Fahmi SalimAlumnus Jurusan Tafsir dan Ilmu Alquran Universitas Al-Azhar, Peneliti INSIST
Belum lama ini terjadi pencekalan Prof Nasr Hamid Abu Zayd ketika akan tampil di seminar internasional yang diadakan oleh Universitas Islam Malang, Jawa Timur. Abu Zayd terkenal dengan metode hermeneutik, yaitu penafsiran Alquran dengan pendekatan linguistik, yang biasa digunakan untuk menginterpretasi Injil dengan menganalisis kondisi pengarangnya.
Yang menarik, pernyataannya dalam wawancara singkat dengan majalah Tempo menjelang kepulangannya ke Belanda setelah dicekal tampil di Malang, dia tidak dapat membedakan konsep takwil dalam tradisi keilmuan Islam dengan konsep hermeneutika. Sebenarnya tidaklah sulit bagi kita, apalagi sekelas Prof Abu Zayd, untuk membedakan konsep takwil dalam tradisi keilmuan Islam dengan konsep hermeneutika di Barat.
Pertama, dari sisi etimologis saja padanan dua kata itu tidak dapat dikatakan sama. Orientasi takwil itu adalah penetapan makna, sementara orientasi hermeneutika itu adalah pemahaman yang berubah-ubah dan nisbi mengikuti pergerakan manusianya. Kekeliruan penerjemahan istilah peradaban lain ke dalam kamus peradaban kita, disadari atau tidak, akan dapat merusak konsep istilah keilmuan kita yang telah mapan.
Kedua, dari segi latar belakang historisnya. Sebagaimana maklum, metode hermeneutika lahir dalam ruang lingkup yang khas dalam tradisi Barat-Kristen. Perkembangan khusus dan luasnya opini tentang sifat dasar Perjanjian Baru, dinilai memberi sumbangan besar dalam mengentalkan problem hermeneutis dan usaha berkelanjutan dalam menanganinya. Hal ini berbeda dengan Alquran. Tidak ada alternatif pemahaman selain bahwa Alquran, seluruh redaksi dan maksudnya langsung dari Allah SSWT. Status otoritatif yang diduduki Alquran tidak pernah dipertanyakan lagi.
Hal tersebut disebabkan oleh dua hal. Pertama, Alquran sendiri dengan tegas menekankan teori ini dan tidak menyediakan ruang untuk spekulasi. Nabi tidak pernah gagal menarik garis yang tegas antara kata-katanya dan kata-kata dari Alquran. Kedua, kaum Muslim tanpa ragu meyakini bahwa di tangan mereka, huruf, kata, kalimat, dan sistematika Alquran tetap terjaga seperti keadaannya di masa Nabi.
Dua faktor ini, dan ditambah fakta bahwa Alquran mengandung prinsip-prinsip penafsiran dalam dirinya sendiri, mempersulit tematisasi problem hermeneutis dalam Islam. Kaum sekuler-liberal dengan semangat mempropagandakan takwil sebagai brand untuk membaca Alquran di era modern ini. Takwil dalam pandangan kelompok liberal dan sekte sempalan lainnya adalah batu karang kokoh yang akan memecah kesatuan sistem pemikiran Islam yang telah dikonstruksi dengan teliti dan saksama oleh para ulama Muslim selama perjalanan Islam sebagai agama sekaligus peradaban. Dengan mengendarai tumpangan takwil inilah, mereka berupaya untuk memberi kontribusi penghancuran dan perusakan Islam dari dalam secara mengerikan.
Modus pemikiran semacam inilah yang telah menyebabkan mereka secara membabi buta membela terminologi takwil dalam konteks penafsiran kitab suci. Takwil yang telah sekian lama ditinggalkan dan dikubur oleh otoritas agama kemudian diangkat dan dihidupkan lagi. Meminjam bahasa Nasr Hamid, bahwa selama perjalanan panjang tradisi keilmuan Islam, para ulama Islam melakukan praktik belah bambu, mengangkat nilai tafsir dan menginjak, meremehkan nilai takwil.
Konsep orisinalitas takwil dalam tradisi keilmuan Islam yang telah dikenal baik dan dipraktikkan dengan apik selama berabad-abad ini pun telah direduksi dan ditelanjangi dari berbagai batasan serta aturan yang melingkupinya oleh sang kampiun ahli sastra. Konsep itu tidak lagi dimengerti sebagai pengalihan suatu lafal kepada makna lain yang dimungkinkan berdasarkan dalil kuat, yang tanpanya ia tidak boleh sembarangan dialih makna. Sehingga menjadi semacam proses dekonstruksi yang menghancurkan sistem keterkaitan antara teks dan pemiliknya, juga antara makna dan segala kemungkinan arti yang diakomodasi oleh dalil yang kuat tersebut.
Pola kerja idealPenulis setuju dengan pendapat bahwa bahasa teks sebagai sumber tak pernah kering bagi keragaman pembacaan. Tetapi patut dicurigai pula bahwa bahasa memiliki sifat untuk mengelak dan liar jika tidak dibatasi oleh pagar-pagar metodologis. Dengan demikian amat penting untuk membedakan dua tingkatan dalam menentukan sistem penandaan suatu makna. Pertama, tingkatan yang bersifat sistemik dan kolektif, melalui prosedur-prosedur penciptaan makna secara leksikal, gramatikal, filologi. Kedua adalah tingkatan yang non sistemik-individual yang memberikan ruang luas untuk proses qiro'ah dan takwil. Seorang penafsir dituntut untuk menjaga keseimbangan pola pikir individual non-sistemik dengan pola kerja sistemik yang kolektif.
Pola kerja kolektif dalam proses takwil misalnya terumuskan dengan baik oleh otoritas keilmuan Islam dengan istilah dalil (didukung argumentasi kuat) dan la'b (permainan kata-kata yang terlepas dari dalil maupun takwil). Siapa yang mau mentakwil maka ia memerlukan indikator kuat. Rumusan mereka bahwa nash memiliki dua macam dalâlah yaitu penandaan lafaz atas maknanya dan penandaan makna yang telah ditunjuk oleh nash atas makna yang lain,, mengindikasikan kuatnya memori kesadaran kolektif di samping memperhatikan aspek ma'tsur (sabda dan perilaku Rasul, sebagai penafsir utama) dalam proses pentakwilan. Oleh karena itu diperlukan nilai pertanggungjawaban atau akuntabilitas dalam setiap upaya takwil sebagai akibat perimbangan nilai individual dan kolektif.
Akhirnya, penulis sepakat dengan apa yang dilontarkan Musthafa Nashif (Mas'uliyyat al-Ta'wil: 2004) bahwa kemunculan takwil dalam lingkungan tradisi Islam terkait dengan upaya menjaga keseimbangan dan merupakan wujud dari pemberian kesempatan bagi kehidupan yang berubah dengan cepat. Takwil juga merupakan pengakuan terhadap kerangka dasar dan otoritas sekaligus.
Yang menarik, pernyataannya dalam wawancara singkat dengan majalah Tempo menjelang kepulangannya ke Belanda setelah dicekal tampil di Malang, dia tidak dapat membedakan konsep takwil dalam tradisi keilmuan Islam dengan konsep hermeneutika. Sebenarnya tidaklah sulit bagi kita, apalagi sekelas Prof Abu Zayd, untuk membedakan konsep takwil dalam tradisi keilmuan Islam dengan konsep hermeneutika di Barat.
Pertama, dari sisi etimologis saja padanan dua kata itu tidak dapat dikatakan sama. Orientasi takwil itu adalah penetapan makna, sementara orientasi hermeneutika itu adalah pemahaman yang berubah-ubah dan nisbi mengikuti pergerakan manusianya. Kekeliruan penerjemahan istilah peradaban lain ke dalam kamus peradaban kita, disadari atau tidak, akan dapat merusak konsep istilah keilmuan kita yang telah mapan.
Kedua, dari segi latar belakang historisnya. Sebagaimana maklum, metode hermeneutika lahir dalam ruang lingkup yang khas dalam tradisi Barat-Kristen. Perkembangan khusus dan luasnya opini tentang sifat dasar Perjanjian Baru, dinilai memberi sumbangan besar dalam mengentalkan problem hermeneutis dan usaha berkelanjutan dalam menanganinya. Hal ini berbeda dengan Alquran. Tidak ada alternatif pemahaman selain bahwa Alquran, seluruh redaksi dan maksudnya langsung dari Allah SSWT. Status otoritatif yang diduduki Alquran tidak pernah dipertanyakan lagi.
Hal tersebut disebabkan oleh dua hal. Pertama, Alquran sendiri dengan tegas menekankan teori ini dan tidak menyediakan ruang untuk spekulasi. Nabi tidak pernah gagal menarik garis yang tegas antara kata-katanya dan kata-kata dari Alquran. Kedua, kaum Muslim tanpa ragu meyakini bahwa di tangan mereka, huruf, kata, kalimat, dan sistematika Alquran tetap terjaga seperti keadaannya di masa Nabi.
Dua faktor ini, dan ditambah fakta bahwa Alquran mengandung prinsip-prinsip penafsiran dalam dirinya sendiri, mempersulit tematisasi problem hermeneutis dalam Islam. Kaum sekuler-liberal dengan semangat mempropagandakan takwil sebagai brand untuk membaca Alquran di era modern ini. Takwil dalam pandangan kelompok liberal dan sekte sempalan lainnya adalah batu karang kokoh yang akan memecah kesatuan sistem pemikiran Islam yang telah dikonstruksi dengan teliti dan saksama oleh para ulama Muslim selama perjalanan Islam sebagai agama sekaligus peradaban. Dengan mengendarai tumpangan takwil inilah, mereka berupaya untuk memberi kontribusi penghancuran dan perusakan Islam dari dalam secara mengerikan.
Modus pemikiran semacam inilah yang telah menyebabkan mereka secara membabi buta membela terminologi takwil dalam konteks penafsiran kitab suci. Takwil yang telah sekian lama ditinggalkan dan dikubur oleh otoritas agama kemudian diangkat dan dihidupkan lagi. Meminjam bahasa Nasr Hamid, bahwa selama perjalanan panjang tradisi keilmuan Islam, para ulama Islam melakukan praktik belah bambu, mengangkat nilai tafsir dan menginjak, meremehkan nilai takwil.
Konsep orisinalitas takwil dalam tradisi keilmuan Islam yang telah dikenal baik dan dipraktikkan dengan apik selama berabad-abad ini pun telah direduksi dan ditelanjangi dari berbagai batasan serta aturan yang melingkupinya oleh sang kampiun ahli sastra. Konsep itu tidak lagi dimengerti sebagai pengalihan suatu lafal kepada makna lain yang dimungkinkan berdasarkan dalil kuat, yang tanpanya ia tidak boleh sembarangan dialih makna. Sehingga menjadi semacam proses dekonstruksi yang menghancurkan sistem keterkaitan antara teks dan pemiliknya, juga antara makna dan segala kemungkinan arti yang diakomodasi oleh dalil yang kuat tersebut.
Pola kerja idealPenulis setuju dengan pendapat bahwa bahasa teks sebagai sumber tak pernah kering bagi keragaman pembacaan. Tetapi patut dicurigai pula bahwa bahasa memiliki sifat untuk mengelak dan liar jika tidak dibatasi oleh pagar-pagar metodologis. Dengan demikian amat penting untuk membedakan dua tingkatan dalam menentukan sistem penandaan suatu makna. Pertama, tingkatan yang bersifat sistemik dan kolektif, melalui prosedur-prosedur penciptaan makna secara leksikal, gramatikal, filologi. Kedua adalah tingkatan yang non sistemik-individual yang memberikan ruang luas untuk proses qiro'ah dan takwil. Seorang penafsir dituntut untuk menjaga keseimbangan pola pikir individual non-sistemik dengan pola kerja sistemik yang kolektif.
Pola kerja kolektif dalam proses takwil misalnya terumuskan dengan baik oleh otoritas keilmuan Islam dengan istilah dalil (didukung argumentasi kuat) dan la'b (permainan kata-kata yang terlepas dari dalil maupun takwil). Siapa yang mau mentakwil maka ia memerlukan indikator kuat. Rumusan mereka bahwa nash memiliki dua macam dalâlah yaitu penandaan lafaz atas maknanya dan penandaan makna yang telah ditunjuk oleh nash atas makna yang lain,, mengindikasikan kuatnya memori kesadaran kolektif di samping memperhatikan aspek ma'tsur (sabda dan perilaku Rasul, sebagai penafsir utama) dalam proses pentakwilan. Oleh karena itu diperlukan nilai pertanggungjawaban atau akuntabilitas dalam setiap upaya takwil sebagai akibat perimbangan nilai individual dan kolektif.
Akhirnya, penulis sepakat dengan apa yang dilontarkan Musthafa Nashif (Mas'uliyyat al-Ta'wil: 2004) bahwa kemunculan takwil dalam lingkungan tradisi Islam terkait dengan upaya menjaga keseimbangan dan merupakan wujud dari pemberian kesempatan bagi kehidupan yang berubah dengan cepat. Takwil juga merupakan pengakuan terhadap kerangka dasar dan otoritas sekaligus.
Dikutip dari sumber asli: http://republika.co.id/koran_detail.asp?id=318463&kat_id=16&kat_id1=&kat_id2=
0 komentar