Ramadan meninggalkan kita. Dengan izin Allah, fajar lebaran kembali kita rasakan. Di suasana merayakan lebaran, umat Islam larut dalam rasa suka cita. Silaturahmi yang berangkat dari sentuhan kemanusiaan yang mendalam menjadi sebuah ritus keniscayaan. Pada saat ini, orang begitu gampang saling memaafkan tanpa kecurigaan sehingga secawan kerendahatian betul-betul mensyahdukan kalbu. Semua orang serasa baru lahir tanpa dosa, prasangka, apalagi nafsu untuk memperdayakan.
Kondisi ideal fitrah demikian merupakan awal untuk mencapai puncak dari sebuah perjalanan spiritual, yang ditempuh dengan menahan rasa lapar dan dahaga selama Ramadan. Ujungnya adalah tercapainya atomsfer batiniah-esoteris di mana segenap orang-orang beriman yang berpuasa bakal kembali kepada kesucian (‘idul fithri).
Idul Fitri menurut Jalaluddin Shuyuthi—yang semula disyariatkan tahun kedua hijriah—adalah salah satu momentum sebagai ajang ‘memestakan diri’ dengan memakai ‘pakaian’ kebesaran Tuhan (libasut taqwa) di hari itu dan di kemudian harinya dalam posisi kita yang ‘telanjang’ (fithrah) serta mendapatkan ampunan dosa yang diraih karena suksesnya menyelesaikan ibadah di bulan Ramadan.
Hemat saya, kegemilangan merampungkan ibadah Ramadan akan menjadi batu loncatan terwujudnya spirit egaliterianisme dalam Islam; semangat yang sangat menjunjung tinggi persamaan dengan tidak berlaku diskriminatif kepada sesama hamba Tuhan. Salah satu ibadah yang sangat otoritatif dan relevan dalam meneguhkan semangat egaliter ini adalah kesudian untuk saling memaafkan.
Memaafkan: Terapi Lebaran
Memaafkan atau mendahului memberi maaf adalah tindakan terpuji. Orang demikian telah melangkah pada titian putih. Kita layak malu pada diri sendiri dan pada orang-orang yang senantiasa berbuat baik. Karenanya, kita patut pada kesegeraan orang-orang yang memberi maaf sebelum kita meminta. Sebagaimana malunya ‘Umar bin Khaththab terhadap Abu Bakar yang selalu lebih awal dalam urusan berbuat baik.
Orang yang tidak pernah meminta maaf, apalagi tidak memberi maaf, adalah orang-orang yang merasa tidak pernah berbuat salah dan lupa. Orang yang mengaku tidak pernah berbuat salah dan lupa adalah orang-orang yang paling banyak melakukan kesalahan. Karena ia mengingkari fitrahnya sendiri yang terlahir sebagai manusia lemah yang tak luput dari salah dan lupa. Orang yang enggan meminta maaf dan memaafkan, karenanya, sama sekali tidak berhak mendulang pingat kemenangan dalam menyongsong lebaran. Bagaimanapun juga, memberi maaf dan minta maaf adalah keniscayaan insani tanpa ditakar neraca siapa yang salah atau timbangan mana yang keliru.
Memaafkan menghajatkan kita untuk menjauhi upaya menguliti aurat orang lain. Alquran menggunakan kata lahma (daging) dalam kaitannya dengan orang-orang yang suka mencari aib orang lain seraya menyebarkan fitnah (QS.49:12). Upaya mencongkel kesalahan orang lain adalah sikap yang tidak sportif, karena lazim dilakukan bukan di depan yang bersangkutan melainkan di belakangnya. Wajar saja kemudian yang bersangkutan tidak bisa membela diri, persis seperti daging. Menurut Buya Hamka, daging merupakan simbol dari benda yang tak memiliki kekuatan apapun; tak bernyawa sehingga tidak bisa membela diri, meskipun dibanting, dicincang dan digoreng.
Memaafkan memang tidak gampang. Kata para sufi, memaafkan harus dilatih terus menerus. Sifat pemaaf muncul karena kedewasaan ruhaniah. Ia merupakan hasil perjuangan berat ketika kita mengendalikan kekuatan ghadhab di antara dua tekanan: pengecut dan pemberang. Sifat pemaaf menghiasi akhlak para nabi dan orang-orang saleh. Ruhani mereka telah dipenuhi sifat Tuhan Yang Maha Pengampun (to err is human, but to forgive is divine).
Memaafkan tidak bisa direkayasa secara artifisial dengan acara pemutihan seperti halal-bi-halal. Maaf yang tulus lahir dari perkataan yang juga tulus. Orang yang hanya memperhatikan dirinya tak akan dapat memaafkan. Pada hakikatnya, orang egois adalah adalah anak kecil yang menyangkan bahwa dunia ini diciptakan untuk memenuhi keinginannya. Salah satu akibat buruk dari kekuasaan adalah anggapan bahwa perkhidmatan orang lain kepada dirinya adalah kewajiban.
Jalaluddin Rakhmat (1998), yang akrab dipanggil Kang Jalal, menegaskan bahwa untuk dapat memaafkan kita harus memusatkan perhatian kita pada orang lain. Kita mesti beralih dari pusat ego ke posisi orang lain, dari egoisme menuju altruisme. Orang-orang altruis dalam Alquran disebut sebagai orang-orang yang berbuat baik (al-muhsinun). Namun, memaafkan bukan sebuah entitat tunggal. Ia perlu dikawal dengan dua prilaku lainnya, yakni menahan marah dan berbuat baik. Menahan marah tanpa memaafkan hanya menumpuk-numpuk penyakit. Memaafkan tanpa berbuat baik hanya menyemarakkan ritus-ritus sosial. Oleh sebab itu, menahan marah, memaafkan dan berbuta baik harus dilakukan sekaligus.
Dalam konteks berbangsa dan bernegara, tradisi memaafkan perlu dibangun sebagai bagian dari nation and character building, karena kita tak mungkin berputar-putar pada masa lampau. Melihat kaca spion memang penting (past time), tapi memasukkan persneling, menekan gas dan menatap ke depan (futuru time) jauh lebih penting. Di sinilah urgensi kedewasaan.
‘Kedewasaan,’ ujar Martiner R. Feinberg, ‘adalah orang yang ikhlas menerima dirinya sendiri, serta memiliki kesabaran dan mampu menghargai orang lain sembari bersedia menerima kesalahannya untuk kemudian memaafkan.’ Orang demikian tidak memiliki halangan kejiwaan dalam berucap, berbagi dan memberi maaf. Hambatan psikologis yang biasanya membungkus angkuh dalam diri yang berada dalam pihak yang benar dipendam dalam-dalam. Seolah-olah hendak mengatakan, ‘Hari ini kamu yang salah, besok siapa tahu saya.’ Dari relung hatinya yang paling dalam terpancar kasih yang tulus, yang oleh Albert Camus disebut sebagai mature love (cinta sejati). Inilah cinta yang memiliki makna yang paling hakiki, yaitu merelakan dan mengampuni, mengerti dan memaafkan. Memang memaafkan lebih sulit daripada meminta maaf, namun memaafkan jauh lebih mulia daripada meminta maaf.
Akhirnya, beragam cerita pernah kita torehkan di atas kanvas hidup yang bising. Ada pertautan cita dan persentuhan rasa. Ada tetesan harapan dan titian kenyataan. Ada tuntutan batin dan tantangan lahir. Boleh jadi sebagian dan semuanya tidak tergapai. Lalu, siapa tahu telah menggumpa pula noda hitam. Yang sempat membuat kita tak rela saling menyapa. Ia terlahir, terbekukan, sekaligus terceraikan. Sejumlah pergumulan yang tak mengenakkan terpatri di sana. Untuk itu, menjelang hari fitri ini, hendaknya ada secercah maaf di antara kita. Sedari pagi dikau telah daku maafkan. Karenanya, berilah maafmu, sambutlah ucapanku; mohon maaf lahir dan batin. Minal ‘Aa’idiin wal Faa’iziin (Semoga kita menjadi orang-orang yang kembali dan orang-orang yang beroleh kemenangan). Amin.
Kondisi ideal fitrah demikian merupakan awal untuk mencapai puncak dari sebuah perjalanan spiritual, yang ditempuh dengan menahan rasa lapar dan dahaga selama Ramadan. Ujungnya adalah tercapainya atomsfer batiniah-esoteris di mana segenap orang-orang beriman yang berpuasa bakal kembali kepada kesucian (‘idul fithri).
Idul Fitri menurut Jalaluddin Shuyuthi—yang semula disyariatkan tahun kedua hijriah—adalah salah satu momentum sebagai ajang ‘memestakan diri’ dengan memakai ‘pakaian’ kebesaran Tuhan (libasut taqwa) di hari itu dan di kemudian harinya dalam posisi kita yang ‘telanjang’ (fithrah) serta mendapatkan ampunan dosa yang diraih karena suksesnya menyelesaikan ibadah di bulan Ramadan.
Hemat saya, kegemilangan merampungkan ibadah Ramadan akan menjadi batu loncatan terwujudnya spirit egaliterianisme dalam Islam; semangat yang sangat menjunjung tinggi persamaan dengan tidak berlaku diskriminatif kepada sesama hamba Tuhan. Salah satu ibadah yang sangat otoritatif dan relevan dalam meneguhkan semangat egaliter ini adalah kesudian untuk saling memaafkan.
Memaafkan: Terapi Lebaran
Memaafkan atau mendahului memberi maaf adalah tindakan terpuji. Orang demikian telah melangkah pada titian putih. Kita layak malu pada diri sendiri dan pada orang-orang yang senantiasa berbuat baik. Karenanya, kita patut pada kesegeraan orang-orang yang memberi maaf sebelum kita meminta. Sebagaimana malunya ‘Umar bin Khaththab terhadap Abu Bakar yang selalu lebih awal dalam urusan berbuat baik.
Orang yang tidak pernah meminta maaf, apalagi tidak memberi maaf, adalah orang-orang yang merasa tidak pernah berbuat salah dan lupa. Orang yang mengaku tidak pernah berbuat salah dan lupa adalah orang-orang yang paling banyak melakukan kesalahan. Karena ia mengingkari fitrahnya sendiri yang terlahir sebagai manusia lemah yang tak luput dari salah dan lupa. Orang yang enggan meminta maaf dan memaafkan, karenanya, sama sekali tidak berhak mendulang pingat kemenangan dalam menyongsong lebaran. Bagaimanapun juga, memberi maaf dan minta maaf adalah keniscayaan insani tanpa ditakar neraca siapa yang salah atau timbangan mana yang keliru.
Memaafkan menghajatkan kita untuk menjauhi upaya menguliti aurat orang lain. Alquran menggunakan kata lahma (daging) dalam kaitannya dengan orang-orang yang suka mencari aib orang lain seraya menyebarkan fitnah (QS.49:12). Upaya mencongkel kesalahan orang lain adalah sikap yang tidak sportif, karena lazim dilakukan bukan di depan yang bersangkutan melainkan di belakangnya. Wajar saja kemudian yang bersangkutan tidak bisa membela diri, persis seperti daging. Menurut Buya Hamka, daging merupakan simbol dari benda yang tak memiliki kekuatan apapun; tak bernyawa sehingga tidak bisa membela diri, meskipun dibanting, dicincang dan digoreng.
Memaafkan memang tidak gampang. Kata para sufi, memaafkan harus dilatih terus menerus. Sifat pemaaf muncul karena kedewasaan ruhaniah. Ia merupakan hasil perjuangan berat ketika kita mengendalikan kekuatan ghadhab di antara dua tekanan: pengecut dan pemberang. Sifat pemaaf menghiasi akhlak para nabi dan orang-orang saleh. Ruhani mereka telah dipenuhi sifat Tuhan Yang Maha Pengampun (to err is human, but to forgive is divine).
Memaafkan tidak bisa direkayasa secara artifisial dengan acara pemutihan seperti halal-bi-halal. Maaf yang tulus lahir dari perkataan yang juga tulus. Orang yang hanya memperhatikan dirinya tak akan dapat memaafkan. Pada hakikatnya, orang egois adalah adalah anak kecil yang menyangkan bahwa dunia ini diciptakan untuk memenuhi keinginannya. Salah satu akibat buruk dari kekuasaan adalah anggapan bahwa perkhidmatan orang lain kepada dirinya adalah kewajiban.
Jalaluddin Rakhmat (1998), yang akrab dipanggil Kang Jalal, menegaskan bahwa untuk dapat memaafkan kita harus memusatkan perhatian kita pada orang lain. Kita mesti beralih dari pusat ego ke posisi orang lain, dari egoisme menuju altruisme. Orang-orang altruis dalam Alquran disebut sebagai orang-orang yang berbuat baik (al-muhsinun). Namun, memaafkan bukan sebuah entitat tunggal. Ia perlu dikawal dengan dua prilaku lainnya, yakni menahan marah dan berbuat baik. Menahan marah tanpa memaafkan hanya menumpuk-numpuk penyakit. Memaafkan tanpa berbuat baik hanya menyemarakkan ritus-ritus sosial. Oleh sebab itu, menahan marah, memaafkan dan berbuta baik harus dilakukan sekaligus.
Dalam konteks berbangsa dan bernegara, tradisi memaafkan perlu dibangun sebagai bagian dari nation and character building, karena kita tak mungkin berputar-putar pada masa lampau. Melihat kaca spion memang penting (past time), tapi memasukkan persneling, menekan gas dan menatap ke depan (futuru time) jauh lebih penting. Di sinilah urgensi kedewasaan.
‘Kedewasaan,’ ujar Martiner R. Feinberg, ‘adalah orang yang ikhlas menerima dirinya sendiri, serta memiliki kesabaran dan mampu menghargai orang lain sembari bersedia menerima kesalahannya untuk kemudian memaafkan.’ Orang demikian tidak memiliki halangan kejiwaan dalam berucap, berbagi dan memberi maaf. Hambatan psikologis yang biasanya membungkus angkuh dalam diri yang berada dalam pihak yang benar dipendam dalam-dalam. Seolah-olah hendak mengatakan, ‘Hari ini kamu yang salah, besok siapa tahu saya.’ Dari relung hatinya yang paling dalam terpancar kasih yang tulus, yang oleh Albert Camus disebut sebagai mature love (cinta sejati). Inilah cinta yang memiliki makna yang paling hakiki, yaitu merelakan dan mengampuni, mengerti dan memaafkan. Memang memaafkan lebih sulit daripada meminta maaf, namun memaafkan jauh lebih mulia daripada meminta maaf.
Akhirnya, beragam cerita pernah kita torehkan di atas kanvas hidup yang bising. Ada pertautan cita dan persentuhan rasa. Ada tetesan harapan dan titian kenyataan. Ada tuntutan batin dan tantangan lahir. Boleh jadi sebagian dan semuanya tidak tergapai. Lalu, siapa tahu telah menggumpa pula noda hitam. Yang sempat membuat kita tak rela saling menyapa. Ia terlahir, terbekukan, sekaligus terceraikan. Sejumlah pergumulan yang tak mengenakkan terpatri di sana. Untuk itu, menjelang hari fitri ini, hendaknya ada secercah maaf di antara kita. Sedari pagi dikau telah daku maafkan. Karenanya, berilah maafmu, sambutlah ucapanku; mohon maaf lahir dan batin. Minal ‘Aa’idiin wal Faa’iziin (Semoga kita menjadi orang-orang yang kembali dan orang-orang yang beroleh kemenangan). Amin.
Tulisan Donny Syofyan: Dosen Universitas Andalas, Padang
0 komentar