Salah satu momen yang sangat ditunggu-tunggu oleh kaum beriman ialah Lailatul Qadr (Laylat-u ‘l-Qadr) dalam bulan Ramadan. Sama halnya dengan berbagai momen keagamaan seperti Maulid, Isra’ Mi‘raj, Nuzulul Qur’an, dan dua hari raya, Lailatul Qadr menghasilkan bentuk-bentuk tertentu tradisi budaya keagamaan. Di sebagian daerah negeri kita ini, Lailatul Qadr menghasilkan tradisi selamatan pada tanggal-tanggal ganjil sepuluh hari terakhir bulan Ramadan. Selamatan itu dibarengi dengan tradisi “pawai obor”, yaitu kelompok anak muda yang masing-masing membawa obor untuk dibawa keliling desa, seolah-olah hendak membawa cahaya kebenaran kepada penduduk desa itu karena datangnya Lailatul Qadr. Di tempat-tempat lain tentu ada bentuk-bentuk tradisinya sendiri, yang semuanya mengungkapkan betapa pentingnya malam yang kudus itu.
Ditilik dari maraknya tradisi budaya keagamaan itu, maka jelas ada sesuatu yang harus kita pahami lebih jauh, mendalam dan luas tentang Lailatul Qadr. Karena perjalanan waktu yang panjang, banyak sekali budaya keagamaan yang akhirnya kosong dari makna dan tinggal sebagai kebiasaan lahiri dan formal saja. Pernyataan ini bukanlah usaha untuk mengecilkan arti suatu budaya keagamaan. Setiap masyarakat memerlukan prasarana perlambangan untuk menguatkan makna-makna hidup yang lebih mendalam. Tetapi perlambang yang sudah menfosil dan berubah menjadi seolah-olah tujuan dalam dirinya sendiri akan muspra, tanpa guna. Karena itu berikut ini kita akan coba melihat lebih jauh makna Lailatul Qadr dan hikmahnya bagi manusia dan kemanusiaan.
Pengertian
Secara harfiah, Lailatul Qadr berarti “Malam Penentuan” atau “Malam Kepastian”, jika kata-kata qadr difahami sebagai sama asal dengan kata-kata taqdîr. Tetapi ada juga yang mengartikan Lailatul Qadr dengan “Malam Kemahakuasaan”, yakni kemahakuasaan Tuhan, jika kata-kata qadr difahami sebagai sama asal dengan kata-kata al-Qadîr, yang artinya “Yang Maha Kuasa”, salah satu sifat Tuhan. Sudah tentu kedua pengertian itu tidak bertentangan-meskipun pengertian yang pertama lebih umum dianut orang. Kedua pengertian itu saling melengkapi.
Dalam al-Qur’an penyebutan dan gambaran ringkas tentang Lailatul Qadr itu dikaitkan dengan malam diturunkannya al-Qur’an, yaitu dalam surat al-Qadr:
“Sesungguhnya Kami telah turunkan dia (al-Qur’an) pada Lailatul Qadr,
Dan apakah yang membuat engkau tahu apa itu Lailatul Qadr?
Lailatul Qadr adalah lebih baik daripada seribu bulan.
Pada malam itu, turun para malaikat dan Ruh dengan izin Tuhan mereka,
membawa segala perkara; Damailah dia (Malam itu) hingga terbit fajar”.
Jadi disebutkan bahwa Allah menurunkan al-Qur’an pada Lailatul Qadr yang nilainya lebih baik daripada seribu bulan atau sekitar delapan puluh tahun (kurang lebih umur maksimal manusia). Hal itu demikian karena pada malam itu para malaikat turun, begitu juga Ruh (yang dalam hal ini ialah Ruh Kudus atau Jibril, malaikat pembawa wahyu Tuhan). Mereka turun dengan membawa ketentuan tentang segala perkara bagi seluruh alam, khususnya umat manusia. Malam itu adalah suatu kedamaian, hingga terbit fajar di pagi hari.
Pengertian seperti di atas itu adalah yang paling umum dipegang kaum Muslim. Tetapi untuk memperoleh pengertian yang lebih mendalam, kita harus meneliti pengertian masing-masing ungkapan atau istilah dalam surat al-Qadr itu. Pertama ialah ungkapan bahwa Allah menurunkan al-Qur’an pada Lailatul Qadr itu. Menurut Ibn ‘Abbas sebagaimana dikutip dalam Tafsir Ibn Katsir, yang dimaksud ialah diturunkannya al-Qur’an itu dalam bentuk keseluruhannya secara utuh dan sempurna dari al-Lawh al-Mahfûzh (“Loh Mahfuzh”-“Papan Yang Terjaga”) ke Bayt al-‘Izzah (Wisma Kemuliaan) di langit terendah (langit dunia), lalu diturunkan kepada Nabi s.a.w. secara rinci menurut kejadian-kejadian historis masa beliau selama dua puluh tiga tahun. Malam diturunkannya al-Qur’an juga disebutkan di bagian lain dalam al-Qur’an sebagai Malam yang diberkati (Laylah Mubârakah), dan malam itu ada dalam bulan Ramadan:
“Bulan Ramadan, yang padanya diturunkan al-Qur’an, sebagai petunjuk bagi umat manusia, dan sebagai penjelasan-penjelasan tentang petunjuk (yang telah lalu) dan pembeda (antara mana yang benar dan mana yang salah)”.
Yang sedikit menjadi persoalan ialah, tanggal berapa Lailatul Qadr dan Laylah Mubârakah itu dalam bulan Ramadan? Bagi bangsa Indonesia hal ini menjadi lebih menarik, karena ada tradisi nasional untuk memperingati secara resmi malam diturukannya al-Qur’an itu, yang biasa disebut sebagai malam Nuzûl-u ‘l-Qur’ân pada tanggal 17 Ramadan (yang kebetulan adalah juga tanggal Proklamasi Kemerdekaan). Konon yang memilih tanggal itu sebagai Hari Nuzûl-u ‘l-Qur’ân adalah Haji Agus Salim, bapak modernisme Islam di Indonesia, dengan persetujuan Bung Karno. Dalam menentukan pilihannya itu agaknya Haji Agus Salim merujuk kepada sebuah firman dalam al-Qur’an,
“Dan ketahuilah, bahwa apa saja yang kamu dapati sebagai harta rampasan perang, maka sesungguhnya seperlimanya adalah untuk Allah, Rasul-Nya, karib-kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin, serta orang yang dalam perjalanan, jika kamu memang beriman kepada Allah dan kepada sesuatu yang telah Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad) pada hari yang menentukan, yaitu hari dua pasukan tentera bertemu (berperang). Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu”.
Jadi firman Allah itu menjelaskan ketentuan tentang bagaimana harta rampasan perang harus dibagi-bagi dan siapa saja yang berhak. Ketentuan itu harus diterima oleh kaum beriman, jika memang mereka beriman kepada Allah dan kepada sesuatu yang diturunkan oleh-Nya kepada Nabi saw “pada hari yang menentukan, yaitu hari ketika dua pasukan bertemu dalam pertempuran”. Tafsir Ibn Katsir, berdasarkan berbagai sumber, menyebutkan bahwa yang dimaksudkan dengan “hari yang menentukan” itu ialah hari perang Badar. Juga berdasarkan berbagai sumber, Ibn Katsir mengatakan bahwa perang Badar itu terjadi pada hari Jum‘at tanggal 17 Ramadan (Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 juga hari Jum‘at!). Pada perang Badar itulah dua pasukan, muslim dan musyrik, bertemu dalam pertempuran. Perang Badar disebut “hari yang menentukan” (yawm al-furqân) karena perang itu adalah yang pertamakali dialami Nabi s.a.w. dan kaum beriman para pengikut beliau, dengan kemenangan yang telak, kemenangan yang benar (al-haqq), tauhid, atas yang palsu (al-bâthil), syirik. Seandainya dalam perang itu Nabi dan kaum beriman kalah, maka pupuslah sudah agama yang mereka bela dan tegakkan, dan teguhlah faham-faham palsu, khususnya kemusyrikan. Tapi karena kemenangan telak tersebut, maka Nabi dan kaum beriman telah berhasil memastikan, dengan pertolongan Allah swt, bahwa yang benar selamanya akan menang, dan yang palsu selamanya akan kalah. Sejarah Nabi s.a.w dan kaum beriman selanjutnya membuktikan hal itu semua.
Jika benar demikian itu, maka sesungguhnya tanggal 17 Ramadan, malam Nuzulul Qur’an, adalah juga Lailatul Qadr. Hal ini menjadi berbeda dengan yang umum sekali dipercayai kaum Muslim, berdasarkan keterangan Nabi saw dalam hadis, bahwa Lailatul Qadr adalah salah satu malam dari malam-malam ganjil sepuluh hari terakhir bulan Ramadan. Yang menarik ialah bahwa Nabi saw tidak menjelaskan dengan rinci malam yang mana dari malam-malam ganjil itu yang sesungguhnya malam Lailatul Qadr. Sikap Nabi ini ditafsirkan sebagai suatu hikmah agar kaum Muslim tidak mengkhususkan ibadat banyak-banyak hanya dalam satu malam tertentu saja, tetapi terus-menerus melakukannya dalam lima malam hari-hari terakhir bulan Puasa yang penuh barkah itu. Tetapi karena perbedaan tersebut itu, maka di negeri kita ada sesuatu yang amat unik (tidak terdapat di negeri Islam lain manapun juga), yaitu bahwa Nuzulul Qur’an adalah berbeda dengan Lailatul Qadr!
Sudah tentu tradisi peringatan resmi Nuzulul Qur’an itu adalah baik sekali, karena itu harus dipertahankan. Sebab telah terbukti membawa hikmah yang amat bermakna bagi kehidupan nasional kita. Namun adanya perbedaan tersebut ada baiknya dicari “penyelesaiannya”, sehingga “tidak mengganggu”.
Agaknya ada perbedaan tafsiran tentang apa yang sebenarnya yang diturukan Allah pada “hari yang menentukan” atau perang Badar sebagaimana disebutkan dalam firman terkutip di atas. Tafsir Ibn Katsir mengesankan pengertian bahwa yang diturunkan Allah pada perang Badar ialah ketentuan tentang pembagian harta rampasan perang, bukan al-Qur’an itu sendiri secara keseluruhannya. Tetapi A. Yusuf Ali, seorang penerjemah al-Qur’an ke dalam Bahasa Inggris dengan komentar yang diakui paling absah oleh Dunia Islam, mengisyaratkan bahwa memang yang diturunkan Allah pada “hari yang menentukan” (Yawm-u ‘l-Furqân) itu adalah al-Qur’an itu sendiri, mungkin dalam pengertian seperti diajukan oleh Ibn ‘Abbas terkutip di atas. Isyarat A. Yusuf Ali itu terjadi karena ia menerangkan apa makna al-Furqân (penentu atau pembeda antara yang benar dan yang palsu) dengan melakukan rujukan silang (cross reference) kepada ayat-ayat di tempat lain dalam al-Qur’an.
Dalam surat al-Qadr yang diterjemahkan di atas terbaca ayat yang terjemahannya “Pada malam itu, turun para malaikat dan Ruh dengan izin Tuhan mereka, membawa segala perkara”. Lagi-lagi di sini ada sedikit perbedaan tentang apa yang dimaksud dengan “rûh” dan “amr” (“segala perkara”). Muhammad Asad, seorang penerjemah dan penafsir al-Qur’an yang juga sangat tinggi otoritasnya, mengartikan “rûh” dalam firman itu tidaklah sebagai Ruh Kudus atau malaikat Jibril, melainkan “wahyu Ilâhî” itu sendiri atau “ilham Ilâhî” (bagi yang bukan nabi) dalam artian yang seluas-luasnya dan sedalam-dalamnya. Baginya, pengertian ini menjadi jelas dalam kaitannya dengan makna perkataan “rûh” dan “amr” di beberapa ayat lain dalam al-Qur’an. Misalnya, firman Allah :
“Ia turunkan malaikat dengan wahyu dari perintah-Nya kepada siapa saja yang dikehendaki dari para hamba-Nya: “Hendaklah kamu beri peringatan bahwa tiada Tuhan melainkan Aku. Karena itu, bertaqwalah kamu sekalian kepada-Ku".
Pengertian “rûh” sebagai wahyu Ilâhî itu lebih jelas lagi dari firman Allah,
Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu (Muhammad) roh dari perintah Kami; engkau dahulu tidak pernah mengetahui apa itu Kitab dan apa itu iman, akan tetapi Kami jadikannya cahaya yang dengan itu Kami membimbing siapa saja yang Kami kehendaki di antara para hamba Kami. Sesungguhnyalah engkau memberi petunjuk ke jalan yang lurus”.
Berdasarkan itu semua maka Muhammad Asad, dengan merujuk kepada Zamakhsyari (seorang otoritas klasik), memberi makna bahwa istilah “rûh” dalam al-Qur’an sering digunakan dalam pengertian “wahyu Ilâhî”, karena wahyu itu, seperti halnya dengan roh atau jiwa, memberi kehidupan kepada hati yang mati dalam kebodohan (tidak tahu yang benar dan yang palsu), dan dalam agama wahyu itu mempunyai fungsi seperti roh untuk badan. Asad juga menerangkan, dengan merujuk kepada Thabari, Zamakhsyari, Razi, dan Ibn Katsir, bahwa perkataan “rûh” yang secara harfiah berarti “jiwa” (atau “sukma”) itu, dalam konteks ayat kedua terkutip di atas, jelas menunjukkan pengertian “wahyu Ilâhî” yang disampaikan kepada Nabi Muhammad saw, yaitu al-Qur’an, yang dianugerahkan untuk membimbing manusia kepada kehidupan ruhani yang lebih intensif.
Selanjutnya, bahwa wahyu Ilahi itu adalah sesuatu, seperti roh, yang memberi kehidupan spiritual kepada manusia dengan jelas disebutkan dalam al-Qur’an, demikian:
”Wahai orang-orang yang beriman, sambutlah Allah dan Rasul-Nya apabila Dia menyeru kamu kepada sesuatu yang menghidupkan kamu. Ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menyekat antara diri seseorang dan hatinya, dan sesungguhnya kepada-Nyalah kamu akan dihimpunkan”.
Jadi kalau dalam Lailatul Qadr itu disebutkan para malaikat dan roh turun dengan membawa segala perintah, menurut penafsiran di atas itu artinya ialah turunnya wahyu Ilahi yang mencakup segala perintah Allah dan yang membawa kepada vitalitas spiritual umat manusia. Karena itu Lailatul Qadr adalah momen agung yang amat menentukan hidup manusia seumur hidup (sampai seribu bulan atau delapan puluh tahun), ketika orang bersangkutan memiliki kesiapan ruhani yang bersih untuk menerima wahyu Ilahi itu, yang dalam hal ini ialah menerima, memahami, menghayati dan mengamalkan al-Qur’an.
Lailatul Qadr bagi Umat Manusia
Dengan pengertian-pengertian di atas itu, Lailatul Qadr memang merupakan “Malam Penentuan” dan “Malam Kemahakuasaan Allah”. Ini jelas sekali jika dikaitkan dengan apa arti kehadiran al-Qur’an bagi umat manusia. Sebagaimana ditunjukkan oleh sejarah, khususnya sejarah agama-agama, al-Qur’an tidak hanya mempengaruhi dan membawa perubahan kepada kaum Muslim saja, melainkan secara langsung atau tidak langsung juga mempengaruhi dan membawa perubahan kepada seluruh umat manusia.
Sementara itu, ada penafsiran mistis yang menarik sekali, yang dikemukakan oleh A. Yusuf Ali. Dikaitkan dengan hikmah perbedaan pandangan tentang kapan sebenarnya Lailatul Qadr itu dalam bulan Ramadan, atau keterangan Nabi saw sendiri yang agaknya sengaja tidak dengan spesifik menunjukkan kapan itu sebenarnya, maka Yusuf Ali lebih menafsirkannya sebagai momen mistis. Apalagi jika disebut bahwa malam itu lebih baik daripada seribu bulan, yang dapat diartikan tidak secara harfiah melainkan sebagai simbolisasi bahwa Lailatul Qadr itu “mengatasi waktu” (transcends Time), karena sebagai Malam Penentuan dan Malam Kemahakuasaan Tuhan yang telah melenyapkan gelapnya kebodohan, dengan Wahyu-Nya, dalam semua perkara. Untuk pandangannya ini, dan sebagai pengantar kepada terjemah dan komentarnya kepada surat al-Qadr, Yusuf Ali menggubah syair yang indah sekali, demikian:
Blessed indeed is the Night of Power!
When the Mercy of God’s Revelation breaks through
The darkness of the human soul!
All the Powers, of the world divine,
Speed on their mystic Message of Mercy,
By God’s command, and bless every nook
And corner of the heart! All jars
Are stilled in the reign supreme of Peace,
Until this mortal night gives place
To the glorious day of an immortal world!
Terjemahnya, kurang lebih,
Sungguh diberkati Lailatul Qadr
Ketika Rahmat Wahyu Ilâhî menembus
Kegelapan sukma manusia!
Semua Kekuatan malaikat, dari dunia Ilâhî,
Bergegas dalam Pesan mistik Kasih mereka,
Atas perintah Allah, dan memberkati setiap relung
Dan sudut hati manusia! Semua ruang
Terpukau dalam daulat Damai sempurna,
Sampai tiba saatnya masa yang fana ini memberi tempat
Kepada hari penuh keagungan dari suatu dunia abadi!
Penutup
Dari semua momen dalam hidup manusia, tentu ada satu momen yang menentukan hidup seseorang sepanjang umurnya. Momen itu dapat disebut sebagai “Momen Penentuan”, sebanding dengan Lailatul Qadr, bagi pribadi bersangkutan. Momen itu selalu dibarengi dengan suasana damai dan bahagia, yang merupakan dampak keruhanian karena merasakan hadirnya kebenaran yang ditemukan. Karena itu akan mempengaruhi seluruh hidupnya sepanjang umur.
Lailatul Qadr yang disebutkan dalam al-Qur’an adalah “Momen Penentuan” bagi manusia dan kemanusian universal. Bersamaan dengan itu, sebagai malam mistis penuh barkah keruhanian yang hening dan damai, Lailatul Qadr dalam bulan Ramadan dapat mewujudkan suasana batin pribadi yang suci dan damai, sebagai pertanda “intervensi Ilahi” kepada pribadi bersangkutan, berupa keyakinan yang diperbaharui dan diperteguh, mungkin bahkan diketemukan untuk pertama kalinya dalam hidup, tentang kebenaran dan kesucian. Karena itu agama memberi arahan, agar setiap pribadi, dalam bulan suci Ramadan yang penuh barkah, mencari Lailatul Qadr yang mungkin dianugerahkan Allah khusus baginya-sama dengan turunnya para malaikat dan “rûh” kepadanya yang membawa segala petunjuk kebenaran Ilahi dan kedamaian hidup selama-lamanya. Lailatul Qadr yang demikian itu, sebagai “malam penentuan” dan “malam kemahakuasaan Tuhan”, memang mengatasi sang waktu, karena kebahagiaan yang diwujudkannya adalah abadi. Dan dapat sangat pribadi, sehingga saatnya pendapat berbeda-beda dari seseorang ke orang lain. Maka Nabi s.a.w. tidak menyebutkan kapan tepatnya malam itu.
Diambil dari tulisan Nurcholish Madjid dalam paramadina.online
Ditilik dari maraknya tradisi budaya keagamaan itu, maka jelas ada sesuatu yang harus kita pahami lebih jauh, mendalam dan luas tentang Lailatul Qadr. Karena perjalanan waktu yang panjang, banyak sekali budaya keagamaan yang akhirnya kosong dari makna dan tinggal sebagai kebiasaan lahiri dan formal saja. Pernyataan ini bukanlah usaha untuk mengecilkan arti suatu budaya keagamaan. Setiap masyarakat memerlukan prasarana perlambangan untuk menguatkan makna-makna hidup yang lebih mendalam. Tetapi perlambang yang sudah menfosil dan berubah menjadi seolah-olah tujuan dalam dirinya sendiri akan muspra, tanpa guna. Karena itu berikut ini kita akan coba melihat lebih jauh makna Lailatul Qadr dan hikmahnya bagi manusia dan kemanusiaan.
Pengertian
Secara harfiah, Lailatul Qadr berarti “Malam Penentuan” atau “Malam Kepastian”, jika kata-kata qadr difahami sebagai sama asal dengan kata-kata taqdîr. Tetapi ada juga yang mengartikan Lailatul Qadr dengan “Malam Kemahakuasaan”, yakni kemahakuasaan Tuhan, jika kata-kata qadr difahami sebagai sama asal dengan kata-kata al-Qadîr, yang artinya “Yang Maha Kuasa”, salah satu sifat Tuhan. Sudah tentu kedua pengertian itu tidak bertentangan-meskipun pengertian yang pertama lebih umum dianut orang. Kedua pengertian itu saling melengkapi.
Dalam al-Qur’an penyebutan dan gambaran ringkas tentang Lailatul Qadr itu dikaitkan dengan malam diturunkannya al-Qur’an, yaitu dalam surat al-Qadr:
“Sesungguhnya Kami telah turunkan dia (al-Qur’an) pada Lailatul Qadr,
Dan apakah yang membuat engkau tahu apa itu Lailatul Qadr?
Lailatul Qadr adalah lebih baik daripada seribu bulan.
Pada malam itu, turun para malaikat dan Ruh dengan izin Tuhan mereka,
membawa segala perkara; Damailah dia (Malam itu) hingga terbit fajar”.
Jadi disebutkan bahwa Allah menurunkan al-Qur’an pada Lailatul Qadr yang nilainya lebih baik daripada seribu bulan atau sekitar delapan puluh tahun (kurang lebih umur maksimal manusia). Hal itu demikian karena pada malam itu para malaikat turun, begitu juga Ruh (yang dalam hal ini ialah Ruh Kudus atau Jibril, malaikat pembawa wahyu Tuhan). Mereka turun dengan membawa ketentuan tentang segala perkara bagi seluruh alam, khususnya umat manusia. Malam itu adalah suatu kedamaian, hingga terbit fajar di pagi hari.
Pengertian seperti di atas itu adalah yang paling umum dipegang kaum Muslim. Tetapi untuk memperoleh pengertian yang lebih mendalam, kita harus meneliti pengertian masing-masing ungkapan atau istilah dalam surat al-Qadr itu. Pertama ialah ungkapan bahwa Allah menurunkan al-Qur’an pada Lailatul Qadr itu. Menurut Ibn ‘Abbas sebagaimana dikutip dalam Tafsir Ibn Katsir, yang dimaksud ialah diturunkannya al-Qur’an itu dalam bentuk keseluruhannya secara utuh dan sempurna dari al-Lawh al-Mahfûzh (“Loh Mahfuzh”-“Papan Yang Terjaga”) ke Bayt al-‘Izzah (Wisma Kemuliaan) di langit terendah (langit dunia), lalu diturunkan kepada Nabi s.a.w. secara rinci menurut kejadian-kejadian historis masa beliau selama dua puluh tiga tahun. Malam diturunkannya al-Qur’an juga disebutkan di bagian lain dalam al-Qur’an sebagai Malam yang diberkati (Laylah Mubârakah), dan malam itu ada dalam bulan Ramadan:
“Bulan Ramadan, yang padanya diturunkan al-Qur’an, sebagai petunjuk bagi umat manusia, dan sebagai penjelasan-penjelasan tentang petunjuk (yang telah lalu) dan pembeda (antara mana yang benar dan mana yang salah)”.
Yang sedikit menjadi persoalan ialah, tanggal berapa Lailatul Qadr dan Laylah Mubârakah itu dalam bulan Ramadan? Bagi bangsa Indonesia hal ini menjadi lebih menarik, karena ada tradisi nasional untuk memperingati secara resmi malam diturukannya al-Qur’an itu, yang biasa disebut sebagai malam Nuzûl-u ‘l-Qur’ân pada tanggal 17 Ramadan (yang kebetulan adalah juga tanggal Proklamasi Kemerdekaan). Konon yang memilih tanggal itu sebagai Hari Nuzûl-u ‘l-Qur’ân adalah Haji Agus Salim, bapak modernisme Islam di Indonesia, dengan persetujuan Bung Karno. Dalam menentukan pilihannya itu agaknya Haji Agus Salim merujuk kepada sebuah firman dalam al-Qur’an,
“Dan ketahuilah, bahwa apa saja yang kamu dapati sebagai harta rampasan perang, maka sesungguhnya seperlimanya adalah untuk Allah, Rasul-Nya, karib-kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin, serta orang yang dalam perjalanan, jika kamu memang beriman kepada Allah dan kepada sesuatu yang telah Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad) pada hari yang menentukan, yaitu hari dua pasukan tentera bertemu (berperang). Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu”.
Jadi firman Allah itu menjelaskan ketentuan tentang bagaimana harta rampasan perang harus dibagi-bagi dan siapa saja yang berhak. Ketentuan itu harus diterima oleh kaum beriman, jika memang mereka beriman kepada Allah dan kepada sesuatu yang diturunkan oleh-Nya kepada Nabi saw “pada hari yang menentukan, yaitu hari ketika dua pasukan bertemu dalam pertempuran”. Tafsir Ibn Katsir, berdasarkan berbagai sumber, menyebutkan bahwa yang dimaksudkan dengan “hari yang menentukan” itu ialah hari perang Badar. Juga berdasarkan berbagai sumber, Ibn Katsir mengatakan bahwa perang Badar itu terjadi pada hari Jum‘at tanggal 17 Ramadan (Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 juga hari Jum‘at!). Pada perang Badar itulah dua pasukan, muslim dan musyrik, bertemu dalam pertempuran. Perang Badar disebut “hari yang menentukan” (yawm al-furqân) karena perang itu adalah yang pertamakali dialami Nabi s.a.w. dan kaum beriman para pengikut beliau, dengan kemenangan yang telak, kemenangan yang benar (al-haqq), tauhid, atas yang palsu (al-bâthil), syirik. Seandainya dalam perang itu Nabi dan kaum beriman kalah, maka pupuslah sudah agama yang mereka bela dan tegakkan, dan teguhlah faham-faham palsu, khususnya kemusyrikan. Tapi karena kemenangan telak tersebut, maka Nabi dan kaum beriman telah berhasil memastikan, dengan pertolongan Allah swt, bahwa yang benar selamanya akan menang, dan yang palsu selamanya akan kalah. Sejarah Nabi s.a.w dan kaum beriman selanjutnya membuktikan hal itu semua.
Jika benar demikian itu, maka sesungguhnya tanggal 17 Ramadan, malam Nuzulul Qur’an, adalah juga Lailatul Qadr. Hal ini menjadi berbeda dengan yang umum sekali dipercayai kaum Muslim, berdasarkan keterangan Nabi saw dalam hadis, bahwa Lailatul Qadr adalah salah satu malam dari malam-malam ganjil sepuluh hari terakhir bulan Ramadan. Yang menarik ialah bahwa Nabi saw tidak menjelaskan dengan rinci malam yang mana dari malam-malam ganjil itu yang sesungguhnya malam Lailatul Qadr. Sikap Nabi ini ditafsirkan sebagai suatu hikmah agar kaum Muslim tidak mengkhususkan ibadat banyak-banyak hanya dalam satu malam tertentu saja, tetapi terus-menerus melakukannya dalam lima malam hari-hari terakhir bulan Puasa yang penuh barkah itu. Tetapi karena perbedaan tersebut itu, maka di negeri kita ada sesuatu yang amat unik (tidak terdapat di negeri Islam lain manapun juga), yaitu bahwa Nuzulul Qur’an adalah berbeda dengan Lailatul Qadr!
Sudah tentu tradisi peringatan resmi Nuzulul Qur’an itu adalah baik sekali, karena itu harus dipertahankan. Sebab telah terbukti membawa hikmah yang amat bermakna bagi kehidupan nasional kita. Namun adanya perbedaan tersebut ada baiknya dicari “penyelesaiannya”, sehingga “tidak mengganggu”.
Agaknya ada perbedaan tafsiran tentang apa yang sebenarnya yang diturukan Allah pada “hari yang menentukan” atau perang Badar sebagaimana disebutkan dalam firman terkutip di atas. Tafsir Ibn Katsir mengesankan pengertian bahwa yang diturunkan Allah pada perang Badar ialah ketentuan tentang pembagian harta rampasan perang, bukan al-Qur’an itu sendiri secara keseluruhannya. Tetapi A. Yusuf Ali, seorang penerjemah al-Qur’an ke dalam Bahasa Inggris dengan komentar yang diakui paling absah oleh Dunia Islam, mengisyaratkan bahwa memang yang diturunkan Allah pada “hari yang menentukan” (Yawm-u ‘l-Furqân) itu adalah al-Qur’an itu sendiri, mungkin dalam pengertian seperti diajukan oleh Ibn ‘Abbas terkutip di atas. Isyarat A. Yusuf Ali itu terjadi karena ia menerangkan apa makna al-Furqân (penentu atau pembeda antara yang benar dan yang palsu) dengan melakukan rujukan silang (cross reference) kepada ayat-ayat di tempat lain dalam al-Qur’an.
Dalam surat al-Qadr yang diterjemahkan di atas terbaca ayat yang terjemahannya “Pada malam itu, turun para malaikat dan Ruh dengan izin Tuhan mereka, membawa segala perkara”. Lagi-lagi di sini ada sedikit perbedaan tentang apa yang dimaksud dengan “rûh” dan “amr” (“segala perkara”). Muhammad Asad, seorang penerjemah dan penafsir al-Qur’an yang juga sangat tinggi otoritasnya, mengartikan “rûh” dalam firman itu tidaklah sebagai Ruh Kudus atau malaikat Jibril, melainkan “wahyu Ilâhî” itu sendiri atau “ilham Ilâhî” (bagi yang bukan nabi) dalam artian yang seluas-luasnya dan sedalam-dalamnya. Baginya, pengertian ini menjadi jelas dalam kaitannya dengan makna perkataan “rûh” dan “amr” di beberapa ayat lain dalam al-Qur’an. Misalnya, firman Allah :
“Ia turunkan malaikat dengan wahyu dari perintah-Nya kepada siapa saja yang dikehendaki dari para hamba-Nya: “Hendaklah kamu beri peringatan bahwa tiada Tuhan melainkan Aku. Karena itu, bertaqwalah kamu sekalian kepada-Ku".
Pengertian “rûh” sebagai wahyu Ilâhî itu lebih jelas lagi dari firman Allah,
Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu (Muhammad) roh dari perintah Kami; engkau dahulu tidak pernah mengetahui apa itu Kitab dan apa itu iman, akan tetapi Kami jadikannya cahaya yang dengan itu Kami membimbing siapa saja yang Kami kehendaki di antara para hamba Kami. Sesungguhnyalah engkau memberi petunjuk ke jalan yang lurus”.
Berdasarkan itu semua maka Muhammad Asad, dengan merujuk kepada Zamakhsyari (seorang otoritas klasik), memberi makna bahwa istilah “rûh” dalam al-Qur’an sering digunakan dalam pengertian “wahyu Ilâhî”, karena wahyu itu, seperti halnya dengan roh atau jiwa, memberi kehidupan kepada hati yang mati dalam kebodohan (tidak tahu yang benar dan yang palsu), dan dalam agama wahyu itu mempunyai fungsi seperti roh untuk badan. Asad juga menerangkan, dengan merujuk kepada Thabari, Zamakhsyari, Razi, dan Ibn Katsir, bahwa perkataan “rûh” yang secara harfiah berarti “jiwa” (atau “sukma”) itu, dalam konteks ayat kedua terkutip di atas, jelas menunjukkan pengertian “wahyu Ilâhî” yang disampaikan kepada Nabi Muhammad saw, yaitu al-Qur’an, yang dianugerahkan untuk membimbing manusia kepada kehidupan ruhani yang lebih intensif.
Selanjutnya, bahwa wahyu Ilahi itu adalah sesuatu, seperti roh, yang memberi kehidupan spiritual kepada manusia dengan jelas disebutkan dalam al-Qur’an, demikian:
”Wahai orang-orang yang beriman, sambutlah Allah dan Rasul-Nya apabila Dia menyeru kamu kepada sesuatu yang menghidupkan kamu. Ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menyekat antara diri seseorang dan hatinya, dan sesungguhnya kepada-Nyalah kamu akan dihimpunkan”.
Jadi kalau dalam Lailatul Qadr itu disebutkan para malaikat dan roh turun dengan membawa segala perintah, menurut penafsiran di atas itu artinya ialah turunnya wahyu Ilahi yang mencakup segala perintah Allah dan yang membawa kepada vitalitas spiritual umat manusia. Karena itu Lailatul Qadr adalah momen agung yang amat menentukan hidup manusia seumur hidup (sampai seribu bulan atau delapan puluh tahun), ketika orang bersangkutan memiliki kesiapan ruhani yang bersih untuk menerima wahyu Ilahi itu, yang dalam hal ini ialah menerima, memahami, menghayati dan mengamalkan al-Qur’an.
Lailatul Qadr bagi Umat Manusia
Dengan pengertian-pengertian di atas itu, Lailatul Qadr memang merupakan “Malam Penentuan” dan “Malam Kemahakuasaan Allah”. Ini jelas sekali jika dikaitkan dengan apa arti kehadiran al-Qur’an bagi umat manusia. Sebagaimana ditunjukkan oleh sejarah, khususnya sejarah agama-agama, al-Qur’an tidak hanya mempengaruhi dan membawa perubahan kepada kaum Muslim saja, melainkan secara langsung atau tidak langsung juga mempengaruhi dan membawa perubahan kepada seluruh umat manusia.
Sementara itu, ada penafsiran mistis yang menarik sekali, yang dikemukakan oleh A. Yusuf Ali. Dikaitkan dengan hikmah perbedaan pandangan tentang kapan sebenarnya Lailatul Qadr itu dalam bulan Ramadan, atau keterangan Nabi saw sendiri yang agaknya sengaja tidak dengan spesifik menunjukkan kapan itu sebenarnya, maka Yusuf Ali lebih menafsirkannya sebagai momen mistis. Apalagi jika disebut bahwa malam itu lebih baik daripada seribu bulan, yang dapat diartikan tidak secara harfiah melainkan sebagai simbolisasi bahwa Lailatul Qadr itu “mengatasi waktu” (transcends Time), karena sebagai Malam Penentuan dan Malam Kemahakuasaan Tuhan yang telah melenyapkan gelapnya kebodohan, dengan Wahyu-Nya, dalam semua perkara. Untuk pandangannya ini, dan sebagai pengantar kepada terjemah dan komentarnya kepada surat al-Qadr, Yusuf Ali menggubah syair yang indah sekali, demikian:
Blessed indeed is the Night of Power!
When the Mercy of God’s Revelation breaks through
The darkness of the human soul!
All the Powers, of the world divine,
Speed on their mystic Message of Mercy,
By God’s command, and bless every nook
And corner of the heart! All jars
Are stilled in the reign supreme of Peace,
Until this mortal night gives place
To the glorious day of an immortal world!
Terjemahnya, kurang lebih,
Sungguh diberkati Lailatul Qadr
Ketika Rahmat Wahyu Ilâhî menembus
Kegelapan sukma manusia!
Semua Kekuatan malaikat, dari dunia Ilâhî,
Bergegas dalam Pesan mistik Kasih mereka,
Atas perintah Allah, dan memberkati setiap relung
Dan sudut hati manusia! Semua ruang
Terpukau dalam daulat Damai sempurna,
Sampai tiba saatnya masa yang fana ini memberi tempat
Kepada hari penuh keagungan dari suatu dunia abadi!
Penutup
Dari semua momen dalam hidup manusia, tentu ada satu momen yang menentukan hidup seseorang sepanjang umurnya. Momen itu dapat disebut sebagai “Momen Penentuan”, sebanding dengan Lailatul Qadr, bagi pribadi bersangkutan. Momen itu selalu dibarengi dengan suasana damai dan bahagia, yang merupakan dampak keruhanian karena merasakan hadirnya kebenaran yang ditemukan. Karena itu akan mempengaruhi seluruh hidupnya sepanjang umur.
Lailatul Qadr yang disebutkan dalam al-Qur’an adalah “Momen Penentuan” bagi manusia dan kemanusian universal. Bersamaan dengan itu, sebagai malam mistis penuh barkah keruhanian yang hening dan damai, Lailatul Qadr dalam bulan Ramadan dapat mewujudkan suasana batin pribadi yang suci dan damai, sebagai pertanda “intervensi Ilahi” kepada pribadi bersangkutan, berupa keyakinan yang diperbaharui dan diperteguh, mungkin bahkan diketemukan untuk pertama kalinya dalam hidup, tentang kebenaran dan kesucian. Karena itu agama memberi arahan, agar setiap pribadi, dalam bulan suci Ramadan yang penuh barkah, mencari Lailatul Qadr yang mungkin dianugerahkan Allah khusus baginya-sama dengan turunnya para malaikat dan “rûh” kepadanya yang membawa segala petunjuk kebenaran Ilahi dan kedamaian hidup selama-lamanya. Lailatul Qadr yang demikian itu, sebagai “malam penentuan” dan “malam kemahakuasaan Tuhan”, memang mengatasi sang waktu, karena kebahagiaan yang diwujudkannya adalah abadi. Dan dapat sangat pribadi, sehingga saatnya pendapat berbeda-beda dari seseorang ke orang lain. Maka Nabi s.a.w. tidak menyebutkan kapan tepatnya malam itu.
Diambil dari tulisan Nurcholish Madjid dalam paramadina.online
0 komentar