allah tidak turun di ruangan hampa, melainkan dalam realitas kehidupan manusia yang nyata. Itulah sebabnya dalam wacana akademis Islam kita mengenal istilah Asbabun Nuzul (Asbâb al-Nuzûl), yakni sebab-sebab turunnya wahyu tertentu. Hal itu menunjukkan tentang adanya situasi atau konteks tertentu diwahyukannya suatu firman. Beberapa di antaranya bahkan dapat langsung disimpulkan dari lafal teks firman bersangkutan. Misalnya, lafal permulaan ayat pertama surat al-Anfâl menunjukkan dengan jelas bahwa firman itu diturunkan kepada Nabi saw untuk memberi petunjuk kepada beliau mengenai perkara yang ditanyakan orang tentang bagaimana membagi harta rampasan perang. Atau seperti surat al-Masad (“Tabbat”), adalah jelas turun dalam kaitannya dengan pengalaman Nabi yang menyangkut seorang tokoh kafir Quraisy, paman beliau sendiri, yang bernama atau dipanggil Abû Lahab, beserta istrinya. Demikian juga, dari lafal dan konteksnya masing-masing dapat diketahui dengan jelas sebab-sebab turunnya surat Abasa, ayat tentang perubahan bentuk rembulan (al-ahillah) dalam surat al-Baqarah/2:189, dan lain sebagainya.
Berbicara tentang Nuzulul Qur’an biasanya asosiasi banyak orang adalah turunnya wahyu pertama kepada Nabi Muhammad saw, yang menurut para ulama adalah surat al-Alaq, terutama lima ayat yang pertama. Peristiwanya sendiri terjadi ketika Nabi sedang ber-khalwat di Gua Hira. Dalam suatu firman ditegaskan bahwa al-Qur’an itu diturunkan pada bulan Ramadan (Q 2: 185). Para ulama memperhitungkan saat turunnya al-Qur’an itu adalah pada malam-malam ganjil dalam sepuluh hari terakhir bulan Ramadan, saat-saat yang juga banyak dinanti oleh kaum Muslim karena dipercaya akan datangnya Lailatul Qadr (Laylat al-Qadr). Karena itu Nuzulul Qur’an juga selalu dikaitkan dengan Lailatul Qadr (lihat artikel dan dialog mengenai ini pada bab III-peny.). Yang ingin ditekankan di sini adalah bahwa di antara berbagai keistimewaan al-Qur’an, selain yang sering disampaikan dalam ceramah Nuzulul Qur’an, adalah bahwa proses turunnya itu membutuhkan waktu yang lama, bertahap, tidak sekaligus. Hal ini mengandung hikmah bahwa wahyu Allah itu sebagai sesuatu yang pada mulanya bersifat metahistoris kemudian turun mengalami apa yang tadi disebut sebagai proses historis; ia berinteraksi dan memberi respons serta jawaban terhadap permasalahan yang muncul di tengah-tengah kehidupan umat manusia, karena itu proses turunnya wahyu dalam bentuk yang lengkap seperti sekarang ini (al-Qur’an) membutuhkan waktu yang cukup lama, yakni sampai menjelang wafatnya Nabi saw.
Tentu saja kita meyakini bahwa wahyu Allah dalam bentuk al-Qur’an itu bersifat universal (melintasi zaman dan tempat), tetapi turunnya wahyu itu sendiri bersifat kontekstual. Masalah kemudian adalah bagaimana kita melakukan generalisasi terhadap suatu firman sehingga bisa mengatasi situasi konkretnya dan menjadi suatu pengertian yang umum. Masalah inilah yang menjadi bahasan dalam apa yang disebut Asbabun Nuzul (sebab-sebab turunnya wahyu). Untuk melengkapi diskusi kita, dalam bagian berikut kita akan membahas juga apa itu Asbabun Nuzul dan apa hikmahnya bagi kita sekarang.
SEBAB-SEBAB TURUNNYA AYAT AL-QUR’AN
Pengetahuan tentang sebab-sebab turunnya wahyu atau Asbabun Nuzul akan membantu seseorang memahami konteks diturunkannya sebuah ayat suci. Dan di antara hal-hal yang dapat dengan jelas menjadi petunjuk tentang sebab turunnya sebuah ayat suci ialah jika dimulai dengan ungkapan dialogis, seperti “Mereka bertanya kepadamu (Nabi)”, “Katakan kepada mereka”, dll. Juga jika di situ disebutkan nama pribadi orang seperti, sudah dikemukakan di atas, nama Abu Lahab, dan juga Zaid (ibn Haritsah). Konteks turunnya ayat suci akan memberi kejelasan tentang implikasi sebuah firman, dan memberi bahan untuk melakukan penafsiran dan pemikiran tentang bagaimana mengaplikasikan firman itu dalam situasi yang berbeda. Dengan mengutip berbagai sumber otoritas dalam bidang ini, Ahmad von Denffer memberi rincian arti penting bagi pengetahuan tentang Asbabun Nuzul, khususnya mengenai ayat-ayat hukum, sebagai berikut:
Makna dan implikasi langsung dan segera terpahami (muhadir, immediate) dari sebuah firman, sebagaimana hal itu dapat dilihat hari konteks aslinya.
Alasan mula pertama yang mendasari suatu ketetapan hukum.
Maksud asal sebuah ayat.
Menentukan apakah makna sebuah ayat mengandung terapan yang bersifat khusus atau bersifat umum, dan kalau demikian, dalam keadaan bagaimana makna itu dapat atau harus diterapkan.
Situasi historis pada zaman Nabi dan perkembangan komunitas Muslim. Sebagai sebuah contoh ialah firman Allah, “Kepunyaan Allah-lah timur dan barat; maka ke manapun kamu menghadapkan wajahmu, di sanalah Wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Meliputi dan Maha Tahu” (Q 2:115). Firman ini turun kepada Nabi berkaitan dengan adanya peristiwa yang dialami sekelompok orang beriman yang mengadakan perjalanan di malam hari yang gelap gulita. Pada pagi harinya mereka baru menyadari bahwa semalam mereka bersembahyang dengan menghadap ke arah yang salah, tidak ke kiblat. Kemudian mereka bertanya kepada Nabi berkenaan dengan apa yang mereka alami itu. Maka turunlah ayat suci itu, yang menegaskan bahwa ke manapun seseorang menghadapkan wajahnya, ia sebenarnya juga menghadap Tuhan, karena Tuhan tidak terikat oleh ruang atau waktu, sehingga Tuhan pun “ada di mana-mana, timur atau pun barat.” Tetapi karena konteks turunnya firman itu bersangkutan dengan peristiwa tertentu di atas, tidaklah berarti bahwa dalam sembahyang seorang Muslim dapat menghadap ke manapun ia suka. Ia harus menghadap ke kiblat yang sah, yaitu arah al-Masjid al-Haram di Makkah. Tetapi ia dibenarkan menghadap ke mana saja dalam salat jika ia tidak tahu arah yang benar, atau kalau karena kondisi tertentu tidak mungkin baginya menghadap ke arah yang benar.1
Sumber Berita tentang Asbabun Nuzul
Sumber pengetahuan tentang Asbabun Nuzul diperoleh dari penuturan para Sahabat Nabi. Nilai berita itu dengan sendirinya sama dengan nilai berita-berita lain yang menyangkut Nabi dan kerasulan beliau, yaitu berita-berita hadis. Karena itu tersangkut pula persoalan kuat dan lemahnya berita itu, shahih dan dlaif-nya, serta otentik dan palsunya. Semuanya ini menjadi wewenang cabang ilmu kritik Hadis (ilmu tarjih dan ta`dil) para ahli. Dan seperti halnya persoalan hadis pada umumnya, penuturan atau berita tentang suatu sebab turunnya wahyu tertentu juga dapat beraneka ragam, sejalan dengan keanekaragaman sumber berita. Maka tidak perlu lagi ditegaskan bahwa informasi-informasi yang ada harus dipilih dengan sikap kritis.
Sebagai misal ialah berita tentang sebab turunnya firman yang dikutip di atas. Berdasarkan penurutan Jabir ibn Abdillah, al-Wahidi al-Nisaburi menerangkan tentang adanya beberapa versi lain tentang sebab turunnya firman tersebut, sehingga aplikasinya juga dapat menyangkut beberapa situasi yang berbeda. Pertama, berdasarkan penuturan Abdullah ibn Umar, seseorang boleh melakukan salat sunnat menghadap ke mana saja di atas kendaraannya, dan hanya salat sunnat saja. Tapi firman itu juga menegaskan bahwa sembahyang menghadap ke manapun, dalam keadaan darurat, apalagi jika sembahyang itu bukan sembahyang wajib, melainkan sunnat, tidaklah menjadi persoalan. Sebab yang penting ialah nilai salat itu sendiri sebagai tindakan mendekatkan diri kepada Allah dan mengasah jiwa untuk lebih bertakwa kepada-Nya. Menghadap kiblat yang telah ditentukan, yaitu Masjid Haram di Makkah, sekalipun dalam keadaan normal diwajibkan, tidaklah menyangkut nilai sebenarnya salat itu. Kiblat itu hanya sebagai lambang orientasi hidup yang benar dan konsisten serta kesatuan orientasi itu antara seluruh umat Islam sedunia. Kita mengetahui sendiri betapa efektifnya simbolisasi kiblat ini, dengan dampak kesamaan yang menakjubkan antara seluruh kaum Muslim di muka bumi dalam hal peribadatan. Kalangan bukan Islam biasanya merasa heran, mungkin tidak akan dapat mengerti, mengapa terdapat kesamaan yang sedemikian besar dan jauh antara umat Islam seluruh dunia dalam hal salat dan bidang peribadatan yang lain. (Dalam agama lain, perbedaan akan sangat terasa dari sekte ke sekte yang lain, juga dari bangsa atau negeri ke bangsa atau negeri lain meskipun dari satu sekte).
Walaupun kiblat sebagai lambang persatuan dan kesamaan itu sedemikian pentingnya, namun berdasarkan firman Allah yang menengaskan bahwa ke manapun kita menghadapkan wajah kita maka di sanalah Wajah Allah, tidaklah dibenarkan adanya tekanan yang serba mutlak atas kewajiban menghadapkan wajah ke Makkah, sebab tekanan serupa itu akan membawa kepada sikap lebih mementingkan lambang atau simbul daripada isi atau makna. Meskipun lambang dan makna harus ada secara serentak, namun dari ayat suci itu jelas sekali bahwa segi makna adalah lebih penting daripada segi lambang.
Seterusnya, pandangan lain, berdasarkan penuturan Abdullah ibn Abbas, ayat suci di atas itu turun berkenaan dengan adanya pertanyaan kepada Nabi, mengapa mereka diperintahkan untuk melakukan salat janazah bagi Raja Najasyi (Negus) dari Abessinia (Habasyah, Ethiopia), yang semasa hidupnya (sebagai seorang Kristen) bersembahyang menghadap kiblat yang berbeda dengan kiblat mereka sendiri, kaum Muslim. Najasyi adalah raja Habasyah yang besar sekali jasanya kepada Nabi, kaum Muslim, dan agama Islam, karena perlindungan yang diberikannya kepada para pengikut Nabi yang berhijrah ke negeri itu untuk menghindar dari penganiayaan kaum musyrik Makkah.
Perlakuannya yang amat simpatik kepada kaum Muslim dan sikapnya yang penuh pengertian kepada ajaran Islam menyebabkan turunnya firman Allah yang lain, yang menegaskan bahwa sedekat-dekat ummat manusia dalam rasa cintanya kepada kaum Muslim ialah “mereka yang berkata, ‘Kami adalah orang-orang Nasrani’” (Q 5: 82). Dan Nabi dalam memerintahkan para Sahabat beliau untuk melakukan salat jenazah bagi Najasyi menggambarkan raja Habasyah itu sebagai “saudara” kaum beriman. Dari balik pertanyaan sementara Sahabat di atas itu dapat diketahui dengan jelas bahwa sekalipun Najasyi adalah seorang Kristen, namun Nabi memerintahkan mereka untuk berdoa baginya, mengingat jasa-jasanya yang besar itu. Dan firman Allah yang terkait itu, menurut versi penuturan Asbabun Nuzul ini, menegaskan bahwa masalah ke mana orang menghadap dalam sembahyangnya bukanlah perkara penting. Yang penting ialah sikap batin yang ada dalam dada. Sebab, seperti difirmankan di tempat lain, setiap kelompok manusia mempunyai arah (wijhah) ke mana mereka menghadap atau berorientasi. Dan ummat manusia dalam orientasi yang berbeda-beda itu hendaknya berlomba menuju kepada berbagai kebaikan, tanpa terlalu banyak mempersoalkan perbedaan antara mereka. Lengkapnya, firman Allah itu, terjemahnya, kurang lebih adalah demikian:
Dan bagi setiap (kelompok manusia) ada arah (wijhah) yang kepadanya kelompok itu menghadap. Maka berlomba-lombalah kamu sekalian untuk berbagai kebaikan. Di (kelompok) manapun kamu berada, Allah akan mengumpulkan kamu semua. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu" (Q 2: 148).
Jadi firman Allah tentang "timur dan barat" tersebut di atas mempunyai kemungkinan implikasi dan aplikasinya yang luas.
Versi ketiga tentang sebab turunnya firman itu menyangkut kaum Yahudi Madinah. Menurut penuturan ibn Abi Thalhah, ketika Nabi dengan izin Allah mengubah kiblat sembahyang dari ke arah Yerusalem menjadi ke arah Makkah, kaum Yahudi bertanya-tanya, mengapa ada perubahan yang mengesankan sikap tidak teguh dalam beragama serupa itu?! Maka firman Allah tersebut dimaksudkan untuk menampik ejekan kaum Yahudi dan menegaskan bahwa perkara arah menghadap dalam sembahyang bukanlah sedemikian prinsipilnya sehingga harus dikaitkan dengan persoalan nilai keagamaan yang lebih mendalam seperti keteguhan atau konsistensi (istiqamah) sebagai ukuran kesejatian dan kepalsuan. Sebab akhirnya semua penjuru angin, seperti barat dan timur, adalah milik Allah semata, tanpa kelebihan nilai salah satu atas yang lain.2
Berkenaan dengan masalah itu bahkan turun firman yang menegaskan bahwa kebaikan tidaklah diperoleh hanya karena menghadapkan muka ke arah timur atau pun barat, melainkan karena hal-hal yang lebih sejati seperti iman kepada Allah yang selalu hadir (omnipresent) dalam hidup manusia sehari-hari, percaya kepada adanya pertaggungjawaban pribadi mutlak di Hari Kemudian (Akhirat), dan berbuat kepada sesama manusia dan makhluk untuk dibawa ke Hadirat Tuhan di Akhirat nanti. Lengkapnya, firman berkenaan dengan masalah kiblat ini, terjemahnya adalah demikian: Bukanlah kebaikan itu bahwa kamu menghadapkan wajahmu ke arah timur atau barat. Tetapi kebaikan ialah jika orang beriman kepada Allah, Hari Kemudian, para Malaikat, Kitab Suci, dan para Nabi; dan jika orang mendermakan hartanya, betapapun cintanya kepada harta itu, untuk kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, orang terlantar di perjalanan, para peminta-minta dan guna membebaskan budak; juga jika orang menegakkan sembahyang dan mengeluarkan zakat; serta mereka yang menepati janji jika mereka berjanji, dan yang tabah dalam menghadapi penderitaan dan kesusahan, serta dalam masa-masa sulit. Mereka itulah orang-orang yang benar (sejati dalam kebaikan), dan mereka itulah orang-orang yang bertaqwa (Q 2: 177). Para ulama telah menuangkan masalah Asbabun Nuzul ini dalam berbagai karya ilmiah yang kini menjadi rujukan para ahli.
Implikasi Asbabun Nuzul
Salah satu masalah yang banyak dibahas oleh para ahli agama, khususnya segi-segi tertentu ajaran agama di bidang hukum, ialah sejauh mana nilai atau ketetapan hukum dalam Islam ditentukan oleh keadaan ruang dan waktu. Para ahli fiqih sepakat bahwa hukum berubah menurut perubahan zaman dan tempat. Kaidah mereka mengatakan, “Taghayyur al-ahkâm bi taghayyur al-zamân wa al-makân” (Perubahan hukum oleh perubahan zaman dan tempat). Tetapi mereka berselisih tentang batas terjauh dibenarkannya perubahan itu.
Asbabun Nuzul menunjukkan banyaknya kasus suatu nilai ajaran atau hukum diwahyukan kepada Nabi dalam kaitannya dengan peristiwa nyata tertentu yang menyangkut Nabi dan masyarakat Islam di zaman beliau. Telah dikemukakan adanya nama pribadi Zaid yang tersebutkan dalam al-Qur’an. Suatu peristiwa pribadi, berupa perceraian Zaid (“ibn Muhammad”) dari istrinya, Zainab, telah menjadi titik tolak ditetapkannya suatu hukum Tuhan tentang pembatalan atau penghentian makna kehukuman (legal significance) praktek pengambilan anak angkat (tanpa memelihara atau mempertahankan adanya informasi tentang siapa ayah-ibu biologis anak itu). Pembatalan ini dipertegas dengan contoh nyata, yaitu dinikahkannya Nabi oleh Allah dengan Zainab, bekas menantu angkatnya. Kemudian Zaid pun tidak lagi menyandang nama “ibn Muhammad”, tapi dikembalikan kepada nama aslinya menurut nama ayah biologisnya, yaitu “ibn Haritsah”. Firman Allah yang menyangkut Zaid dan Zainab itu demikian:
Dan ingatlah tatkala engkau (Nabi) berkata kepada dia (Zaid) yang Allah telah mengaruniainya kebahagiaan dan engkaupun telah pula memberinya kebahagiaan, “Pertahankanlah istrimu (Zainab) dan bertakwalah kepada Allah,” namun engkau sendiri (Nabi) merahasiakan apa yang ada dalam dirimu yang Allah akan memperlihatkannya, dan engkau (Nabi) takut kepada sesama manusia padahal Allah lebih patut engkau takuti; maka setelah putus Zaid untuk bercerai dari dia (isterinya), Kami (Allah) nikahkan engkau (Nabi) dengan dia (Zainab), agar tidak lagi ada halangan bagi kaum beriman untuk (kawin dengan bekas) isteri anak- anak angkat mereka, jika mereka (anak-anak angkat) itu telah putus menceraikan isteri-isteri mereka. Dan perintah Allah haruslah terlaksana. Tidak sepatutnya bagi Nabi ada asa enggan mengenai apa yang diwajibkan Allah kepadanya, sesuai dengan Sunnah (Hukum) Allah pada mereka yang telah lewat sebelumnya. Dan perintah Allah adalah sesuatu yang amat pasti. Mereka (yang telah lalu sebelumnya) itu adalah orang-orang yang menyampaikan risalat (pesan-pesan suci) Allah; mereka takut kepada-Nya, dan tidak takut kepada seorangpun selain Allah. Cukuplah Allah sebagai penghitung. Muhammad bukanlah ayah seseorang (tanpa kaitan keorangtuaan biologis) di antara kamu, melainkan dia adalah Rasul Allah dan Penutup para Nabi. Allah Maha Tahu akan segala sesuatu. (Q 33: 37-40).
Jadi firman itu memang turun kepada Nabi berkenaan dengan suatu peristiwa kongkret yang menyangkut sepasang suami istri. Dapat dilihat bahwa dalam peristiwa Zaid dan Zainab dan yang “ditangani” langsung oleh Kitab Suci itu terdapat kaitan antara suatu nilai hukum kulli (universal), yaitu pembatalan makna legal praktek mengangkat anak, dengan sebuah kasus juz’i (partikular), yaitu perceraian Zaid dari Zainab dan perkawinan Nabi dengan Zainab, bekas “menantu”-nya. Masalah selanjutnya yang lebih esensial ialah, bagaimana suatu nilai dari sebuah kasus dapat ditarik pada dataran generalitas yang setinggi-tingginya sehingga nilai itu tidak lagi terikat oleh kekhususan peristiwa asal-mulanya dan dapat diberlakukan pada kasus-kasus lain di semua tempat dan sepanjang masa (dan inilah makna universalitas suatu nilai).
Para ahli hukum Islam telah membuat patokan untuk masalah ini, dengan kaidah mereka, “Pengambilan makna dilakukan berdasarkan generalitas lafal, tidak berdasarkan partikularitas penyebab” (Al-ibrah bi umûm al-lafdh, lâ bi khushûsh al-sabab). Tetapi sebuah generalisasi hanya dapat dilakukan jika inti pesan suatu firman dapat ditangkap. Ini dengan sendirinya menyangkut masalah kemampuan pemahaman yang mendalam sedalam-dalamnya dan luas seluas-luasnya. Lalu, pada urutannya, tersangkut pula masalah tafsir, atau bahkan mungkin ta’wil (interpretasi metaforis) yang tidak jarang menimbulkan kontroversi. Sebab dalam melakukannya selalu ada kemungkinan dicapai suatu pandangan, atau tindakan, yang pada lahirnya seperti meninggalkan atau menyimpang dari ketentuan Kitab Suci. Contoh klasik untuk hal di atas itu ialah tindakan Umar ibn al-Khaththab pada waktu menjabat sebagai Khalifah. Komandan kaum beriman (Amîr al-Mu’minîn) itu tidak membenarkan seorang tokoh Sahabat Nabi kawin dengan wanita Ahl al-Kitab (Yahudi atau Kristen), padahal al-Qur’an jelas membolehkannya. Penyebutan tentang dibolehkannya lelaki Muslim kawin dengan wanita Kristen atau Yahudi dalam al-Qur’an ada dalam rangkaian dengan penyebutan tentang dihalalkannya makanan kaum Ahl al-Kitab itu bagi kaum beriman, sebagaimana makanan kaum beriman halal bagi mereka:
Mereka bertanya kepada engkau (Nabi) tentang apa yang dihalalkan untuk mereka. Jawablah, “Dihalalkan bagi kamu apa saja yang baik; juga (dihalalkan bagi kamu binatang yang ditangkap) oleh binatang-binatang berburu yang kamu latih dengan kamu biasakan menangkap binatang buruan dan kamu ajari binatang-binatang itu dengan sesuatu (ketrampilan) yang diajarkan Allah kepada kamu; karena itu makanlah apa yang ditangkap oleh binatang berburu itu untuk kamu, dan sebutlah nama Allah atasnya, serta bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Cepat dalam perhitungan. Pada hari ini dihalalkan bagi kamu perkara yang baik-baik. Makanan mereka yang mendapat Kitab Suci (Ahl al-Kitƒb) adalah halal bagi kamu, dan makanan kamu adalah halal bagi mereka. Dan (halal, yakni dibenarkan kawin, bagi kamu) para wanita merdeka dari kalangan wanita beriman, juga para wanita merdeka dari kalangan mereka yang mendapatkan Kitab Suci sebelum kamu, jika kamu beri mereka mahar-mahar mereka, dan kamu nikahi mereka (secara sah), tanpa kamu menjadikan mereka obyek seksual semata (zina), dan tanpa kamu memperlakukan mereka sebagai gundik. Barangsiapa menolak untuk beriman, maka sungguh sia- sialah amal perbuatannya, dan ia di Akhirat akan tergolong orang-orang yang merugi.” (Q 5: 4-5).
Tapi Umar, seperti dalam beberapa kasus yang lain, tidak berpegang kepada makna lahiriah bunyi lafal firman itu. Suatu ketika Umar menerima surat dari Hudzaifah ibn al-Yamman, yang isinya menceritakan bahwa ia telah kawin dengan seorang wanita Yahudi di kota al-Mada’in, dan Hudzaifah meminta pendapat. Maka Umar, dalam surat jawabannya memberinya peringatan keras, antara lain dengan mengatakan: “Kuharap engkau tidak akan melepaskan surat ini sampai dia (wanita Yahudi) itu engkau lepaskan. Sebab aku kuatir kaum Muslim akan mengikuti jejakmu, lalu mereka mengutamakan para wanita Ahl al-Dzimmah (Ahl al-Kitab yang dilindungi) karena kecantikan mereka. Hal itu sudah cukup sebagai bencana bagi para wanita kaum Muslim.” Menurut jalur penuturan lain, Umar menegaskan bahwa lelaki Muslim kawin dengan wanita Ahl al-Kitab tidaklah terlarang atau haram. Ia hanya menguatirkan terlantarnya para wanita Muslimah.
Disebabkan oleh meluasnya daerah kekuasaan politik kekhalifahan Islam, dan banyaknya bangsa-bangsa bukan Muslim yang menjadi rakyat kekhalifahan itu, maka kesempatan nikah dengan wanita Kristen dan Yahudi juga menjadi terbuka lebar. Apalagi kelak, setelah Persia dibebaskan (di zaman Umar sendiri) dan Lembah Indus oleh Muhammad ibn Qasim (di zaman al-Walid ibn Abd al-Malik), konsep tentang Ahl al-Kitab diperluas meliputi kaum Majusi dan Hindu-Budha. Karena itu banyak ahli fiqh yang berpandangan bahwa konsep Ahl al-Kitab tidak terbatas hanya kepada kaum Yahudi dan Kristen saja, tetapi dapat diperluas kepada kaum Majusi atau Zoroastri (sudah sejak Umar), dan kepada kaum Hindu, Budha, Konfusianis, Taois, Shintois, dll. Sebab, seperti dikatakan oleh Abd al-Hamid Hakim, seorang tokoh terkemuka pembaruan pendidikan Islam di Sumatera Barat, asal-usul agama-agama Asia itupun adalah paham Ketuhanan Yang Maha Esa atau Tauhid, dan agama-agama itu mempunyai Kitab Suci.3
Maka apa yang dikuatirkan Khalifah sungguh-sungguh dapat menjadi kenyataan, yaitu terlantarnya kaum wanita Muslimah sendiri jika kaum lelaki Muslim diizinkan dengan bebas nikah dengan wanita Ahl al-Kitab. Sebab waktu itu kaum Muslim hanya terbatas kepada minoritas kecil para penguasa politik dan militer dan hampir terdiri hanya dari bangsa Arab saja, dan belum banyak kalangan dari bangsa lain yang memeluk Islam, sekalipun berada di negeri Islam. Meskipun ternyata larangan (sementara) Umar itu lambat laun ditinggalkan (dan bangsa Arab umumnya melakukan integrasi total dengan penduduk di mana mereka hidup sehingga lebur dengan bangsa setempat), namun kebijakan Khalifah kedua itu menjadi preseden dalam yurisprudensi Islam tentang kemungkinannya dilakukan kebijakan khusus sesuai dengan tuntutan ruang dan waktu. Jadi ada pertimbangan sisi historis dan humanis dalam menetapkan suatu hukum.
Masalah Kepentingan Umum (al-Mashlahat al-`Ammah)
Maka berdasarkan tindakan Umar itu, para ahli hukum Islam masa lalu, seperti, misalnya, Muhammad ibn al-Husain, mengatakan, “Kita ikuti pendapat Umar itu, namun kita tidak memandang perkara tersebut (lelaki Muslim kawin dengan wanita Ahl al-Kitab) sebagai terlarang. Kita hanya berpendapat hendaknya para wanita Muslim lebih diutamakan, dan itulah juga pendapat Abu Hanifah.” Kemudian Rektor Universitas al-Azhar, Dr. Abd-al-Fattah Husaini al-Syaikh, mengatakan bahwa tindakan Khalifah kedua itu menyalahi nas atau lafal Kitab Suci, juga menyalahi apa yang dilakukan sebagian para Sahabat Nabi. Sebab, selain Hudzaifah, ada beberapa tokoh Sahabat Nabi yang beristrikan wanita Ahl al-Kitab, seperti, misalnya, Utsman ibn Affan, Khalifah ketiga, yang beristrikan seorang wanita Kristen Arab, Na’ilah al-Kalbiyah, dan Thalhah ibn Ubaidillah yang beristrikan seorang wanita Yahudi dari Syam (Syria). Tetapi, kata Rektor al-Azhar lebih lanjut, Umar tidak melakukan larangan itu kecuali setelah melihat adanya hal yang kurang menguntungkan bagi masyarakat Islam. Dan Umar tidaklah mengatakannya sebagai haram-halmana tentu akan berarti menentang Hukum Allah-melainkan sekadar menjalankan suatu patokan yang sudah tetap di kalangan para ahli, bahwa pemerintah boleh melarang untuk sementara sesuatu yang sebenarnya halal jika ada faktor yang merugikan masyarakat. Tetapi jika faktor itu lenyap, maka dengan sendirinya lenyap pula alasan melarangnya.4
Karena itu ada yang mengatakan bahwa tindakan Khalifah kedua itu adalah sejenis tindakan politik (tasharruf siyasi), yang timbul karena pertimbangan kemanfaatan (expediency) menurut tuntutan zaman dan tempat. Kekhalifahan Umar adalah masa permulaan pembebasan negeri-negeri sekitar Arabia, khususnya Syria, Mesir dan Persia, yang dalam banyak hal adalah jauh lebih kaya daripada Hijaz di Jazirah Arabia. Kekayaan yang melimpah ruah secara tiba-tiba akibat banyaknya harta rampasan perang, termasuk juga wanita tawanan (yang menurut hukum perang di seluruh dunia waktu itu tawanan perang, lelaki maupun lebih-lebih lagi perempuan, adalah sepenuhnya berada di bawah kekuasaan dan menjadi “milik” perampasnya), membuat ibukota, Madinah, mengalami berbagai perubahan sosial yang besar, yang dapat menjadi sumber krisis. Maka Umar dengan berbagai kebijakannya adalah seorang penguasa yang berusaha mengurangi sesedikit mungkin efek kritis perubahan sosial itu.
Dan Umar tidak hanya menerapkan kebijakan politik melarang sementara perkawinan dengan wanita Ahl al-Kitab. Ia juga dicatat membuat deretan berbagai kebijakan “kontroversial” seperti peniadaan hukuman potong tangan bagi pencuri di masa sulit seperti paceklik; penghapusan perlakuan khusus kepada para mu’allaf; larangan berkumpul untuk selamanya bagi wanita dengan lelaki yang dikawininya pada saat menunggu (iddah), pengefektifan hukum talak tiga (talak ba’in yang dilarang rujuk) bagi orang yang menyatakan talak tiga kali kepada istrinya meskipun pernyataan itu diucapkan sekaligus dan tanpa renggang waktu; pembagian tanah-tanah pertanian di Syria dan Irak kepada penduduk setempat (tidak kepada tentera Islam seperti sebagian besar Sahabat Nabi bependapat demikian); pembagian tingkat penerimaan “ransum” (semacam gaji tetap) bagi tentera Islam berdasarkan seberapa jauh ia banyak atau kurang berjasa dalam sejarah Islam sejak zaman Nabi (padahal Abu Bakr, pendahulunya, menerapkan prinsip penyamarataan antara semuanya), dll.
Semua tindakan tersebut tidaklah dilakukan Khalifah menurut kehendak hatinya sendiri. Menurut Dr Abd al-Fattah, Khalifah dalam menetapkan kebijakan hukumnya menerapkan prinsip bahwa semua hukum agama mengandung alasan hukum (illah, ratio legis) yang harus diperhatikan dalam pelaksanaannya, sejalan dengan kepentingan umum (al-mashlahat al-ammah) dan sesuai dengan tanggung jawab seorang penguasa dan pelaksana hukum bersangkutan.5 Dan meskipun, sebagai misal, Umar berbeda dari Abu Bakr dalam kebijakannya tentang penyamarataan atau pembedaan besarnya jumlah ransum tentera, namun kedua-duanya bermaksud membela keadilan. Abu Bakr berpendapat bahwa keadilan terwujud dengan penyamarataan antara semua tentera Islam, tanpa memandang masa lampau mereka. Sebaliknya Umar justru berpendapat akan tidak adil jika masa lalu masing-masing tentera itu diabaikan, padahal sebagian dari mereka benar-benar jauh lebih berjasa daripada sebagian yang lain. Rasa keadilan mengatakan bahwa orang yang berbuat lebih banyak tentunya juga harus mendapatkan balas jasa dan penghargaan lebih banyak.
Masalah Historis Ajaran Keagamaan
Itulah wujud contoh apa yang dikemukakan di atas, yaitu bahwa masalah penarikan atau pengangkatan makna umum (generalisasi) suatu nilai hukum akan menyangkut masalah penafsiran dan kemampuan memahami lebih mendalam inti pesan yang dikandungnya. Dan karena kemampuan itu dapat berbeda-beda antara berbagai pribadi, maka hasilnya pun dapat berbeda-beda pula. Yang jelas ialah, seperti dikatakan Rektor al-Azhar, pendirian Abu Bakr dan Umar membuktikan bahwa yang dituju oleh hukum ialah makna atau pesan yang dikandungnya (al-ahkâm turadu li ma aniha).6 Ini membawa kita kembali kepada polemik sekitar kiblat salat yang telah dikemukakan di atas. Yaitu bahwa kiblat, dalam arti wujud fisiknya yang menyangkut formalitas penghadapan wajah ke suatu arah tertentu, tidaklah dimaksudkan pada dirinya sendiri, melainkan dimaksudkan maknanya. Dan karena lebih penting daripada formalitas, maka makna tidak boleh ditinggalkan, sementara formalitas dalam keadaan tertentu boleh ditinggalkan. Konsep Asbabun Nuzul mempunyai kaitan yang erat dengan konsep lain yang juga amat penting, yaitu nasikh-mansukh, berkenaan dengan sumber-sumber pengambilan ajaran agama, baik Kitab maupun Sunnah. Konsep itu, seperti yang pandangan teoretisnya dikembangkan oleh para ahli fiqh dengan kepeloporan Imam al-Syafi’i, menyangkut masalah adanya bagian tertentu dari al-Qur’an ataupun hadis yang “dihapus” (mansukh) dan yang “menghapus” (nasikh).7 Meskipun teori “hapus-menghapuskan” ini tidak lepas dari kontroversi, namun sebagian besar ulama menganutnya, dengan perbedaan di sana-sini dalam hal materi mana yang menghapus dan mana pula yang dihapus. Yang jelas ialah bahwa dalam kaitannya dengan konsep tentang Asbabun Nuzul, konsep nasikh-mansukh juga mengandung kesadaran historis di kalangan para ahli hukum Islam. Adalah kesadaran historis ini, menurut Hodgson, yang menjadi salah satu tumpuan harapan bahwa Islam akan mampu lebih baik dalam menjawab tantangan zaman di masa depan. Kata Hodgson, dalam ikut berharap bahwa umat Islam akan akhirnya sangat mampu menjawab tantangan zaman:
Tetapi barangkali modal potensial terbesar Islam yang paling hebat ialah kesadaran historisnya yang jelas, yang sejak dari semula mempunyai tempat begitu besar dalam dialognya. Sebab, kesediaan mengakui dengan sungguh-sungguh bahwa tradisi agama terbentuk dalam waktu, dan selalu mempunyai dimensi historis, membuat agama itu mampu menampung ilham baru apapun ke dalam realita dari warisan dan dari titik tolak mulanya yang kreatif, yang dapat terjadi lewat penelitian ilmiah atau pengalaman ruhani baru. Al-Syafi`i membawa ke depan kecenderungan yang sudah ada secara laten dalam karya (Nabi) Muhammad sendiri ketika ia menekankan pemahaman al-Qur’an secara benar-benar kongkret dalam interaksi historisnya dengan kehidupan Nabi Muhammad dan masyarakat beliau. Ia (al-Syafi’i) melakukan hal ini memang tanpa ketepatan sejarah tertentu, tetapi itu bukanlah maksudnya yang semula; dan meskipun oleh kaum Muslim kemudian hari kajian yang jujur tentang kenyataan sejarah masa silam Islam ditukar dengan gambaran stereotipikal dan berang, namun mereka tidak pernah mengingkari prinsip bahwa ketepatan historis adalah fondasi semua pengetahuan keagamaan.8
Sekarang bandingkan ungkapan Hodgson itu dengan yang dapat kita baca dalam sebuah kitab klasik, yaitu kitab Muhyi al-Din ibn al-Arabi, Fushûsh al-Hikam, dalam syarah oleh al-Syaikh Abd al-Razziq al-Qasyani. Dalam kitab ini dijelaskan tentang adanya konteks sejarah bagi ajaran agama-agama sehingga menghasilkan manifestasi lahiriah yang berbeda-beda. Padalah inti semua agama yang benar, sepanjang ajaran al-Qur’an, adalah sama, yaitu ajaran tentang pasrah kepada Allah (islâm) berdasarkan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa (tawhîd).9 Dalam syarah Fushûsh al-Hikam diuraikan sebagai berikut:
Jika cara turunnya ajaran ke dalam jiwa para Nabi itulah yang dimaksud dengan kesatuan cara diturunkannya semua ajaran (dari Tuhan), lalu mengapa agama para Nabi itu berbeda-beda? Jawabnya ialah, karena terdapat perbedaan kesiapan antara berbagai ummat maka berbeda pula bentuk- bentuk jalan tauhid dan bagaimana jalan itu ditempuh, sementara maksud, tujuan dan hakikat metode itu semuanya satu, seperti jari-jari yang menghubungkan garis luar lingkaran dengan titik pusat lingkaran itu. Jari-jari tersebut merupakan jalan yang bebeda-beda menurut perbedaan garis yang menghubungkan antara titik pusat lingkaran itu dengan setiap titik yang ditentukan pada garis lingkar luarnya. Sama juga dengan cara pengobatan yang berbeda-beda oleh satu orang dokter untuk penyakit yang berbeda-beda, namun tujuannya adalah satu, yaitu kesehatan, dan semua cara pengobatan itu sebagai cara menyingkirkan penyakit dan mengembalikan kesehatan adalah satu. Maka begitu pula cara turunnya ajaran kepada para Nabi adalah satu, dan tujuannya ialah hidayah ke arah Kebenaran. Jadi jalan tauhid pun satu, tetapi perbedaan kesiapan ummat manusia mengakibatkan perbedaan agama dan aliran. Sebab perbaikan setiap ummat adalah dengan menghilangkan keburukan yang khusus ada padanya, dan hidayah mereka bersumber dari berbagai sentra dan martabat yang berbeda-beda menurut tabiat dan kejiwaan mereka.10
Pendekatan historis ini tidaklah berarti relativisasi total ajaran agama dan sikap yang memandangnya sebagai tidak lebih daripada produk pengalaman sejarah belaka. Justru dalam penegasan tentang kesatuan agama para Nabi terkandung makna yang tegas bahwa ada sesuatu yang benar-benar universal dalam setiap agama dan menjadi titik pertemuan antara semua agama. Dan karena yang universal ini tidak terikat oleh ruang dan waktu, maka dapat disebut “tidak historis”.
Tetapi masalahnya tetap sama, yaitu bagaimana menangkap pesan inti yang universal itu, yang tidak tergantung kepada konteks, juga tidak kepada suatu sebab khusus dari Asbabun Nuzul munculnya suatu ajaran atau hukum. Maka banyak para ahli yang akhirnya sampai kepada persoalan bahasa: bagaimana kita mempersepsi suatu ungkapan linguistik untuk dapat melalukan generalisasi tinggi dari makna immediate-nya ke makna universalnya. Berkaitan dengan ini, penting sekali memahami penegasan dalam Kitab Suci bahwa Allah tidak mengutus seorang Rasul pun kecuali dengan bahasa kaumnya (Q 14: 4). Maka meskipun bahasa para Nabi itu bermacam-macam, namun tujuan dan makna risalah mereka semua saja. Hal yang sudah amat jelas ini perlu dipertegas, agar kita waspada jangan sampai kita terkungkung oleh lingkaran kebahasaan semata dan terjerumus ke dalam sikap mental seolah-olah suatu nilai akan kehilangan kebenarannya jika tidak dinyatakan dalam bahasa tertentu atau ungkapan kebahasaan tertentu yang dianggap suci. Bahasa termasuk kategori historis, dan kesadaran kebahasaan akan dengan sendirinya menyangkut kesadaran historis. Tentang hal ini, keterangan yang cukup baik diberikan oleh Ibn Taimiyah, demikian:
Jadi diketahui bahwa Tuhan mengajari jenis manusia agar mengungkapkan apa yang dikehendaki dan digambarkan dalam benaknya dengan bahasanya. Dan yang pertama mengetahui hal itu ialah bapak mereka, yaitu Adam, dan ummat manusia pun kemudian mengetahui seperti Adam mengetahui, meskipun bahasa mereka berbeda-beda. Allah telah memberi wahyu kepada Musa dalam Bahasa Ibrani (Hebrew) serta kepada Muhammad dalam Bahasa Arab, dan semuanya itu adalah Sabda (Kalam) Allah, dan dengan Sabda itu Allah menjelaskan apa yang dikehendaki dari makhluk-Nya dan apa perintah-Nya, meskipun bahasa itu berlainan. Padahal Bahasa Ibrani adalah paling dekat ke Bahasa Arab, sedemikian dekatnya sehingga kedua bahasa itu lebih dekat daripada bahasa bukan Arab (Ajam) satu dari yang lain.11
Namun masalah kebahasaan mungkin akan ternyata tidak terbatas hanya kepada segi linguistiknya semata, tetapi juga segi kulturalnya. Misalnya, jika dalam al-Qur’an disebutkan bahwa Allah menciptakan tujuh lapis langit (Q 67: 3), terdapat kemungkinan bahwa “tujuh lapis langit” adalah bahasa kultural (yang historis), karena kosmologi yang umum saat itu, khususnya sekitar Timur Tengah, memang mengenal adanya konsep demikian. Dan jika masalah kebahasaan menyangkut pula segi kultural ini, maka konsep Asbabun Nuzul dapat diperluas sehingga tidak hanya menyangkut sebuah ayat tertentu saja misalnya, melainkan menyangkut seluruh Kitab Suci itu seutuhnya; dan tidak hanya berkaitan dengan kasus spesifik dalam kehidupan Nabi dan masyarakat beliau saat itu, tetapi meliputi seluruh kondisi kultural dunia, khususnya Timur Tengah, lebih khusus lagi Jazirah Arabia sebagai “situs” langsung wahyu Allah kepada Nabi Muhammad. Karena itu, dari sudut pendekatan historis dan ilmiah kepada wahyu Tuhan, sebagai kelanjutan dan pengembangan ide Imam al-Syafi`i, kita tidak hanya akan mendapat manfaat dari pengetahuan tentang Asbabun Nuzul saja, tetapi juga dari pengetahuan yang lebih menyeluruh tentang pola budaya Arabia dalam sejarahnya yang panjang, sebelum Islam, semasa Nabi, dan (bagi kita sekarang) sesudah Islam. Maka dari sudut ini sungguh besar harapan kita kepada kegiatan penelitian ilmiah di bidang kultural yang mulai tumbuh di Jazirah Arabia. Terutama kegiatan arkeologis yang baru-baru ini secara spektakuler, berkat teknologi satelit, berhasil menemukan kota kuna Ubar (Iram) yang didirikan oleh Syaddad ibn `Ad hampir empat ribu tahun yang lalu. Jika benar temuan itu maka kita akan lebih mampu memahami penuturan al-Qur’an (87: 6-8) tentang kaum `Ad dan pesan suci di balik penuturan itu.12
Catatan:
1. Ahmad von Denffer, `Ulum al-Qur’an, an Introduction to the Sciences of the Qur’an (London: The Islamic Foundation, 1985), hh. 92-3.
2. Adanya beberapa versi ini dapat dilihat dalam Al-Wahidi al-Nisaburi, Asbab al-Nuzul, Kairo, 1968, h. 4.
3. Abd al-Hamid Hakim, Al-Mu’in al-Mubin, 4 jilid (Bukittinggi: Nusantara, 1955 M/1374 H), jil. 4, h. 48.
4. Lihat pembahasan masalah ini lebih jauh dalam Abd al-Fattah, Tarikh al-Tasyri al-Islami (Kairo: Dar al-Ittihad al-Arabi, 1990), hh. 161, 177, dan 185).
5. Ibid., h. 175.
6. Ibid., h. 177.
7. Lihat pembahasan cukup panjang lebar pada bagian-bagian yang relevan buku Imam al-Syafi`i, Al-Risalah (Kairo: Markaz al-Ahram, 1988), hh. 96-114 dan 170-176. (Buku ini sudah diterjemahkan ke bahasa kita).
8. Marshall G. S. Hodgson, The Venture of Islam, 3 jilid (Chicago: The University of Chicago Press, 1974), jil. 3, h. 437.
9. Lihat penjelasan tentang makna generik atau mutlak kata-kata Arab “islam” dalam Ibn Taimiyah, al-Iman (Kairo: Dar al-Thiba`ah al-Muhammadiyah, tt), hh. 223-4.
10. Al-Syaikh Abd-al-Razzaq al-Qasyani, Syarah Fushûsh al-Hikam (kitab Muhyi al-Din ibn al-Arabi), (Kairo: Mushthafa al-Babi al-Halabi, 1987), h. 8.
11. Ibn Taimiyah, op. cit., h. 82.
12. Lihat berita arkeologis penting ini dalam TIME, 17 Feb. 1992, h. 30
(DISADUR DARI TULISAN Nurcholish Madjid dalam http://www.paramadina.ac.id/)
0 komentar