KECENDERUNGAN masyarakat menempatkan laki-laki di dunia publik dan perempuan di dunia domestik terjadi hampir pada setiap perabadan manusia. Mitos semacam ini telah melahirkan ketimpangan kekuasaan yang berkepanjangan antara kedua jenis kelamin. Perempuan dianggap lebih bertanggung jawab atas aktivitas rumah tangga (kegiatan domestik), sementara laki-laki dianggap paling bertanggung jawab dalam kegiatan publik.
Pemahaman terhadap doktrin teologis yang tidak disertai kejernihan intelektual juga ikut memberi andil. Bahkan, tidak sedikit pemahaman doktrin teologis dijadikan senjata pamungkas untuk melegalkan argumentasi.
Ada kisah yang mendukung bias ini. Alkisah menuturkan, setelah Tuhan mendeportasi iblis dari surga karena menolak sujud kepada Adam, Tuhan kemudian mendekati Adam. Oleh Tuhan, Adam diajari nama-nama benda yang ada di sekitarnya. Karena demikian lelahnya mempelajari nama-nama benda tadi, rasa kantukpun mulai menggelayuti Adam. Ketika Adam tertidur itulah, Tuhan mengambil tulang rusuk Adam (sebelah kiri) untuk selanjutnya dijadikan Hawa sebagai istrinya demi ketenangan Adam (Nasaruddin Umar, 2002).
Untuk mendukung kisah di atas, firman yang dijadikan rujukan adalah QS an-Nisa (4): 1 sebagai berikut:
"Hai manusia, bertaqwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan istrinya."
Pembatasan terhadap mobilitas kaum perempuan untuk aktif dalam kegiatan sosial sering dihubungkan dengan QS Al-Ahzab (33): 33.
"Hendaklah kamu tetap berdiam (waqarna) di rumahmu, dan janganlah kamu berhias, bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah terdahulu."
Akan halnya politik, firman yang dijadikan pijakan untuk membatasi peran perempuan adalah QS An-Nisa (4): 34.
"Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum perempuan, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan)."atau: "Tidak berjaya suatu masyarakat yang dipimpin oleh perempuan" (al-Hadits):
Kesahihan Tafsir
Sebagian ulama sudah lama mempertanyakan kesahihan pemahaman terhadap firman dan As-Sunnah tadi. Sebab, jika pemahaman yang menempatkan perempuan di posisi marginal tetap dipertahankan, berarti telah menyalahi tujuan diturunkannya agama Islam yang memberi rahmat bagi sekalian alam. Itulah sebab, beberapa ulama menawarkan pemahaman yang lebih manusiawi.
Penciptaan manusia, misalnya. Ahli tafsir (mufassir) seperti Al-Syuyuti, Al-Baidhawi, maupun Al-Qurthubi mengartikan kata nafs dengan Adam. Maka, menjadi kukuhlah pandangan yang mensubordinasikan perempuan di bawah laki-laki.
Tetapi, ulama yang lain seperti Muhammad Abduh dan juga Al-Qasimi berpendapat, kata nafs pada ayat dimaksud bukan Adam, melainkan jenis. Implikasinya, karena laki-laki dan perempuan diciptakan dari jenis (bahan baku) yang sama, kedudukan mereka pun setara, tidak ada keunggulan apriori antara yang satu atas lainnya (Masdar F. Mas’udi, 1997).
Al-Qurthubi dan Ibnu Katsir memahami QS Al-Ahzab (33):33 (mobilitas sosial perempuan) ialah: perempuan tidak dibenarkan keluar rumah kecuali ada kebutuhan yang dibenarkan oleh agama, itupun dengan syarat dapat memelihara kesucian dan kehormatannya, seperti salat.
Jika dikaji dengan seksama, pemahaman dua mufassir tersebut jelas bias gender dan tidak sesuai dengan aktivitas sosial yang pernah diperankan istri-istri Rasulullah. Sebab, Khadijah sendiri berprofesi sebagai perempuan pengusaha yang berhasil di bidang ekspor-impor, Syafiyah binti Huyay berprofesi sebagai perias pengantin. Zainab binti Jahsy sebagai penguasa industri kerajinan pakaian dan penyamak kulit binatang. Al-Syifa’ oleh Umar bin Khattab diberi tugas mengurus pasar di Madinah.
Menurut Muhamamd Qutub, maksud dari QS Al-Ahzab (33): 33 itu bukan larangan bagi para perempan untuk bekerja. Sebab, di dalam Islam tidak ada perintah yang tegas melarang perempuan bekerja. Hanya, Islam tidak mendorong hal tersebut.
Islam membenarkan mereka bekerja karena darurat. Yang termasuk darurat di sini, di antaranya, pekerjaan-pekerjaan yang sangat perlu dan menyangkut hajat orang banyak. Atau, untuk membiayai kehidupan sehari-hari mengingat tidak ada yang mencukupi mereka (Nasaruddin Umar, 2002).
Menyikapi QS An-Nisa’ (4): 34 (kepemimpinan perempuan), Ibnu Katsir dan Al-Zamakhsyari berkomentar sebagai berikut: asal-usul ayat ini turun berkaitan dengan urusan rumah tangga, bukan dalam lingkup publik. Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dan Ibnu Mardhawaih, seorang laki-laki Anshar bertengkar dengan istrinya, lalu istrinya mengadu kepada Rasul bahwa dia baru dipukul oleh suaminya hingga membekas di wajahnya, sehingga turunlah ayat ini. Dengan demikian, dapat disimpulkan sesungguhnya QS. An-Nisa’ (4): 34 terkait dengan konteks kehidupan keluarga, bukan dalam konteks kehidupan masyarakat atau publik.
Adapun hadis yang menyatakan, "Tidak berjaya suatu masyarakat yang dipimpin oleh perempuan" ada beberapa hal yang perlu dikritisi. Pertama, karena statusnya sebagai hadis ahad (yang diriwayatkan hanya oleh satu mata rantai), bagaimanapun, menurut ahli hadis, tidak dapat memberi keyakinan yang mutlak atas keotentikannya. Kedua, hadis ini baru dikemukakan oleh perawinya (Abu Bakar, seorang diri) kurang lebih 23 tahun sesudah Rasulullah wafat. Selama itu, tidak ada seorang sahabat yang diketahui ikut mewartakannya. Ketiga, hadis itu dikemukakan oleh perawi ketika konflik antara Partai Aisyah dengan partai Ali, dan partai yang dipimpin Aisyah mulai menunjukkan tanda-tanda lemah. Keempat, hadis ini dinyatakan oleh Rasulullah (menurut sebagian perawi) dalam konteks kekaisaran Parsi yang notabene menyimpan kebencian terhadap Islam (Masdar F. Mas’udi, 1997).
Bandingkan dengan QS At-Taubah (9): 21:
"Dan orang beriman, laki-laki maupun perempuan, sebagian mereka adalah penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang makruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan salat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah, sesungguhnya Allah itu Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana."
Ayat tadi memberi isyarat tentang kemungkinan, baik bagi laki-laki maupun perempuan dapat menjadi penguasa/pemimpin atau bersatu untuk menyeru ke arah yang positif dan mencegah tindakan negatif.
Realitas Ketertinggalan Perempuan
MEMBIARKAN bias mitos sosial dan pemahaman doktrin teologis tentang perempuan selain tidak sejalan dengan substansi ajaran Islam yang menjunjung tinggi keadilan juga akan menghambat terbentuknya kualitas sumber daya manusia secara keseluruhan.
Kondisi tersebut dapat dilihat di negara-negara Islam yang kondisi kaum perempuannya sangat memprihatinkan.
Intelektual Palestina Dr Ghada Karmi melaporkan, di sektor pendidikan, perempuan jauh ketinggalan, baik dari tingkat kebutaaksaraan terlebih partisipasinya pada lembaga pendidikan formal. Dalam kebutaaksaraan, kondisi Somalia merupakan negara terparah. Sebab, 80 persen dari perempuan dewasanya buta huruf. Di Iraq dan Libia, tingkat kebutaaksaraan mencapai 51 persen. Di Kuwait 33 persen.
Tingkat partisipasi mereka di sekolah dasar dan menengah juga rendah. Di Mesir, rasio perbandingan jumlah mereka sebagai partisipan pendidikan di sekolah menengah dengan peserta didik laki-laki 76 berbanding 100. Di Tunisia rasionya 77 berbanding 100, sedangkan di Maroko 69 berbanding 100.
Kondisi serupa terjadi di sektor tenaga kerja. Secara umum, partisipasi ekonomi kaum perempuan di negara-negara Islam sangat rendah. Di Aljazair, jumlah perempuan yang memasuki sektor tenaga kerja hanya 4,3 persen dari total angkatan kerja, di Mesir 6,2 persen. Di Jordan 5,3 persen, di Siria 9,3 persen, di Yaman 16,4 persen. Di Tunisia 12,7 persen, di Bahrain 19,1 persen (Thoha Hamim, 2002).
Prinsip kesetaraan, jika disikapi secara arif, akan membuka peluang bagi perempuan untuk menjadi mitra laki-laki dalam berbagai sektor kehidupan. Sejarah telah membuktikan bahwa Rasulullah tidak pernah memosisikan istri-istrinya sebagai objek pelengkap semata, melainkan sebagai mitra dialog. Bahkan, mereka acap mampu memberi ’solusi cerdas’ atas problem yang sedang melilit Rasul.
Contohnya, posisi Khadijah yang kadang melebihi batas hubungan suami istri. Khadijah pernah sekaligus menjadi asisten pribadi Rasulullah karena kemampuan lobinya dengan kelompok elite Makkah yang ingin menggagalkan perjuangan Rasulullah. Keadaan serupa juga terjadi pada Aisyah. Dia dikenal sebagai sekretaris pribadi Rasulullah dalam mencatat dan mengumpulkan hadis-hadis.
Kehebatan kaum perempuan dalam khazanah Islam muncul bersamaan dengan dimulainya periwayatan hadis. Para sahabat perempuan (shahabiyat) dikenal sebagai generasi awal Islam yang berperan besar dalam proses tranmisi hadis dari generasi pertama ke generasi selanjutnya. Ahmad ibnu Hambal (w.241 H) berpendapat, dari 125 sahabat perempuan sekitar 700 di antaranya meriwayatkan hadis.
Freda Hasan (Ulumul Quran nomor 5 tahun 1994) membagi pejalan umat Islam menjadi dua periode: sejarah Islam (Islamic history) dan sejarah Muslim (Muslim history) atau Islam semu (pseudo Islam): Menurut Freda Hasan, sejarah yang terjadi pada masa pewahyuan Alquran dan masa Rasulullah (periode sejarah Islam) merupakan masa tampilnya wanita muslim. Perjuangan, keteladanan, pergaulan mereka dengan suami serta masyarakat sekitarnya menggambarkan beragamnya peran perempuan pada masa itu. Berbeda dengan masa setelah Rasulullah meninggal (periode sejarah muslim). Karena Islam diformulasikan untuk kepentingan elite penguasa, pada saat inilah (tokoh-tokoh) Islam mulai membatasi dinamika dan hak-hak kaum perempuan serta membungkam suara mereka.
John Naisbitt (1992) menilai gerakan perubahan yang terjadi di masa sekarang dan masa yang akan datang lebih mengutamakan persamaan derajat antara kedua jenis. Baik laki-laki maupun perempuan telah mempunyai nilai-nilai yang sama. Mereka tumbuh bersamaan dengan desakan ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga muncul sebuah peradaban yang mendorong pembebasan beban historis yang dipikul kaum perempuan.
Realitas sosial menunjukkan, dalam konteks kekinian, banyak sektor-sektor strategis yang menuntut keterlibatan kaum perempuan secara profesional mengingat mereka memiliki beberapa keunggulan yang mustahil dapat dilakukan oleh kaum laki-laki. Selain itu, perubahan mendasar pada gaya hidup keluarga masa kini yang cenderung double income (kanan-kiri oke) merupakan hal tak terhindarkan. Sebab, sering penghasilan suami tidak dapat menjangkau kebutuhan perekonomian keluarga, seiring dengan tidak stabilnya perekonomian di tingkat global. Fakta ini tidak saja terjadi pada lapisan masyarakat petani di pedesaan, tetapi juga berbagai lapisan masyarakat pada umumnya. Wallahualam.
(Dikutip dari tulisan Drs Faridi MSi, alumnus Pondok Pesantren Nurul Jadid Paiton, kini dosen FIA Universitas Muhammadiyah Malang)
Pemahaman terhadap doktrin teologis yang tidak disertai kejernihan intelektual juga ikut memberi andil. Bahkan, tidak sedikit pemahaman doktrin teologis dijadikan senjata pamungkas untuk melegalkan argumentasi.
Ada kisah yang mendukung bias ini. Alkisah menuturkan, setelah Tuhan mendeportasi iblis dari surga karena menolak sujud kepada Adam, Tuhan kemudian mendekati Adam. Oleh Tuhan, Adam diajari nama-nama benda yang ada di sekitarnya. Karena demikian lelahnya mempelajari nama-nama benda tadi, rasa kantukpun mulai menggelayuti Adam. Ketika Adam tertidur itulah, Tuhan mengambil tulang rusuk Adam (sebelah kiri) untuk selanjutnya dijadikan Hawa sebagai istrinya demi ketenangan Adam (Nasaruddin Umar, 2002).
Untuk mendukung kisah di atas, firman yang dijadikan rujukan adalah QS an-Nisa (4): 1 sebagai berikut:
"Hai manusia, bertaqwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan istrinya."
Pembatasan terhadap mobilitas kaum perempuan untuk aktif dalam kegiatan sosial sering dihubungkan dengan QS Al-Ahzab (33): 33.
"Hendaklah kamu tetap berdiam (waqarna) di rumahmu, dan janganlah kamu berhias, bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah terdahulu."
Akan halnya politik, firman yang dijadikan pijakan untuk membatasi peran perempuan adalah QS An-Nisa (4): 34.
"Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum perempuan, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan)."atau: "Tidak berjaya suatu masyarakat yang dipimpin oleh perempuan" (al-Hadits):
Kesahihan Tafsir
Sebagian ulama sudah lama mempertanyakan kesahihan pemahaman terhadap firman dan As-Sunnah tadi. Sebab, jika pemahaman yang menempatkan perempuan di posisi marginal tetap dipertahankan, berarti telah menyalahi tujuan diturunkannya agama Islam yang memberi rahmat bagi sekalian alam. Itulah sebab, beberapa ulama menawarkan pemahaman yang lebih manusiawi.
Penciptaan manusia, misalnya. Ahli tafsir (mufassir) seperti Al-Syuyuti, Al-Baidhawi, maupun Al-Qurthubi mengartikan kata nafs dengan Adam. Maka, menjadi kukuhlah pandangan yang mensubordinasikan perempuan di bawah laki-laki.
Tetapi, ulama yang lain seperti Muhammad Abduh dan juga Al-Qasimi berpendapat, kata nafs pada ayat dimaksud bukan Adam, melainkan jenis. Implikasinya, karena laki-laki dan perempuan diciptakan dari jenis (bahan baku) yang sama, kedudukan mereka pun setara, tidak ada keunggulan apriori antara yang satu atas lainnya (Masdar F. Mas’udi, 1997).
Al-Qurthubi dan Ibnu Katsir memahami QS Al-Ahzab (33):33 (mobilitas sosial perempuan) ialah: perempuan tidak dibenarkan keluar rumah kecuali ada kebutuhan yang dibenarkan oleh agama, itupun dengan syarat dapat memelihara kesucian dan kehormatannya, seperti salat.
Jika dikaji dengan seksama, pemahaman dua mufassir tersebut jelas bias gender dan tidak sesuai dengan aktivitas sosial yang pernah diperankan istri-istri Rasulullah. Sebab, Khadijah sendiri berprofesi sebagai perempuan pengusaha yang berhasil di bidang ekspor-impor, Syafiyah binti Huyay berprofesi sebagai perias pengantin. Zainab binti Jahsy sebagai penguasa industri kerajinan pakaian dan penyamak kulit binatang. Al-Syifa’ oleh Umar bin Khattab diberi tugas mengurus pasar di Madinah.
Menurut Muhamamd Qutub, maksud dari QS Al-Ahzab (33): 33 itu bukan larangan bagi para perempan untuk bekerja. Sebab, di dalam Islam tidak ada perintah yang tegas melarang perempuan bekerja. Hanya, Islam tidak mendorong hal tersebut.
Islam membenarkan mereka bekerja karena darurat. Yang termasuk darurat di sini, di antaranya, pekerjaan-pekerjaan yang sangat perlu dan menyangkut hajat orang banyak. Atau, untuk membiayai kehidupan sehari-hari mengingat tidak ada yang mencukupi mereka (Nasaruddin Umar, 2002).
Menyikapi QS An-Nisa’ (4): 34 (kepemimpinan perempuan), Ibnu Katsir dan Al-Zamakhsyari berkomentar sebagai berikut: asal-usul ayat ini turun berkaitan dengan urusan rumah tangga, bukan dalam lingkup publik. Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dan Ibnu Mardhawaih, seorang laki-laki Anshar bertengkar dengan istrinya, lalu istrinya mengadu kepada Rasul bahwa dia baru dipukul oleh suaminya hingga membekas di wajahnya, sehingga turunlah ayat ini. Dengan demikian, dapat disimpulkan sesungguhnya QS. An-Nisa’ (4): 34 terkait dengan konteks kehidupan keluarga, bukan dalam konteks kehidupan masyarakat atau publik.
Adapun hadis yang menyatakan, "Tidak berjaya suatu masyarakat yang dipimpin oleh perempuan" ada beberapa hal yang perlu dikritisi. Pertama, karena statusnya sebagai hadis ahad (yang diriwayatkan hanya oleh satu mata rantai), bagaimanapun, menurut ahli hadis, tidak dapat memberi keyakinan yang mutlak atas keotentikannya. Kedua, hadis ini baru dikemukakan oleh perawinya (Abu Bakar, seorang diri) kurang lebih 23 tahun sesudah Rasulullah wafat. Selama itu, tidak ada seorang sahabat yang diketahui ikut mewartakannya. Ketiga, hadis itu dikemukakan oleh perawi ketika konflik antara Partai Aisyah dengan partai Ali, dan partai yang dipimpin Aisyah mulai menunjukkan tanda-tanda lemah. Keempat, hadis ini dinyatakan oleh Rasulullah (menurut sebagian perawi) dalam konteks kekaisaran Parsi yang notabene menyimpan kebencian terhadap Islam (Masdar F. Mas’udi, 1997).
Bandingkan dengan QS At-Taubah (9): 21:
"Dan orang beriman, laki-laki maupun perempuan, sebagian mereka adalah penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang makruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan salat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah, sesungguhnya Allah itu Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana."
Ayat tadi memberi isyarat tentang kemungkinan, baik bagi laki-laki maupun perempuan dapat menjadi penguasa/pemimpin atau bersatu untuk menyeru ke arah yang positif dan mencegah tindakan negatif.
Realitas Ketertinggalan Perempuan
MEMBIARKAN bias mitos sosial dan pemahaman doktrin teologis tentang perempuan selain tidak sejalan dengan substansi ajaran Islam yang menjunjung tinggi keadilan juga akan menghambat terbentuknya kualitas sumber daya manusia secara keseluruhan.
Kondisi tersebut dapat dilihat di negara-negara Islam yang kondisi kaum perempuannya sangat memprihatinkan.
Intelektual Palestina Dr Ghada Karmi melaporkan, di sektor pendidikan, perempuan jauh ketinggalan, baik dari tingkat kebutaaksaraan terlebih partisipasinya pada lembaga pendidikan formal. Dalam kebutaaksaraan, kondisi Somalia merupakan negara terparah. Sebab, 80 persen dari perempuan dewasanya buta huruf. Di Iraq dan Libia, tingkat kebutaaksaraan mencapai 51 persen. Di Kuwait 33 persen.
Tingkat partisipasi mereka di sekolah dasar dan menengah juga rendah. Di Mesir, rasio perbandingan jumlah mereka sebagai partisipan pendidikan di sekolah menengah dengan peserta didik laki-laki 76 berbanding 100. Di Tunisia rasionya 77 berbanding 100, sedangkan di Maroko 69 berbanding 100.
Kondisi serupa terjadi di sektor tenaga kerja. Secara umum, partisipasi ekonomi kaum perempuan di negara-negara Islam sangat rendah. Di Aljazair, jumlah perempuan yang memasuki sektor tenaga kerja hanya 4,3 persen dari total angkatan kerja, di Mesir 6,2 persen. Di Jordan 5,3 persen, di Siria 9,3 persen, di Yaman 16,4 persen. Di Tunisia 12,7 persen, di Bahrain 19,1 persen (Thoha Hamim, 2002).
Prinsip kesetaraan, jika disikapi secara arif, akan membuka peluang bagi perempuan untuk menjadi mitra laki-laki dalam berbagai sektor kehidupan. Sejarah telah membuktikan bahwa Rasulullah tidak pernah memosisikan istri-istrinya sebagai objek pelengkap semata, melainkan sebagai mitra dialog. Bahkan, mereka acap mampu memberi ’solusi cerdas’ atas problem yang sedang melilit Rasul.
Contohnya, posisi Khadijah yang kadang melebihi batas hubungan suami istri. Khadijah pernah sekaligus menjadi asisten pribadi Rasulullah karena kemampuan lobinya dengan kelompok elite Makkah yang ingin menggagalkan perjuangan Rasulullah. Keadaan serupa juga terjadi pada Aisyah. Dia dikenal sebagai sekretaris pribadi Rasulullah dalam mencatat dan mengumpulkan hadis-hadis.
Kehebatan kaum perempuan dalam khazanah Islam muncul bersamaan dengan dimulainya periwayatan hadis. Para sahabat perempuan (shahabiyat) dikenal sebagai generasi awal Islam yang berperan besar dalam proses tranmisi hadis dari generasi pertama ke generasi selanjutnya. Ahmad ibnu Hambal (w.241 H) berpendapat, dari 125 sahabat perempuan sekitar 700 di antaranya meriwayatkan hadis.
Freda Hasan (Ulumul Quran nomor 5 tahun 1994) membagi pejalan umat Islam menjadi dua periode: sejarah Islam (Islamic history) dan sejarah Muslim (Muslim history) atau Islam semu (pseudo Islam): Menurut Freda Hasan, sejarah yang terjadi pada masa pewahyuan Alquran dan masa Rasulullah (periode sejarah Islam) merupakan masa tampilnya wanita muslim. Perjuangan, keteladanan, pergaulan mereka dengan suami serta masyarakat sekitarnya menggambarkan beragamnya peran perempuan pada masa itu. Berbeda dengan masa setelah Rasulullah meninggal (periode sejarah muslim). Karena Islam diformulasikan untuk kepentingan elite penguasa, pada saat inilah (tokoh-tokoh) Islam mulai membatasi dinamika dan hak-hak kaum perempuan serta membungkam suara mereka.
John Naisbitt (1992) menilai gerakan perubahan yang terjadi di masa sekarang dan masa yang akan datang lebih mengutamakan persamaan derajat antara kedua jenis. Baik laki-laki maupun perempuan telah mempunyai nilai-nilai yang sama. Mereka tumbuh bersamaan dengan desakan ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga muncul sebuah peradaban yang mendorong pembebasan beban historis yang dipikul kaum perempuan.
Realitas sosial menunjukkan, dalam konteks kekinian, banyak sektor-sektor strategis yang menuntut keterlibatan kaum perempuan secara profesional mengingat mereka memiliki beberapa keunggulan yang mustahil dapat dilakukan oleh kaum laki-laki. Selain itu, perubahan mendasar pada gaya hidup keluarga masa kini yang cenderung double income (kanan-kiri oke) merupakan hal tak terhindarkan. Sebab, sering penghasilan suami tidak dapat menjangkau kebutuhan perekonomian keluarga, seiring dengan tidak stabilnya perekonomian di tingkat global. Fakta ini tidak saja terjadi pada lapisan masyarakat petani di pedesaan, tetapi juga berbagai lapisan masyarakat pada umumnya. Wallahualam.
(Dikutip dari tulisan Drs Faridi MSi, alumnus Pondok Pesantren Nurul Jadid Paiton, kini dosen FIA Universitas Muhammadiyah Malang)
0 komentar